Gadis itu masih
asik berkutat dengan buku novelnya. Sesekali senyum manisnya tersungging pelan.
Sama sekali tak dihiraukannya disekitarnya. “Hey Kafta!” sapaan dari Tasia
teman sebangkunya membuat gadis itu menoleh sesaat.
Kafta
kembali asik dengan bacaannya. Aku nggak
butuh dia. Nggak butuh teman atau siapa pun untuk menemaniku. Batin Kafta.
Tasia menyenggol lengan gadis berpita biru itu, membuat Kafta menoleh dengan
ekspresi kesal.
“Apa
sih? Bisa nggak jangan ganggu aku?” Kafta memandang Tasia dengan tatapan sinis.
Tasia tertawa, membuat kening Kafta mengenyit tak mengerti. “Kaf! Kaf! Sampai
kapan sih kamu mau begini terus? Sampai kapan kamu nggak mau buka diri kamu
untuk orang lain. Kita hidup didunia ini butuh teman atau sahabat tau.”
Kafta
mendenlik kesal. Matanya lurus memandang lapangan yang lagi dipakai untuk
bermain basket. Tasia menghela nafas pelan, sama sekali tak mengerti dengan
jalan pikiran Kafta. Cewek kelas 2 SMA itu menatap wajah Kafta dalam-dalam.
Mencoba mencari jawaban dalam wajah itu.
“Aku
nggak butuh kalian! Dari dulu pun begitu. Jangan sok ngajarin aku tentang
kehidupan karna kamu nggak pernah tau tentang hidup aku.” Kafta bangkit dari
duduknya sembari berlalu meninggalkan Tasia.
Tasia
memandang punggung Kafta dengan tatapan nanar. Hanya segitukah? Bahkan didunia ini tak ada manusia yang sanggup
bertahan hidup sendiri. Ada apa dengan kamu Kaf? Tasia menghela nafas
pelan.
*@muthiiihauraa*
Kafta
mencoret-coret bukunya. Penjelasan dari Bu Endang guru biologinya bagaikan ‘Bullet train’ yang melintasi terowongan
telinganya. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Tak ada satu
penjelasan pun yang singgah dibenak gadis itu.
Pikiran
Kafta melayang menyedot perhatiannya ke dua tahun yang lalu saat gadis itu
masih duduk dikelas 2 SMP.
Kafta memasuki rumahnya. Pertengkaran Mama
dan Papanya membuat gadis itu tertegun didepan pintu. Rok biru yang 3 cm
dibawah lutut melambai dengan indah. Kafta menutup telinganya saat mendengar
gelas yang dibanting hingga menjadi butiran-butiran kaca.
“Kamu anak haram Kafta. Kamu bukan anak
saya!” Seorang laki-laki mendekati Kafta. Lelaki yang selama ini ia panggil
‘papa’. Kafta tertegun sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan laki-laki
berusia 45 tahunan itu.
“Papa ngomong apa sih Pa? Aku
benar-benar nggak ngerti.” Karla menatap Roni—papanya dengan tatapan nanar.
Roni mendesis kesal. “Jangan panggil saya Papa! Kamu bukan anak saya.” ujar
Roni sembari berlalu meninggalkan Kafta.
Kafta
tertegun sembari mencoba menghalau kepingan-kepingan episode yang menyakitkan
itu. Dada gadis itu terasa sesak, bagai ada ribuan pisau yang mencoba
membunuhnya. Merobek-robek hatinya bagai mainan tak berbentuk. Lagi-lagi
sepenggal episode kembali muncul.
Kafta memasuki rumah Lulu sahabatnya. Sama
sekali tak mengetuk pintu karna ingin memberikan kejutan kecil untuk Lulu.
Kafta menyayangi Lulu karna bagi Kafta, Lulu adalah sahabat terbaiknya.
Digenggaman tangan gadis itu ada dua
gelang yang bertuliskan ‘BFF’. Gelang itu dibuat oleh Kafta. Saat memasuki
ruang tengah rumah Lulu, Kafta melihat Lulu sedang betatapan mesra dengan Adit.
Kafta tertegun. Sama sekali tak percaya
dengan penglihatan matanya. Kafta mempertajam telinganya untuk mendengarkan
percakapan mereka. “Dari dulu pun aku cintanya sama kamu Lu, bukan Kafta.” Adit
menatap lembut kearah Lulu.
Lulu tersenyum malu-malu. “Terus kenapa
kamu nembaknya Kafta kalau sayangnya ke aku?”
Baca juga: Cerpen Pacu Jalur
“Aku pikir dengan aku deketin Kafta,
jalan aku biar dekat dengan kamu jadi jauh lebih besar. I love you, Lulu.” Pipi
Lulu bersemu merah. “Love you too, Adit.”Lulu menyentuh pipi Adit.
Kafta tersenyum sinis. Hatinya kini
sudah benar-benar hancur berkeping-keping. Kafta menahan air matanya. Mencoba
untuk tegar. Gadis itu bertepuk tangan, membuat Lulu dan Adit menatap
kearahnya.
Lulu tersentak kaget. Buru-buru
dijauhinya Adit. “Kafta? Kaf, ini nggak seperti yang kamu bayangin!” Lulu
mencoba menjelaskan. Kafta tertawa getir. “Lengkap yah saat Papa, Mama, pacar,
dan sahabat nggak pernah nganggap Kaftania Arrasy itu ada didunia ini!”
Sebuah
senggolan dari Tasia membuat semua lamunan Kafta buyar. Kafta menatap sinis
kearah Tasia. “Apa sih?” Tasia menunjuk dengan ujung matanya. “Kafta! Sudah
kamu ngelamunnya? Coba kamu jelasin apa yang saya jelaskan barusan.” Ucap bu
Endang sinis.
What the hell is this! Apa yang mau aku
jelasin? Sebuah kertas berukuran kecil mampir dimejanya. “Jelasin aja yang
ada dikertas itu.” bisik Tasia sepelan mungkin.
*@muthiiihauraa*
Panas
terik matahari membakar kulit Kafta. Tenggorokan gadis itu terasa sangat
kering. Berkali-kali Kafta menyeka keringat didahinya. Kafta melangkahkan
kakinya memasuki sebuah gang yang lumayan sepi. Gang ini memang menembus
kesebuah perumahan elit tempat Kafta tinggal.
“Hai
neng, mau kemana?” Seorang preman bertampang serem menghampiri Kafta. Gadis itu
bergidik ngeri. Ia mengutuk dirinya karna sudah memilih jalan pulang yang
salah. “Ma—mau pu—pulang bang.”
Dengan
kurang ajar preman itu memegang lengan Kafta. Gadis itu memberontak sembari
berteriak-teriak. “Disini sepi kok neng! Nggak bakal ada yang denger.” Cekalan
pria itu semakin kuat dilengan Kafta.
BUGH!
Sebuah balok kayu berukuran besar menghantam punggung kekar pria itu, membuat
pria itu terjatuh kesakitan. “Kaf, ayo lari!” Tasia menarik lengan Kafta yang
tampak kebingunga.
Dua
gadis itu berlari dengan cepat. “Sial! Kalian nggak akan bisa kabur!” teriak
preman itu sembari mengejar Tasia dan Kafta. Berlari dan terus berlari, itulah
yang dilakukan Tasia dan Kafta. Nafas mereka sudah memburu pelan.
Tiba-tiba
kaki Tasia tersandung kayu, membuat gadis itu terjatuh. Kakinya terkilir. Kafta
mengulurkan tangannya untuk membantu Tasia berdiri. “Kaf, pergi kabur! Cepat.”
Kafta memandang aneh kearah Tasia.
“Aku
nggak akan kabur tanpa kamu Tasia!” Kafta mencoba memapah Tasia. Preman itu
semakin dekat.
*@muthiiihauraa*
Dua
gadis itu mengatur nafasnya. Kini mereka sudah berada disebuah pasar yang sama
sekali tidak mereka kenali. Kafta dan Tasia saling tatap, lalu keduanya
tertawa. Tawa bahagia karna selamat dari bahaya.
“Tas,
makasih banget ya. Aku nggak tau gimana nasib aku kalau nggak ada kamu.” Kafta tersenyum tulus.
“Itulah gunanya sahabat Kaf.” Kafta tertegun mendengar kata ‘sahabat’. Kata
yang selama ini cukup dibencinya.
“Kaf,
setiap orang itu butuh sahabat. Nggak ada yang bisa bertahan sendiri.” lanjut
Tasia. Kafta merenung pelan. Sama sekali nggak mudah untuk merubah pandangan
yang selama ini sudah tertanam dalam dirinya.
“Memangnya
apa sih gunanya sahabat?”
“Sahabat
akan membawamu berkeliling dunia disaat sayapmu patah. Sahabat akan
mengendongmu disaat kakimu tak kuat lagi melangkah dalam mengarungi dunia.
Sahabat akan meminjamkan telinganya disaat kamu ingin bercerita.”
Kafta
merenungi setiap kalimat yang diucapkan oleh Tasia. “Sahabat sejati tak akan
pergi jauh darimu dan akan selalu mengandeng tanganmu serta memberikan senyuman
kehangatan disaat kamu punya masalah.” Tasia menatap tepat dimanik mata Kafta,
membuat Kafta sedikit salah tingkah.
“Tasia.”
Panggil Kafta pelan. “Ya?” Tasia menatap bingung. “Would you to be my best friend?” tanya Kafta membuat Tasia tertegun
senang. Kafta mengacungkan jari kelingkingnya dihadapan Tasia.
Tasia
menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kafta. Udah saatnya aku ngelupain masa lalu dan melihat kedepan. Kafta
membatin.
The
end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar