Hujan
semakin deras mengguyur kota Pekanbaru, bagaikan butiran manik-manik yang
datang dari langit. Aku menengadah pelan, sembari merapikan dudukku dihalte
TMP. Pandangan mataku lekat memandangi sosok tubuh-tubuh mungil yang mengais
rezeki lewat berjualan koran atau sekedar menyanyikan sebuah lagu, berharap
akan ada yang memberikan mereka sedikit recehan untuk menyambung hidup.
source: google |
Aku
menghela nafas pelan. Tidak seharusnya anak-anak seusia mereka mengorbankan
masa kanak-kanaknya untuk mencari sesuap nasi. Seusia mereka biasanya tengah
duduk dibangku sekolah sambil mendengarkan secercah ilmu yang disampaikan oleh
guru-guru.
Pernah waktu itu aku berdiskusi
dengan salah satu dari mereka yang bernama Ayu. Dia gadis belia yang pintar,
begitu menurutku. Saat ku tanyakan mengapa ia tak sekolah, ia menghela nafas berlahan, seakan-akan masalah
itu amat berat baginya.
“Dulu pernah sekolah kak, tapi
disuruh berhenti sama Ibuk. Disuruh bantuin Ibuk cari uang aja. Lagian walaupun
ada dana bos, masih ada guru yang mintain uang.” Begitu jawaban polosnya kala
itu. Jawaban polos dari seorang gadis pinggiran yang setiap hari menenteng
koran-koran dan menjajakannya dilampu merah perempatan SKA. Jawaban polos dari
gadis mungil yang dari sinar matanya aku menangkap bahwa ia masih ingin lebih
lama mengenyam pendidikan, layaknya teman-teman seusianya.
Yah nasib! Memang beginilah keadaan
sekarang ini. Banyak anak-anak yang tidak dapat sekolah karna kondisi keuangan
dan banyak juga yang bisa sekolah, tapi tidak mampu untuk belajar secara
sunguh-sungguh. Aku kembali entah untuk yang keberapa kalinya menghela nafas.
Tatapan mataku masih terpaku pada hujan diluar halte.
Dua orang bocah lelaki berseragam
SMP memasuki halte dan duduk tidak jauh dariku. Baju mereka basah kuyub, tapi
tawa mereka masih tersembul. “Untung hari ini kita bisa bolos, malas banget
masuk pelajaran Pak Eno si guru sejarah itu.” Salah seorang dari mereka
berceletuk sembari merapikan rambutnya.
Aku melirik mereka sekilas. Dari
name tag yang tertempel dibaju seragam mereka, kuketahui mereka bernama Agil
dan Coki. “Iya, aku juga malas sama tu guru. Udah ngajarnya ngebosenin lagi.”
Agil berkomentar, menimpali kata-kata Coki tadi.
Aku terus mengamati mereka dari
sudut mataku, sedangkan hujan tetap saja tak ingin berhenti. Coki meraih
sekotak rokok dari saku celananya, menghidupkan rokok tersebut dan
menghembuskannya dengan lihai. Diikuti juga oleh Agil, membuatku menatap mereka
tak percaya. Entah kenapa hatiku terasa miris. Diusia sebelia itu, mereka
habiskan waktu mudanya untuk merokok, untuk bolos, dan mungkin juga untuk
sesuatu hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
*@@@*
Aku menatap langit malam. Menatap
rasi-rasi bintang yang terlukis indah. Pikiranku masih terpaku pada dua sosok
bocah lelaki yang kutemui dihalte tadi. Begitukah potret pelajar Indonesia?
Begitukah wajah pendidikan Indonesia saat ini? Siapa yang bisa disalahkan?
Orang tua? Guru? Atau bahkan sistem pendidikan yang ada di Indonesia?
Beribu tanya terkuak dalam alam
bawah sadarku. Entah kenapa aku sangat peduli dengan nasib anak-anak bangsa
ini. Dengan nasib pendidikan Indonesia saat ini. Masih terekam jelas kata-kata
bung Karno dibenakku : Berikan aku
sepuluh pemuda, maka akan aku ubah dunia. Begitulah kurang lebih
kata-katanya yang entah kenapa membuatku menarik kesimpulan bahwa anak-anak
saat ini, remaja dan pemuda saat ini adalah tonggak masa depan. Adalah pemegang
estafet pemerintahan dimasa-masa yang akan datang. Ditangan merekalah akan
dibawa kemana negara ini. Ditangan merekalah akan digerakkan kemana roda
pemerintahan ini.
Baca
juga: Semua akan indah pada waktunya
Kalau
anak-anak, remaja, dan pemudanya tidak dididik dengan baik, apakah bisa
menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas dimasa yang akan datang? Jika sistem
pendidikannya salah, apa bisa menjadikan mereka sebagai penobang untuk negara
ini? Aku mempererat jaket pink yang aku kenakan. Hembusan angin malam semakin
menggila, menusuk-nusuk kulit tubuhku.
Handphone-ku berbunyi, menandakan
sebuh SMS masuk. Aku meraih handphone dari saku celanaku. Membuka SMS itu.
From : Ika
Semangat untuk kelas insfirasinya ya
Shofi! Teruslah menjadi Shofi yang aku kenal dan menginsfirasi orang-orang
disekitarmu.
Aku tersenyum membaca SMS dari Ika,
sahabatku. Bismillah, lancarkanlah untuk
besok pagi Ya Allah. semoga aku bisa mengisfirasi adik-adik sekolah dasar
didaerah terpencil. Bisik hatiku.
*@@@*
SD Harapan. Ya disinilah aku berada.
Menyusuri lorong-lorong kecil yang kurang terawat. Saat sampai didepan sebuah
kelas yang berisi 40-an siswa, aku mengucap salam. Cukup lama aku berdiri diambang
pintu. Kuperhatikan dengan teliti ruang kelas ini yang bisa dibilang kurang
layak untuk digunakan lagi. Begitu juga bangku-bangkunya dan papan tulisnya
masih menggunakan kapur.
Lagi-lagi hati ini teriris. Mana
uang yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan? Bukankah jumlahnya sangat
besar? Bukankah didalam UU no. 20 tahun 2003 secara tersurat menyatakan bahwa pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan
mutu, mana?
“Bu Guru, kenapa berdiri disitu?”
Salah seorang dari murid-murid baruku mengingatkan. Aku tersadar, lalu memasuki
kelas sambil tersenyum. Aku menatap wajah-wajah murid kelas dua SD ini.
Wajah-wajah yang masi menunjukkan kepolosan. Wajah yang akan mengisi pemerintahan
bertahun-tahun kedepan. Hari ini aku akan bertekad untuk mengajarkan mereka
banyak hal. Tentang mimpi, tentang cita-cita, dan tentang semangat mengejar apa
yang mereka mau.
*@@@*
“Nah gimana adik-adik? Kapal yang
kalian buat udah siap belum?” Aku bertanya sambil tersenyum. Dengan bersemangat
mereka mengangguk dan mengacungkan kapal-kapal mereka. Menurutku, untuk
mmengajarkan anak-anak SD yang masih dalam masanya bermain, ya dengan turut
masuk dunia mereka. Ajak mereka bermain dengan belajar.
“Wah pinter semuanya. Saat ini Ibu
bawa peta yang besar.” Aku membuka gulungan peta dan menunjukkan pada mereka.
“Yang ini Singapura, ini Malaysia. Eh disini siapa yang suka nonton naruto?”
tanyaku bersemangat. Setengah dari 40 anak yang ku ajar mengacungkan tangan.
“Nah naruto itu berasal dari Jepang.
Siapa yang pengen ke Jepang buat jumpa naruto?”
“Akuuu.” Semua murid-muridku
serempak menjawab sambil mengangkat tangannya. Aku tersenyum. Aku membentangkan
peta besar itu dilantai kelas mereka. “Silahkan kalian maju satu persatu dan
letakkan kapal kalian ditempat yang ingin kalian kunjungi diatas peta ini.”
Satu persatu mereka maju dengan
teratur. “Aku ingin ke Makkah bu, bolehkan aku letakkan kapalnya kesitu? Nanti
aku bawa emak-apak kesana.” Seorang gadis mungil berkuncir kuda dengan baju SD
yang sudah kusam berhenti tepat didepanku. Aku terperangah menatap gadis itu,
diusianya yang masih sangat kecil, ia mampu berfikir semulia itu.
Aku tersenyum, lalu mensejajarkan
kepalaku dengan kepalanya. Kuusap-usap rambut gadis itu. “Amin, Insha Allah.
Pasti bisa!” Bocah mungil itu tersenyum menatapku. “Jika kalian punya mimpi,
kalian harus berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkannya ya adik-adik! Salah
satu caranya adalah dengan rajin belajar, trus juga berdo’a, berbakti kepada
orang tua dan guru.” Ceramahku disaat mereka dengan takjub menatap peta itu
yang kini sudah penuh oleh bermacam-macam kapal.
Cara ini adalah cara yang dulu
diajarkan oleh almarhumah ibuku. Cara yang mengantarkanku mencintai Jerman dan
berniat untuk melanjutkan studi disana atau setidaknya merasakan studi disana
walau Cuma 6 bulanan. Awalnya semua itu terlihat tidak mungkin, tapi aku selalu
yakin dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan. Hingga hal itu bisa terwujud
ditahun 2014 kemaren, melalui program exchange student.
Di Jerman banyak yang aku pelajari
dan aku melihat perbedaan yang amat jauh antara pendidikan di Jerman dengan
Indonesia.
~The End~
#odopbatch5 #onedayonepost
Mantap,,,
BalasHapuspotret pendidikan Indonesia yg masih perlu diperbaiki, miris.... ketika hanya mereka yg berduit yg berhak bersekolah.
Ini kisah nyata ya, mb muthi?
keren....