Minggu, 04 Maret 2018

Sahabat

Gadis itu masih asik berkutat dengan buku novelnya. Sesekali senyum manisnya tersungging pelan. Sama sekali tak dihiraukannya disekitarnya. “Hey Kafta!” sapaan dari Tasia teman sebangkunya membuat gadis itu menoleh sesaat.

        Kafta kembali asik dengan bacaannya. Aku nggak butuh dia. Nggak butuh teman atau siapa pun untuk menemaniku. Batin Kafta. Tasia menyenggol lengan gadis berpita biru itu, membuat Kafta menoleh dengan ekspresi kesal.

        “Apa sih? Bisa nggak jangan ganggu aku?” Kafta memandang Tasia dengan tatapan sinis. Tasia tertawa, membuat kening Kafta mengenyit tak mengerti. “Kaf! Kaf! Sampai kapan sih kamu mau begini terus? Sampai kapan kamu nggak mau buka diri kamu untuk orang lain. Kita hidup didunia ini butuh teman atau sahabat tau.”

        Kafta mendenlik kesal. Matanya lurus memandang lapangan yang lagi dipakai untuk bermain basket. Tasia menghela nafas pelan, sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Kafta. Cewek kelas 2 SMA itu menatap wajah Kafta dalam-dalam. Mencoba mencari jawaban dalam wajah itu.

        “Aku nggak butuh kalian! Dari dulu pun begitu. Jangan sok ngajarin aku tentang kehidupan karna kamu nggak pernah tau tentang hidup aku.” Kafta bangkit dari duduknya sembari berlalu meninggalkan Tasia.

        Tasia memandang punggung Kafta dengan tatapan nanar. Hanya segitukah? Bahkan didunia ini tak ada manusia yang sanggup bertahan hidup sendiri. Ada apa dengan kamu Kaf? Tasia menghela nafas pelan.
*@muthiiihauraa*
        Kafta mencoret-coret bukunya. Penjelasan dari Bu Endang guru biologinya bagaikan ‘Bullet train’ yang melintasi terowongan telinganya. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Tak ada satu penjelasan pun yang singgah dibenak gadis itu.

        Pikiran Kafta melayang menyedot perhatiannya ke dua tahun yang lalu saat gadis itu masih duduk dikelas 2 SMP.

        Kafta memasuki rumahnya. Pertengkaran Mama dan Papanya membuat gadis itu tertegun didepan pintu. Rok biru yang 3 cm dibawah lutut melambai dengan indah. Kafta menutup telinganya saat mendengar gelas yang dibanting hingga menjadi butiran-butiran kaca.

        “Kamu anak haram Kafta. Kamu bukan anak saya!” Seorang laki-laki mendekati Kafta. Lelaki yang selama ini ia panggil ‘papa’. Kafta tertegun sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan laki-laki berusia 45 tahunan itu.

        “Papa ngomong apa sih Pa? Aku benar-benar nggak ngerti.” Karla menatap Roni—papanya dengan tatapan nanar. Roni mendesis kesal. “Jangan panggil saya Papa! Kamu bukan anak saya.” ujar Roni sembari berlalu meninggalkan Kafta.
       
        Kafta tertegun sembari mencoba menghalau kepingan-kepingan episode yang menyakitkan itu. Dada gadis itu terasa sesak, bagai ada ribuan pisau yang mencoba membunuhnya. Merobek-robek hatinya bagai mainan tak berbentuk. Lagi-lagi sepenggal episode kembali muncul.

        Kafta memasuki rumah Lulu sahabatnya. Sama sekali tak mengetuk pintu karna ingin memberikan kejutan kecil untuk Lulu. Kafta menyayangi Lulu karna bagi Kafta, Lulu adalah sahabat terbaiknya.

        Digenggaman tangan gadis itu ada dua gelang yang bertuliskan ‘BFF’. Gelang itu dibuat oleh Kafta. Saat memasuki ruang tengah rumah Lulu, Kafta melihat Lulu sedang betatapan mesra dengan Adit.

        Kafta tertegun. Sama sekali tak percaya dengan penglihatan matanya. Kafta mempertajam telinganya untuk mendengarkan percakapan mereka. “Dari dulu pun aku cintanya sama kamu Lu, bukan Kafta.” Adit menatap lembut kearah Lulu.

        Lulu tersenyum malu-malu. “Terus kenapa kamu nembaknya Kafta kalau sayangnya ke aku?”

Baca juga: Cerpen Pacu Jalur

        “Aku pikir dengan aku deketin Kafta, jalan aku biar dekat dengan kamu jadi jauh lebih besar. I love you, Lulu.” Pipi Lulu bersemu merah. “Love you too, Adit.”Lulu menyentuh pipi Adit.


        Kafta tersenyum sinis. Hatinya kini sudah benar-benar hancur berkeping-keping. Kafta menahan air matanya. Mencoba untuk tegar. Gadis itu bertepuk tangan, membuat Lulu dan Adit menatap kearahnya.

        Lulu tersentak kaget. Buru-buru dijauhinya Adit. “Kafta? Kaf, ini nggak seperti yang kamu bayangin!” Lulu mencoba menjelaskan. Kafta tertawa getir. “Lengkap yah saat Papa, Mama, pacar, dan sahabat nggak pernah nganggap Kaftania Arrasy itu ada didunia ini!”

        Sebuah senggolan dari Tasia membuat semua lamunan Kafta buyar. Kafta menatap sinis kearah Tasia. “Apa sih?” Tasia menunjuk dengan ujung matanya. “Kafta! Sudah kamu ngelamunnya? Coba kamu jelasin apa yang saya jelaskan barusan.” Ucap bu Endang sinis.

        What the hell is this! Apa yang mau aku jelasin? Sebuah kertas berukuran kecil mampir dimejanya. “Jelasin aja yang ada dikertas itu.” bisik Tasia sepelan mungkin.

*@muthiiihauraa*
        Panas terik matahari membakar kulit Kafta. Tenggorokan gadis itu terasa sangat kering. Berkali-kali Kafta menyeka keringat didahinya. Kafta melangkahkan kakinya memasuki sebuah gang yang lumayan sepi. Gang ini memang menembus kesebuah perumahan elit tempat Kafta tinggal.

        “Hai neng, mau kemana?” Seorang preman bertampang serem menghampiri Kafta. Gadis itu bergidik ngeri. Ia mengutuk dirinya karna sudah memilih jalan pulang yang salah. “Ma—mau pu—pulang bang.”

        Dengan kurang ajar preman itu memegang lengan Kafta. Gadis itu memberontak sembari berteriak-teriak. “Disini sepi kok neng! Nggak bakal ada yang denger.” Cekalan pria itu semakin kuat dilengan Kafta.

        BUGH! Sebuah balok kayu berukuran besar menghantam punggung kekar pria itu, membuat pria itu terjatuh kesakitan. “Kaf, ayo lari!” Tasia menarik lengan Kafta yang tampak kebingunga.

        Dua gadis itu berlari dengan cepat. “Sial! Kalian nggak akan bisa kabur!” teriak preman itu sembari mengejar Tasia dan Kafta. Berlari dan terus berlari, itulah yang dilakukan Tasia dan Kafta. Nafas mereka sudah memburu pelan.

        Tiba-tiba kaki Tasia tersandung kayu, membuat gadis itu terjatuh. Kakinya terkilir. Kafta mengulurkan tangannya untuk membantu Tasia berdiri. “Kaf, pergi kabur! Cepat.” Kafta memandang aneh kearah Tasia.

        “Aku nggak akan kabur tanpa kamu Tasia!” Kafta mencoba memapah Tasia. Preman itu semakin dekat.
*@muthiiihauraa*
        Dua gadis itu mengatur nafasnya. Kini mereka sudah berada disebuah pasar yang sama sekali tidak mereka kenali. Kafta dan Tasia saling tatap, lalu keduanya tertawa. Tawa bahagia karna selamat dari bahaya.

        “Tas, makasih banget ya. Aku nggak tau gimana nasib aku kalau  nggak ada kamu.” Kafta tersenyum tulus. “Itulah gunanya sahabat Kaf.” Kafta tertegun mendengar kata ‘sahabat’. Kata yang selama ini cukup dibencinya.

        “Kaf, setiap orang itu butuh sahabat. Nggak ada yang bisa bertahan sendiri.” lanjut Tasia. Kafta merenung pelan. Sama sekali nggak mudah untuk merubah pandangan yang selama ini sudah tertanam dalam dirinya.

        “Memangnya apa sih gunanya sahabat?”
        “Sahabat akan membawamu berkeliling dunia disaat sayapmu patah. Sahabat akan mengendongmu disaat kakimu tak kuat lagi melangkah dalam mengarungi dunia. Sahabat akan meminjamkan telinganya disaat kamu ingin bercerita.”

        Kafta merenungi setiap kalimat yang diucapkan oleh Tasia. “Sahabat sejati tak akan pergi jauh darimu dan akan selalu mengandeng tanganmu serta memberikan senyuman kehangatan disaat kamu punya masalah.” Tasia menatap tepat dimanik mata Kafta, membuat Kafta sedikit salah tingkah.

        “Tasia.” Panggil Kafta pelan. “Ya?” Tasia menatap bingung. “Would you to be my best friend?” tanya Kafta membuat Tasia tertegun senang. Kafta mengacungkan jari kelingkingnya dihadapan Tasia.

        Tasia menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kafta. Udah saatnya aku ngelupain masa lalu dan melihat kedepan. Kafta membatin.
       

The end 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar