Pernah ngerasa hidupmu selalu sial? Pernah ngerasa saat kamu selalu
berada di posisi terbawah? Pernah merasakan yang namanya dihina, diremehkan,
bahkan dianggap jijik? Ya semua itu pernah aku rasakan. Sakit? Pasti! Nasya membatin dalam khayalnya. Tangan dan mata gadis
itu tertuju pada novel, tapi sama sekali tak ada niat untuk membacanya.
Nasya
masih asik terpaku dengan novel ditangannya. Sesekali gadis berkulit putih
berwajah manis itu meringis
pelan.
Nasya berdehem, lalu melirik jam dinding yang menempel gagah didinding
kamarnya. 11.45. Gumannya.
“Kak
Sya! KAK SYA!” Sebuah
panggilan yang cenderung lebih mirip teriakan membuat Nasya tersentak dari
keasikannya dan menoleh kearah sumber suara. Senyum tipis Nasya tercetak saat
melihat adik bungsunya yang masih mengenakan seragam putih-merah dan menyandang
ransel berdiri diambang pintu
kamarnya.
Nasya
meletakkan novelnya diatas meja. Diseruputnya sedikit teh hangat yang tadi
belum sempat dinikmatinya dan kemudian gadis itu berjalan kearah sang adik.
“Udah pulang ya? Kok nggak ucapin Assalamua’laikum?” Nasya mengelus lembut
kepala Alfan—adiknya.
“Udah
tadi, kak Sya aja yang nggak denger.” Al cemberut. Nasya tersenyum gemas.
Dicubitnya pelan pipi bocah kecil yang masih duduk dikelas satu SD itu. “Kak,
Al laparlah.” Al mengelus perut kecilnya.
“Ya
udah, Al sholat dzuhur dulu. Sekarang kakak bakal masakin ayam goreng kesukaan
Al, gimana?” Al mengangguk setuju, lalu kedua kakak beradik itu bertosh ria.
Hal yang sering mereka lakukan. Al berjalan gontai meninggalkan Nasya,
sedangkan Nasya memandangi tubuh kecil Al yang kian menghilang.
Lagi-lagi
entah untuk yang keberapa kalinya, Nasya meringis pelan. Nasya sangat tau
bahwa Al dan Lita, adik-adiknya sangat sulit bila disuruh makan. Mereka hanya
ingin makan jika lauknya ayam. Terserah ayamnya mau diapain, yang penting ayam.
Nasya
merenggang-renggangkan badannya yang sedikit terasa pegal, lalu kemudian gadis
itu berjalan menuju dapur.
*@muthi*
“Fian!
Mau sampai kapan kamu kaya gini terus? Sudah dua tahun kamu menganggur dan
tahun ini kamu juga tak ingin masuk kuliah? Mau jadi apa kamu?” Suara Rico naik
beberapa oktaf dan terdengar nada penekanan disetiap kalimatnya. Cowok yang
bernama Fian itu seolah tak ambil pusing, ia masih asik bermain dengan smartphone ditangannya sambil
menyandarkan kepalanya ke shofa.
“FIAN!”
Lagi-lagi suara Rico menggelegar saat dilihatnya sang anak sama sekali tak
merespon. Fian menoleh sekilas dengan tatapan yang dibuat selempeng mungkin. “Come on Pa! Aku tuh nggak pengen kuliah,” jawab Fian sekenanya.
Rico
memandangi Fian dengan tatapan geram. Dari dulu anaknya yang satu ini memang
sangat susah diatur. Rico menarik jaket levis Fian, sehingga membuat tubuh
jangkung Fian tertarik berdiri.
“Denger
ya! Semua yang saya lakukan saat ini itu
untuk kamu. Jadi saya harap tahun ini kamu kuliah!” ucap Rico dengan memakai kata ‘saya’
yang menandakan kemarahan sudah sampai diubun-ubun.
Untuk gue? Bukannya
untuk kepentingan Papa sendiri? Gue bukan boneka Papa! Desis
Fian. “Kamu mengerti? Saya akan atur semuanya. Kamu harus masuk Fakultas
Ekonomi!” Rico melepas jaket levis Fian dari cengkramannya. Fian mundur
selangkah.
“What?
Ekonomi? Pa, aku sama sekali nggak tertarik dengan Ekonomi. Aku mau kesenian
atau apa gitu yang berhubungan dengan kesenian.”
“Udahlah
Fian! Turuti aja semua kata Papa kamu. Itu udah keputusan terbaik.” Kali ini
Tari angkat suara sambil menurunkan majalah fashion
yang dari tadi dibacanya. “Iya. Fakultas Ekonomi di Universitas Harapan.
Papa akan ngirim kamu ketempat nenek kamu di Indonesia!” kata Rico tanpa
sedikit pun memberi pilihan pada Fian.
“Tap—
” Sebelum Fian menyelesaikan kalimatnya, Rico berlalu. Lelaki berusia 50 tahunan itu menenteng tas kerja
dan jasnya menuju lantai dua rumahnya. “Pa?” Fian masih mengajukan complain.
Pandangan
Fian kali ini tertuju pada Tari, tapi sang mama juga seakan tak peduli dan
kembali asik dengan majalahnya. Fian menghela nafas kesal sambil menghempaskan tubuhnya ke shofa.
Dijambaknya rambutnya. “Agght!” teriaknya kesal.
Fian
meraih rokok dari saku
celananya. Menghidupkan rokok itu dan mengisapnya pelan.
Lelaki dua puluh tahun itu tau bahwa jika sang papa sudah mengambil keputusan,
maka itulah yang bakal terjadi. Tidak bisa diganggu gugat.
Pindah ke Indonesia?
Jakarta? Ninggalin Jepang? Tinggal bersama Nenek? Ekonomi? Kehidupan macam apa
itu? Neraka duniakah? Fian menggeleng-gelengkan
kepalanya. Merasa kiamat dihidupnya.
Sebentar
lagi lomba cosplay akan diadakan, haruskah ia pindah ke Indonesia? Ninggalin
mimpinya disini? “Gue nggak mau!” seru Fian dengan nada setengah berteriak.
Tari menatap anak lelakinya sembari menggelengkan kepala.
“Kenapa
teriak-teriak sih Fi? Masuk kamar sana!”
*@muthi*
Nasya
tengah asik berkutat dengan laptopnya. Tangannya menari-nari indah diatas
keyboard laptop sembari tersenyum pelan. Imajinasi dikepalanya tengah melonjak
kegirangan saat ingin dituangkan lewat rentetan kata-kata.
Nasya
memang mencintai dunia membaca dan menulis. Dari dulu pun begitu. Mungkin itu
salah satu alasan kenapa sampai berusia tujuh belas tahun ini ia tidak memiliki
pacar atau teman dekat sekalipun. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia yang
membuatnya merasa ‘ADA’ dan dianggap karna berhasil menerbitkan beberapa
antologi cerpen.
“Sya?
Boleh ayah
masuk?” Andi berdiri diambang pintu kamar Nasya sembari memperhatikan putri
kecilnya yang kini sudah mulai
beranjak
dewasa. Nasya menoleh kearah sumber suara, lalu kemudian tersenyum.
“Ya
ayah, kenapa?” Nasya menggeser duduknya
dan membiarkan Andi untuk duduk disampingnya.
“Kamu
mau kuliah dimana? Udah ada plan? Pendaftaran SBMPTN sebentar lagi akan tutup.
Ayah ingin kamu kuliah seperti pesan almarhumah bunda.” Nasya tertegun mendengar
penuturan sang Ayah. Pikiran gadis itu melayang entah kemana.
Andi
menyenggol lengan putrinya, membuat Nasya tersadar dari lamunannya. Nasya
tersenyum pahit. “Iya udah terpikir kok, yah. Besok Nasya urus
semuanya.”
Andi
mengangguk. “Oke kalau gitu. Ayah senang dengernya. Ya udah, ayah mau tidur dulu. Jangan tidur
larut malam ya sayang.” Andi mencium ubun-ubun Nasya dan berjalan keluar kamar.
Sepeninggal ayahnya, Nasya menghela nafas
pelan. Direbahkannya tubuhnya diatas tempat tidur. Sebenarnya gadis itu sama
sekali belum memikirkan akan lanjut kuliah kemana. Ia sangat mengerti kondisi
keuangan keluarga. Gadis itu sama sekali tak ingin membuat ayahnya semakin membanting tulang
untuk kebutuhannya dan kedua adiknya.
Nasya
mengerti gimana beratnya kondisi keluarganya saat ini. Ayahnya hanya seorang
wiraswasta yang kadang berpenghasilan dan kadang juga tidak. Bukankah uang
kuliah itu mahal?
Ayah, bukannya aku sama
sekali tak ingin kuliah, tapi aku nggak kuat ngelihat ayah bekerja lebih giat dibanding
ini. Cuma ayah
yang kami punya. Aku takut ayah
kenapa-napa. Tetesan bening menetes lembut dipipi
putih gadis itu. Ada rasa sakit yang mengganjal hatinya. Tapi aku juga nggak mungkin melupakan pesan bunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar