“Disaat satu pintu tertutup, masih
ada pintu lain yang terbuka. Selalulah optimis!”
Kafta masih asik berkutat dengan
gitarnya. Senandung lirih nan merdu keluar dari bibir mungil gadis itu.
Sesekali ujung mata gadis itu melirik jalanan kota Tokyo yang tak pernah sepi.
Lampu-lampu malam berkelap-kelip dan bangunan besar berdiri seolah menantang dengan
begitu megahnya.
“Sumpah gue kesel banget!” Seorang
lelaki ganteng berkulit sawo matang memasuki kamar Kafta dan merebahkan
tubuhnya ke shofa. Kafta menatap sekilas, lalu kembali asik dengan gitarnya.
“Kaf? Lo dengerin gue nggak sih?”
Kafta seolah tak acuh. Ia makin
memperbesar suaranya dan mencoba hanyut dalam lagu yang tengah
disenandungkannya. “Hooi!” Lelaki ganteng itu melempar boneka Hello kitty yang
berada didekatnya.
Kafta menoleh. Merasa terganggu.
“Bisa nggak sih lo sehari aja nggak ganggu gue?” Kafta sewot. “Kaf! Gue itu bakal dikuliahin ke Indonesia. Di Jakarata! Apa lo
nggak sedih?”
“Bagus dong. Setidaknya hilang
pengganggu dirumah ini,”
jawab Kafta asal. Fian memandangi adiknya dengan tatapan kesal. Dengan
menggerutu, Fian meninggalkan Kafta. “Nggak ngerti banget lo, dek!”
Kafta memandangi kepergian Fian
dengan tatapan sedih. Sebenarnya gadis itu menyimpan kesedihan. Tadi malam
Kafta sudah mendengar pertengkaran Rico dan Fian. Kafta
menghela nafas, lalu kemudian beralih memandangi gitarnya. Gue sedih harus pisah sama lo untuk yang kedua kalinya kak. Tapi kita
bisa apa kan? Lo kan tau kalau gue sangat sayang sama lo. Jemari gadis itu
kembali memain-mainkan senar gitar sehingga menciptakan melodi yang indah
didengar.
“Jaga diri lo baik-baik ya kak!”
ujar Kafta disela-sela nada yang ia ciptakan.
*@muthi*
Nasya
menatap form pendaftaran SBMPTN ditangannya. Entah kenapa gundah itu kembali
muncul. Nasya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya dan
kemudian menghela nafas pelan.
Pengumuman
kelulusan dan pengumuman SNMPTN udah sejak sebulan yang lalu. Teman-temannya
sibuk memilih perguruan tinggi yang mereka inginkan saat diakhir ia dan
teman-temannya duduk dikelas 12. Rata-rata mereka ingin berkuliah di
Universitas favorit seperti UI, UNPAD, UGM, ITB, dan IPB.
“Aku mau ngecoba
kedokteran UI nih.”
“Aku ilmu komunikasi di
UNPAD aja.” Dan pernyataan
sejenis itu pun bermunculan dari mulut teman-temannya. Nasya yang berada
diantara rombongannya itu hanya diam.
“Sya? Kamu masuk mana?”
Ica teman sebangkunya memandangi Nasya. Teman-teman yang lain pun ikut
memandanginya. “Ehm. Belum kepikiran.” Jawab Nasya sekenanya.
“Belum kepikiran?
Astaga Sya! Kalau jurusan?”
“Belum tau.”
Nasya
menghalau sedikit percakapan itu dari benaknya. Gadis itu memejamkan mata
sembari mencoba merasakan semilir angin yang menyapu lembut rambut ikal yang
dibalut dengan bando pink.
Masuk kuliah? Tentu
saja aku berminat, tapi apa aku mampu? Dulu aku juga bercita-cita bisa kuliah
ke universitas-universitas ternama, tapi semua itu harus pupus disebabkan oleh
berbagai ketidakmungkinan yang ada.
Hidup memang tak mudah.
Terkadang dalam sebuah impian, ada salah satu yang harus dikorbankan. Nasya
membatin. Wajah seorang wanita setengah baya mampir dibenaknya dan seolah
menari dipikirannya. Lagi-lagi perasaannya terasa sesak.
“Bunda,
Nasya
kangen,” ujarnya
lirih. Selirih hembusan angin yang menyapa. Mata gadis itu mulai memerah.
Ditahannya tangisan
agar tak luruh. Kamu kuat Sya! Bisiknya.
Nasya
menatap form pendaftaran itu dan diraihnya pena dari dalam tas sandangnya.
Dengan tekad bulat, gadis itu menuliskan Universitas Harapan sebagai pilihan universitasnya dengan jurusan
ilmu komunikasi. Sebenarnya Nasya tak sepenuhnya yakin dengan pilihan jurusan
yang ia pilih.
Komunikasi?
Bukankah anak komunikasi itu adalah anak yang pandai berkomunikasi atau lebih
tepatnya anak yang pandai berbicara dengan lugas dihadapan umum? Sedangkan
Nasya sangat sadar bahwa ia adalah anak yang pemalu, bahkan mungkin penakut.
Apa pun yang terjadi
nanti, semoga itu pilihan yang terbaik dari-Mu Ya Allah. Yang pasti aku akan
jadi yang terbaik disana. Ajarkan aku untuk percaya dengan semua rencana-Mu.
*@muthi*
Fian
memasukan semua pakainnya kedalam koper dengan tergesa-gesa. Tak dipedulikannya
baju-bajunya akan menjadi kusut. Dari
dulu Papa nggak pernah berubah. Selalu memperlakukan gue dan Kafta seperti
bonekanya. Oke, gue bakal turutin permainan Papa dan buat dia malu. Gue nggak
akan pernah serius belajar Ekonomi itu.
“Mau
kemana kamu?” Tari berdiri diambang pintu sembari berkacak pinggang. Persis
seperti majikan yang hendak memarahi pembantunya. Fian menatap Tari sekilas,
lalu kembali berfokus
dengan pekerjaannya. “Kamu nggak dengerin mama ya?” tanya Tari lagi yang
merasa dicueki.
“Bukannya
papa nyuruh aku ke Jakarta? Kuliah kan?” jawab Fian enteng. “Secepat ini?” Fian
menoleh kearah mamanya sembari berharap mamanya berubah pikiran dan membujuk
papanya agar ia tak jadi pindah ke Indonesia. Namun nyatanya itu hanya harapan.
“Ma,
Fi itu udah gede. Bukan anak kecil lagi,” jawab Fian tak nyambung. Fian
menghela nafas pelan. Lelaki ganteng berkulit sawo matang dengan tinggi 166 cm
itu merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Mencoba melepas sedikit penat
disana.
“Semua
ini demi kebaikan kamu Fi! Suatu hari nanti kamu akan mengerti,” kata Tari sambil berlalu meninggalkan
Fian. Fian
menoleh memandangi kepergian mamanya dan detik berikutnya lelaki berusia dua
puluh tahun itu menatap langit-langit kamarnya.
Fian
menghela nafas pelan. Shit!
Sampai kapan hidup gue kaya gini? Fian tersenyum getir. Menentang Papa? Trus kabur? Agh
enggak-enggak. Bisa-bisa Papa kena serangan jantung lagi. Gini-gini gue bukan
anak durhaka kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar