Selasa, 30 Januari 2018

Wajah Pendidikan



Hujan semakin deras mengguyur kota Pekanbaru, bagaikan butiran manik-manik yang datang dari langit. Aku menengadah pelan, sembari merapikan dudukku dihalte TMP. Pandangan mataku lekat memandangi sosok tubuh-tubuh mungil yang mengais rezeki lewat berjualan koran atau sekedar menyanyikan sebuah lagu, berharap akan ada yang memberikan mereka sedikit recehan untuk menyambung hidup. 
source: google


Aku menghela nafas pelan. Tidak seharusnya anak-anak seusia mereka mengorbankan masa kanak-kanaknya untuk mencari sesuap nasi. Seusia mereka biasanya tengah duduk dibangku sekolah sambil mendengarkan secercah ilmu yang disampaikan oleh guru-guru. 

            Pernah waktu itu aku berdiskusi dengan salah satu dari mereka yang bernama Ayu. Dia gadis belia yang pintar, begitu menurutku. Saat ku tanyakan mengapa ia tak sekolah, ia  menghela nafas berlahan, seakan-akan masalah itu amat berat baginya. 

            “Dulu pernah sekolah kak, tapi disuruh berhenti sama Ibuk. Disuruh bantuin Ibuk cari uang aja. Lagian walaupun ada dana bos, masih ada guru yang mintain uang.” Begitu jawaban polosnya kala itu. Jawaban polos dari seorang gadis pinggiran yang setiap hari menenteng koran-koran dan menjajakannya dilampu merah perempatan SKA. Jawaban polos dari gadis mungil yang dari sinar matanya aku menangkap bahwa ia masih ingin lebih lama mengenyam pendidikan, layaknya teman-teman seusianya. 

            Yah nasib! Memang beginilah keadaan sekarang ini. Banyak anak-anak yang tidak dapat sekolah karna kondisi keuangan dan banyak juga yang bisa sekolah, tapi tidak mampu untuk belajar secara sunguh-sungguh. Aku kembali entah untuk yang keberapa kalinya menghela nafas. Tatapan mataku masih terpaku pada hujan diluar halte. 

            Dua orang bocah lelaki berseragam SMP memasuki halte dan duduk tidak jauh dariku. Baju mereka basah kuyub, tapi tawa mereka masih tersembul. “Untung hari ini kita bisa bolos, malas banget masuk pelajaran Pak Eno si guru sejarah itu.” Salah seorang dari mereka berceletuk sembari merapikan rambutnya.

            Aku melirik mereka sekilas. Dari name tag yang tertempel dibaju seragam mereka, kuketahui mereka bernama Agil dan Coki. “Iya, aku juga malas sama tu guru. Udah ngajarnya ngebosenin lagi.” Agil berkomentar, menimpali kata-kata Coki tadi.

            Aku terus mengamati mereka dari sudut mataku, sedangkan hujan tetap saja tak ingin berhenti. Coki meraih sekotak rokok dari saku celananya, menghidupkan rokok tersebut dan menghembuskannya dengan lihai. Diikuti juga oleh Agil, membuatku menatap mereka tak percaya. Entah kenapa hatiku terasa miris. Diusia sebelia itu, mereka habiskan waktu mudanya untuk merokok, untuk bolos, dan mungkin juga untuk sesuatu hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
*@@@*
            Aku menatap langit malam. Menatap rasi-rasi bintang yang terlukis indah. Pikiranku masih terpaku pada dua sosok bocah lelaki yang kutemui dihalte tadi. Begitukah potret pelajar Indonesia? Begitukah wajah pendidikan Indonesia saat ini? Siapa yang bisa disalahkan? Orang tua? Guru? Atau bahkan sistem pendidikan yang ada di Indonesia? 

            Beribu tanya terkuak dalam alam bawah sadarku. Entah kenapa aku sangat peduli dengan nasib anak-anak bangsa ini. Dengan nasib pendidikan Indonesia saat ini. Masih terekam jelas kata-kata bung Karno dibenakku : Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku ubah dunia. Begitulah kurang lebih kata-katanya yang entah kenapa membuatku menarik kesimpulan bahwa anak-anak saat ini, remaja dan pemuda saat ini adalah tonggak masa depan. Adalah pemegang estafet pemerintahan dimasa-masa yang akan datang. Ditangan merekalah akan dibawa kemana negara ini. Ditangan merekalah akan digerakkan kemana roda pemerintahan ini.



Kalau anak-anak, remaja, dan pemudanya tidak dididik dengan baik, apakah bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas dimasa yang akan datang? Jika sistem pendidikannya salah, apa bisa menjadikan mereka sebagai penobang untuk negara ini? Aku mempererat jaket pink yang aku kenakan. Hembusan angin malam semakin menggila, menusuk-nusuk kulit tubuhku. 

            Handphone-ku berbunyi, menandakan sebuh SMS masuk. Aku meraih handphone dari saku celanaku. Membuka SMS itu.

From : Ika
Semangat untuk kelas insfirasinya ya Shofi! Teruslah menjadi Shofi yang aku kenal dan menginsfirasi orang-orang disekitarmu.

            Aku tersenyum membaca SMS dari Ika, sahabatku. Bismillah, lancarkanlah untuk besok pagi Ya Allah. semoga aku bisa mengisfirasi adik-adik sekolah dasar didaerah terpencil. Bisik hatiku.
*@@@*
            SD Harapan. Ya disinilah aku berada. Menyusuri lorong-lorong kecil yang kurang terawat. Saat sampai didepan sebuah kelas yang berisi 40-an siswa, aku mengucap salam. Cukup lama aku berdiri diambang pintu. Kuperhatikan dengan teliti ruang kelas ini yang bisa dibilang kurang layak untuk digunakan lagi. Begitu juga bangku-bangkunya dan papan tulisnya masih menggunakan kapur. 

            Lagi-lagi hati ini teriris. Mana uang yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan? Bukankah jumlahnya sangat besar? Bukankah didalam UU no. 20 tahun 2003 secara tersurat  menyatakan bahwa pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu, mana? 

            “Bu Guru, kenapa berdiri disitu?” Salah seorang dari murid-murid baruku mengingatkan. Aku tersadar, lalu memasuki kelas sambil tersenyum. Aku menatap wajah-wajah murid kelas dua SD ini. Wajah-wajah yang masi menunjukkan kepolosan. Wajah yang akan mengisi pemerintahan bertahun-tahun kedepan. Hari ini aku akan bertekad untuk mengajarkan mereka banyak hal. Tentang mimpi, tentang cita-cita, dan tentang semangat mengejar apa yang mereka mau.
*@@@*
            “Nah gimana adik-adik? Kapal yang kalian buat udah siap belum?” Aku bertanya sambil tersenyum. Dengan bersemangat mereka mengangguk dan mengacungkan kapal-kapal mereka. Menurutku, untuk mmengajarkan anak-anak SD yang masih dalam masanya bermain, ya dengan turut masuk dunia mereka. Ajak mereka bermain dengan belajar. 

            “Wah pinter semuanya. Saat ini Ibu bawa peta yang besar.” Aku membuka gulungan peta dan menunjukkan pada mereka. “Yang ini Singapura, ini Malaysia. Eh disini siapa yang suka nonton naruto?” tanyaku bersemangat. Setengah dari 40 anak yang ku ajar mengacungkan tangan. 

            “Nah naruto itu berasal dari Jepang. Siapa yang pengen ke Jepang buat jumpa naruto?”
            “Akuuu.” Semua murid-muridku serempak menjawab sambil mengangkat tangannya. Aku tersenyum. Aku membentangkan peta besar itu dilantai kelas mereka. “Silahkan kalian maju satu persatu dan letakkan kapal kalian ditempat yang ingin kalian kunjungi diatas peta ini.” 

            Satu persatu mereka maju dengan teratur. “Aku ingin ke Makkah bu, bolehkan aku letakkan kapalnya kesitu? Nanti aku bawa emak-apak kesana.” Seorang gadis mungil berkuncir kuda dengan baju SD yang sudah kusam berhenti tepat didepanku. Aku terperangah menatap gadis itu, diusianya yang masih sangat kecil, ia mampu berfikir semulia itu.

            Aku tersenyum, lalu mensejajarkan kepalaku dengan kepalanya. Kuusap-usap rambut gadis itu. “Amin, Insha Allah. Pasti bisa!” Bocah mungil itu tersenyum menatapku. “Jika kalian punya mimpi, kalian harus berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkannya ya adik-adik! Salah satu caranya adalah dengan rajin belajar, trus juga berdo’a, berbakti kepada orang tua dan guru.” Ceramahku disaat mereka dengan takjub menatap peta itu yang kini sudah penuh oleh bermacam-macam kapal.

            Cara ini adalah cara yang dulu diajarkan oleh almarhumah ibuku. Cara yang mengantarkanku mencintai Jerman dan berniat untuk melanjutkan studi disana atau setidaknya merasakan studi disana walau Cuma 6 bulanan. Awalnya semua itu terlihat tidak mungkin, tapi aku selalu yakin dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan. Hingga hal itu bisa terwujud ditahun 2014 kemaren, melalui program exchange student. 

            Di Jerman banyak yang aku pelajari dan aku melihat perbedaan yang amat jauh antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia.
~The End~

#odopbatch5 #onedayonepost
 

1 komentar:

  1. Mantap,,,
    potret pendidikan Indonesia yg masih perlu diperbaiki, miris.... ketika hanya mereka yg berduit yg berhak bersekolah.

    Ini kisah nyata ya, mb muthi?
    keren....

    BalasHapus