“Allah have a best plan for us.
Percaya dan yakinlah.”
Adzan
Isya berkumandang dengan merdunya, membuat siapa saja yang mendengarkannya
merinding. Nasya tertegun, lalu kemudian memberikan senyum khasnya pada Al.
“Dek, udah
adzan. Sholat dulu yuk? Allah udah manggil kita tuh.”
“Bentar lagi nih kak. Nanggung
belajar membacanya.” Al protes sambil memegang buku belajar membaca ABC-nya.
Nasya membelai lembut rambut Al.
“Nanti aja disambung. Kan udah adzan
tuh. Al, kalau ibu guru manggil, Al cepet nggak datang ke ibu guru?” tanya
Nasya. Al memandang dengan tatapan tak mengerti. “Cepet. Kalau nggak nanti ibu
guru marahlah kakak.”
“Nah gitu juga Allah dek. Masa Allah
manggil, kita malah nggak datang cepat kan? Emang mau Allah marah?” Entah untuk
yang keberapa kalinya Nasya tersenyum tulus kearah sang adik. Al tampak tengah
berfikir. Bocah kecil itu seakan mencoba mencerna setiap kata-kata yang
diucapkan oleh kakaknya.
“Iya sih kak. Ya udah, ayo sholat!”
Al bersemangat sembari menaruh buku belajar membacanya diatas meja. Nasya tersenyum
melihat tingkah polah adik kesayangannya itu, lalu kemudian berdiri dengan agak
kesusahan. Nasya mengikuti Al menuju WC.
*@muthi*
Kafta berdiri diambang pintu kamar
Fian. Menatap kamar itu dengan penghuninya yang tengah terlelap puas. Sebuah
boneka toru-toru bonzu bergelantungan dijendela kamar Fian. Gadis itu
melangkahkan kakinya masuk, lalu kemudian meneliti wajah sang kakak.
“Kak
Fi! Gue pasti bakal kesepian disini. Enggak ada lo lagi. Bokap-nyokap juga
pasti sibuk banget dengan kerjaan mereka.” Kafta membelai lembut rambut Fian.
Walau bagaimana pun, Fian itu kakaknya dan ia sangat menyayangi Fian. Baginya,
Fian segalanya.
Gadis
berambut kecoklatan itu menghembuskan nafas berat. Menatap kesekeliling kamar
yang sebentar lagi akan kosong tak berpenghuni. Kalau lo pergi, gue sama siapa entar? Gue pasti bakal kesepian banget.
Kenapa sih kita harus kepisah untuk yang kedua kalinya? Bulir-bulir air
mata jatuh dengan lembut dipipi ranum Kafta.
Entah
kenapa, ia merasa sangat takut kehilangan Fian. Ujung mata gadis itu menatap
lekat-lekat suasana kamar Fian. Merasakan atmosfir kamar itu dan kemudian
beranjak pergi.
Fian
membuka matanya sembari menatap kepergian Kafta. Ada rasa kehilangan yang ia
rasakan. Walau bagaimana pun, Kafta adalah adik
satu-satunya. Mereka terpaut usia dua tahun, tapi tetep saja mereka sangat
dekat—dulu. Dulu sebelum kedua orang tuanya tergila-gila dengan harta dan
kedudukan seperti sekarang.
“Kak Fi,
bulannya keren yah. Aku
suka deh. Besal!” Kafta kecil menunjuk langit malam dengan wajah kegirangan.
Tawa gadis mungil itu membahana. Fian yang tengah asik dengan pesawat terbangnya
menoleh kearah yang ditunjuk Kafta.
“Besal? Besar tau!
Ngomong masih cadel gitu. Lap tuh ingus dulu.” Fian meledek Kafta. Membuat
gadis mungil itu memukul bahu sang abang dan memanyunkan bibirnya.
“Fi? Kok gitu sama Kafta sih?” Tari mengelus lembut rambut
Kafta. Fian terkekeh pelan, lalu kemudian menatap langit malam. “Kerenan juga
bintang kan, ma?”
Fian meminta persetujuan Tari.
Tari memandangi kedua
buah hatinya, lalu menoleh kearah langit malam. Suasana taman belakang rumah
mereka dimalam hari memang sangat indah.
“Ma? Belapa sih jumlah
bintang dilangit?” tanya Kafta polos. Gadis mungil berambut kecoklatan itu
menyandarkan tubuh kecilnya ketubuh sang mama. Tari memicing pelan sembari
mencoba mencari jawaban yang pas.
“Jumlah bintang
dilangit itu banyak Ta, sebanyak helain rambut kamu. Coba deh kamu hitung
setiap helain rambut kamu.” Kafta menatap Tari, lalu kemudian mulai menghitung
tiap helain rambutnya. Menghitung dan terus menghitung hingga gadis mungil itu
tertidur dipangkuan Tari.
Fian tertawa melihat
tingkah Kafta. “Polos banget. Mama nih bisa aja.” Tari ikutan tertawa, lalu mengelus rambut Fian.
Fian
menghalau bayangan itu. Bayangan saat dulu ia dan keluarganya masih tinggal di
Jakarta. Momen-momen seperti itu adalah momen yang sangat dirindukannya. Momen
yang saat ini tak akan pernah kembali lagi disebabkan keadaan keluarganya sudah
tak sama seperti dulu.
Lelaki ganteng berkulit sawo matang itu
menghela nafas pelan. Entah kenapa rasa
rindu itu menguak dalam ingatannya. Rasa rindu terhadap keluarganya dulu.
Sebelum semuanya berubah seperti sekarang.
*@muthi*
Nasya
menutup novel bacaannya sembari menghela nafas pelan. Disenderkannya tubuhnya
pada kursi taman. Ya, saat ini gadis bertubuh mungil itu tengah berada ditaman
kota. Taman yang memiliki berjuta kenangan dalam hidupnya.
Kadang aku pengen
banget nyerah dalam hidup ini. Rasanya capek kaya gini terus. Di pandang remeh,
dihina, diacuhkan adalah hal-hal yang udah sering aku alami. Aku nggak bisa
terus-terusan kuat dengan semua ini. Akan tiba saatnya dimana aku benar-benar
akan merasa lelah. Nasya membatin. Tatapan gadis itu
terarah pada langit biru. Semua bayangan masa lalu seakan menghampirinya.
Bayangan yang terus saja mencekam gadis itu.
Atar menatap Nasya
dengan pandangan jijik. Gadis itu sama sekali tak tau apa salahnya terhadap
Atar. “Awas wooi, ada virus. Uweeek!” Atar menutup mulutnya dengan telapak
tangan. Ekspresi cowok itu seperti ingin muntah. Teman-teman Atar semuanya
menjauh seakan Nasya emang sampah yang harus dijauhi.
Nasya menatap Atar,
lalu kemudian berjalan dengan menundukkan kepala. Hati gadis berbaju putih biru
itu terluka. Ah, bahkan mungkin luka itu sudah menganga lebar.
“Uwwek! Iiih. Hati-hati
woi!” Teriakan salah seorang teman Atar masih terdengar. Mereka berjalan
menjauhi Nasya padahal sedikit pun gadis itu tak berniat mendekati mereka.
Nasya hanya menunduk. Menyimpan luka itu rapat-rapat.
Nasya
menghalau bayangan masa lalunya. Masa lalu disaat dirinya masih duduk dibangku
SMP. Masih duduk dibangku putih biru. Andai saja ada mesin penghapus kenangan,
Nasya ingin tak pernah mengingat kenangan itu lagi. Ia ingin melenyapkan
kenangan itu, bahkan orang-orangnya sekalian.
“Tiga
tahun udah berlalu, tapi rasa sakit itu masih menganga lebar. Aku manusia biasa
yang punya hati. Yang bakal ‘sakit’ kalau disakitin. Yang bakal nangis kalau
semua itu emang terasa nyesek dihati aku,” ujar Nasya pelan. Disusutnya
lelehan air mata yang tanpa sadar menetes.
Atar. Ah, sampai saat
ini pun aku masih bertanya-tanya apa salah aku ke kamu. Sebegitu besarkah
hingga kamu begitu membenciku? Apa aku sebegitu menjijikkannya? Aku bukan
sampah yang bisa seenaknya kalian perlakukan begitu. Aku punya hati dan kini
hati itu masih terluka. Aku nggak tau cara mengobatinya. Lagi-lagi
lelehan bening membasahi pipi putih gadis itu.
Aku janji kalau aku
akan sukses. Aku ingin buktikan pada kalian bahwa aku bukan nothing! Aku janji.
Ada saatnya nanti dimana aku yang akan menertawakan kalian!
Nasya
menghapus setiap tetes air matanya. Luka yang mengenai hati itu emang lebih
sulit dilupakan ketimbang luka yang menggores dibadan. Gadis itu merapikan
rambutnya, lalu kemudian melirik jam tangan yang menempel indah dipergelangan
tangan kirinya.
Nasya berguman pelan. Dimasukkannya novel itu
dan Nasya berjalan meninggalkan bangku taman dengan agak terpincang-pincang disebabkan kaki
kananya lebih pendek beberapa senti dari kaki kirinya.
Beberapa orang memperhatikannya. Menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit
diartikan dan ia benci dengan tatapan seperti itu.
*@muthi*
“Pa?”
Fian menghampiri Rico yang tengah berkutat dengan laptopnya. Lelaki separuh
baya itu menyeduh kopinya, lalu kemudian menatap Fian sekilas. Hanya sekilas!
“Pa?” Fian mengulangi panggilannya sambil berharap sang papa menatapnya dengan
durasi yang lama.
“Keputusan
papa
sudah bulat Fian. Papa cuma
berharap kamu bisa belajar banyak di Indonesia,” jawab Rico seakan mengetahui apa
yang akan dibicarakan oleh anak lelakinya itu. Fian mendengus kesal sembari
menatap geram kearah Rico.
“Pa,
come on! Aku masih bisa kuliah disini
kan bareng Kafta? Ngapain harus jauh-jauh ke Indonesia?” ujar Fian setengah memohon. “Kalau kamu tetep
disini, kamu akan semakin terpengaruh dengan teman-teman kamu yang nggak benar
itu!”
Fian
menghela nafas kesal. “Nggak benar gimana sih Pa? Please! Aku udah 20 tahun,
bukan anak kecil. Aku bisa nentuin mana yang baik buat aku sendiri.”
“Fian!
Saya lagi sangat sibuk. Tolong tinggalkan saya.” Suara Rico naik beberapa
oktaf. Lagi-lagi entah untuk keberapa kalinya Fian mendengus kesal sembari
berlalu meninggalkan Rico.
Rico menatap kepergian Fian sembari menghela
nafas pelan. Digeleng-gelengkannya kepalanya melihat tingkah anak lelakinya
itu. Fian melangkahkan kakinya keluar rumah. Distarternya motor FU hitam-nya
dan motor itu pun membelah jalanan kota Tokyo yang tak pernah sepi.
Fian
membawa motornya dengan kencang. Menyalip motor lain bahkan mobil sehingga membuat
pengendara lain mengumpati tindakannya itu. Menerobos lampu merah. Fian sama sekali tak peduli, satu-satunya
yang ia pedulikan hanyalah kepuasan pribadinya untuk menuntaskan segala rasa
kekesalan yang berkecamuk didalam dirinya.
Kalau pun gue mati,
nggak kan ada yang peduli kan? Fian kembali menggas
motornya dengan kecepatan super tinggi. Jaket levisnya berkibar tertiup angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar