Selasa, 20 Maret 2018

Nasya #10



“Jangan dengarkan perkataan negatif dari orang lain. Kamu adalah kamu!”

            Nasya menghembuskan nafasnya. Ada sedikit rasa lega yang menghampirinya. Mata kuliah pertama sudah usai sejak beberapa menit yang lalu. Gadis itu senang karna untuk pertama kalinya ia berani bertanya dan mengutarakan pendapatnya dihadapan teman-temannya. Walau awalnya memang deg-degan setengah mati, tapi setelah berhasil rasanya lega banget.
            Sempat sih tadi diliriknya tatapan sinis beberapa orang temannya termasuk Atar, tapi mereka bisa apa kalau ada dosen kan? Ini masa kuliah. Waktu untuk aku nunjuin siapa aku sebenarnya, biar mereka tau bahwa aku bukan orang yang pantas untuk diremehkan. Semangat Nasya! Semangat untuk semua impian-impianmu!
Gadis yang kini memakai bando ungu muda itu tersenyum, lalu kemudian melangkahkan kakinya keluar kelas. Tujuan gadis itu adalah perpustakaan. Mata kuliah pertama dan langsung disuruh buat laporan, luar biasa bukan?
“Heh pincang!” Sebuah suara menahan gerak Nasya. Gadis itu tertegun sesaat, lalu kembali berjalan seakan-akan mencoba untuk tidak mendengar ucapan itu. “Ih udah pincang, budek lagi.” Masih suara yang sama. Tentu saja suara yang sangat familiar ditelinga Nasya. Suara Atar. 

Nasya menoleh menatap Atar. Yang ditatap hanya menunjukkan senyum sinis dengan ujung alis kiri naik beberapa senti. Seisi kelas menatap Nasya dan Atar, membuat Nasya sedikit jengah, terlebih melihat wajah teman-temannya yang seakan tersenyum mengejek kearahnya.
Sabar Sya! Sabar! Kamu udah kuliah, harus lebih dewasa dong! Nggak usah ladeni orang gila. Entar ikut-ikutan gila lho. Nasya menghela nafasnya pelan, lalu kemudian tersenyum menatap Atar. “Makasih,” ucap Nasya dengan nada suara seikhlas mungkin dan kemudian berlalu menuju perpustakaan. Walau sakit rasanya, ia berusaha untuk kuat. Gadis itu selalu berusaha untuk tegar dihadapan orang banyak, padahal pada nyatanya, ia adalah gadis yang sangat rapuh. Serapuh kapas.
Atar mengernyit bingung. Ditatapnya punggung gadis itu yang udah mulai menjauh. Sial! Bisiknya. Atar mendorong bangku didekatnya. Entah kenapa reaksi Nasya tadi membuatnya naik darah.
*@muthiii*
Fian mengawasi gerak-gerik Davi dari jarak yang lumayan  jauh. Ditatapnya Davi yang tengah tertawa dengan teman-temannya didepan ruang BEM fakultas komunikasi. Tawa yang masih sama seperti dulu. Tawa yang sebenarnya kalau ia mau jujur, sangat ia rindukan.
Memang sejak tadi pagi Fian membuntuti Davi. Alasannya cuma satu, hanya ingin mencari tau siapa cewek yang ditaksir Davi dan merebut cewek itu dari Davi. Kejam bukan? Maaf Dav! Gue Cuma pengen balas dendam atas sesuatu yang berharga yang seharusnya jadi milik gue dan malah lo rebut. Jadi nggak ada salahnya kan gue ngelakuin itu juga ke lo? Biar impas dong!
“Hei!” Sebuah suara dan senggolan di pundak Fian membuat lelaki itu tersadar. Fian buru-buru memperbaiki duduknya sembari menatap kearah orang yang telah dengan sukses menghancurkan penyelidikannya.
“Fian?” Gadis itu kembali bersuara. “Eh elo. Ngapain sih? Bikin kaget aja.” Fian menatap cewek disampingnya. Cewek yang kemaren ditemuinya saat hari hujan. “Aku yang harusnya nanya kaya gitu, kamu ngapain? Ngintip-ngintip kaya penjahat aja,” jawab Nasya polos.
Fian nyengir kuda. “Eh. Enggak kok. Cuma lagi senam kepala aja.”
Nasya menatap Fian dengan tatapan menyelidik, lalu kemudian gadis itu manggut-manggut seolah percaya. “Oh iya, jaketnya masih aku cuci. Belum kering.”
“Oke. Lo buruan pergi deh. Ganggu gue aja. Sana-sana.” Fian mengibas-ngibaskan tangannya seolah mengusir. Nasya tertegun, sama sekali tak menyangka kalau Fian yang ditemuinya sekarang bukanlah Fian yang dengan suka rela memberikan jaketnya kemaren.
“Oh oke. Sorry ganggu.”
“Iya buruan!” Fian setengah membentak. Nasya buru-buru meninggalkan Fian dan berjalanan menuju arah perpustakaan. Tuh kan! Harusnya aku nggak usah terlalu kepedean. Seekor angsa tak kan pernah mau menjadi teman si itik. Nasya mencoba tersenyum. Pahit. Getir.
Itu cewek ganggu aja! Fian menggerutu, lalu kembali menatap perkumpulan Davi dan teman-temannya, tapi sayang target sudah tidak ada ditempat. “Arght! Shit! Gara-gara tu cewek aneh nih. Kehilangan kan gue!” 
Oke, mungkin kali ini gagal. Tapi liat aja besok! Bisik Fian sembari melangkah meninggalkan fakultas komunikasi dengan langkah setengah dongkol. 
*@muthiii*
Nasya masih asik berkutat dengan diktat-diktat kuliah yang ia temukan diperpustakaan. Hobby membaca gadis itu membantunya dalam menyelesaikan tugas laporan mata kuliah pengantar ilmu komunikasi. Perpustakaan seperti biasa masih sepi.
Sesekali Nasya melenggangkan kepalanya mengikuti irama dari radio yang tengah diputarnya dengan handset. Memang gadis itu nggak bisa belajar tanpa siaran radio, dan itu juga salah satu alasan Nasya pengen menjadi seorang penyiar radio.
Lagu lumpuhkan ingatanku dari Geisha berhenti mengalun dan digantikan oleh sebuah suara renyah diujung sana. Nasya mendengarkan dengan seksama walaupun fokusnya terbagi dua.
“Selamat siang Harapners dan selamat datang para mahasiswa-mahasiswi baru. Cuma sedikit pengumuman nih bagi yang maba dan ingin bergabung dengan radio kampus kita, caranya awalnya sangat gampang. Silahkan kirim CV kalian ruang radio yang terletak dibelakang gedung PKM.”
Suara itu masih terus mengalun dengan indahnya, sedangkan Nasya menjadi terdiam dan fokusnya kini benar-benar tertuju pada suara si penyiar itu. Bukan karna suara si penyiar itu bagus, hanya saja Nasya sangat tertarik dengan info yang baru saja si penyiar itu sampaikan. Gabung radio? Jadi penyiar? Impianku bukan?
Gadis itu menghela nafas. Terbayang dibenaknya bagaimana asiknya menjadi anak radio, apalagi bisa makai pakain khas anak radio yang didesign dengan sangat unik. Begitu menurutnya. Oke, aku bakal daftar! Tapi aku sanggup nggak ya? Nasya menggigit bibir bawahnya. Batinnya bergejolak bimbang antara iya dan tidak.
Kalau mereka nggak nerima aku gimana? Kalau mereka malah malu punya teman penyiar yang pincang kaya aku gimana? Ada keraguan yang menghimpit batin gadis itu. Di satu sisi, Nasya ingin ikut mendaftar. Sedangkan disisi lain, ia takut akan terjadi hal buruk yang akan menimpa dirinya.
Nasya menatap seisi perpustakaan. Nggak ada yang berubah. Para mahasiswa yang menghuni perpustakaan masih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Wajah ayah, bunda, dan kedua adiknya muncul dibenak Nasya dan membuat gadis itu kembali mendapatkan semangatnya.
Aku harus daftar! Apa pun hasilnya nanti itu pasti yang terbaik. Aku harus sukses demi orang-orang yang aku cintai. Aku harus buktikan kemereka-mereka yang pernah mandang aku sebelah mata. Semangat Sya!
Akhirnya Nasya memutuskan untuk mendaftar, walau masih tetap ada sedikit keraguan dihatinya. Segera ditepisnya keraguan itu dan digantinya dengan berjuta-juta keyakinan.
“Ya Allah. Kali ini bantu aku untuk gapai impian aku.” Nasya memohon dengan suara sepelan dan selirih mungkin. Harapan itu benar-benar besar untuk menjadi seorang penyiar, walau masih penyiar kampus. Setidaknya menurut Nasya dengan menjadi seorang penyiar tentu pandangan sinis tak akan menghampirinya lagi.
Aku harus sukses semuda mungkin! Nasya menghela nafas, lalu kembali berkutat dengan diktat-diktat kuliahnya. Semangatnya terpompa. Terpompa untuk membuktikan diri menjadi yang terbaik.
*@muthiii*
Davi menyandar dibangku ruang musik. Tangannya sudah berada di tuts-tuts piano dihadapannya, tapi sama sekali cowok itu tak ingin menggerakkan tangannya. Rasanya kaku. Davi menelan ludah.
Dari dulu, gue pengen jadi seorang pianist. Tapi mimpi itu harus gue pupuskan sebelum gue kecewa terlalu dalam. Davi memukul tuts piano dihadapannya dengan tangan kanannya, lalu cowok itu meninggalkan bangku piano dan meraih sebuah gitar. Dimainkannya senar gitar itu dengan nada tak beraturan. Emosi dan rasa sedih terpantul dari mata cowok berwajah ganteng dengan alis tebal dan rahang kuat itu.
“Say, disini ternyata! Gue cariin tau.” Siska menghampiri Davi dengan tatapan manjanya dan tentu saja bikin Davi muak. Davi menatap Siska sesaat, lalu kembali memainkan gitarnya dengan nada tak beraturan.
“Wah ternyata gue selama ini nggak salah. Lo jago banget main gitarnya. Keren! Pasti lo ada cita-cita pengen jadi gitaris kan? Kebetulan, abang sepupu gue punya band yang akan diorbitkan. Lo bisa gue masuin kalau lo mau.” Siska menyerocos panjang lebar. Davi mengeram kesal. Kaya gini dia bilang bagus? Sok tau banget nih cewek.
“Dav, lo nggak perlu berterimakasih sama gue. Gue ngelakuin ini karna gue sayang sama lo.” Siska lagi-lagi angkat suara tanpa tau Davi sudah benar-benar muak dengannya. Davi mencoba mengendalikan emosinya yang semakin terbakar sejak kedatangan Siska barusan.
“Gue nggak mau,ucap Davi dengan volume selembut mungkin, tapi tetap saja yang didengarkan Siska nada yang ketus. “Lo itu kenapa sih Dav? Banyak lo cowok yang mau sama gue, tapi gue malah milih lo. Beruntung kan lo?”
“Gue yang pergi atau lo yang pergi?” tanya Davi tak nyambung.
“Gue sayang sama lo Davi!” Siska menatap Davi dengan lembut. Berharap lelaki dihadapannya itu sadar dan bisa melabuhkan hatinya pada Siska. Davi menaroh gitarnya dengan kasar, lalu berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Siska.
Siska menatap kepergian Davi. Sama sekali tak berusaha untuk mengejar, hanya saja hati gadis itu kembali terluka. Ujung mata gadis itu berair. Kalau cinta ini bisa memilih, gue nggak akan milih elo sebagai tempat pelabuhan hati gue Dav. Tapi nyatanya memang cinta nggak bisa milih, trus gue bisa apa?
 Kalau gue bisa dengan mudah menghapus sosok lo, tentu gue nggak akan sesakit ini. Tapi nyatanya juga emang nggak bisa. Gue nggak akan ngelepasin lo Dav!
Buliran bening kini sudah membasahi pipi putih Siska. Gadis itu menghapus air matanyanya dengan punggung tangan kanannya.

Sulit kukira kehilangannya. Sakit terasa memikirkannya. Hancur warasku. Kau tlah berlalu. Tinggalkan aku begitu. Kamu hidupku. Remuk jantungku (Remuk jantungku-Geisha)
*@muthiii*
            “Hay, belum pulang?” Davi menyapa Nasya, membuat gadis itu buru-buru menutup buku yang tengah dibacanya. “Iya nih. Kamu kok belum pulang juga?”
            “Gue kan satpam kampus.” Davi tertawa dengan perkataannya sendiri. Nasya ikut-ikutan tertawa pelan menanggapi perkataan Davi. “Bisa aja,” jawab Nasya sekenanya. Nasya kembali membuka-buka buku novel yang tadi dibacanya. Ditatapnya barisan huruf dalam lembaran novel tersebut.
Tak ada niat sedikitpun dihati Nasya untuk kembali membaca deretan huruf dihadapannya, ia membuka buku hanya ingin menghilangkan rasa gugup yang ada. Aduh, aku kenapa ini? Nasya membatin. Lalu kemudian menghela nafas berat.
“Baca apa sih serius amat?” Davi memperhatikan novel ditangan Nasya. “Eh. Enggak. Ini lagi seru aja.”
            Davi menyipitkan matanya, lalu kemudian menatap wajah Nasya tanpa berkedip. Nasya jengah. “Apa sih Dav?”
            “Lo yakin lagi baca?” ucap Davi membuat kening Nasya berkerut tak mengerti. Nasya mengangguk dalam kebingungannya. “Kok bukunya kebalik?” tanya Davi dengan memasang mimik wajah sepolos mungkin. Semburat tawa muncul diwajah lelaki itu.
            Pipi Nasya bersemu merah. Buru-buru gadis itu membetulkan posisi bukunya. Nasya menunduk. Ya Tuhan, bodoh banget sih aku. Pengen menghilang saat ini juga! Batin Nasya merutuki dirinya sendiri. Davi tertawa renyah tanpa merasa bersalah, membuat gadis yang duduk disampingnya semakin menundukkan muka menahan malu.
            “Bukunya kebalik.” Davi kembali tertawa. Nasya gerah, lalu kemudian memukul pundak Davi. “Udah dong!” Davi tetap dengan tawanya, tanpa sedikit pun mendengarkan permintaan Nasya. Malah tawa lelaki itu semakin besar. Beberapa cewek yang sedang lewat menatap tawa Davi dengan terpesona.
            “Ya udah deh, aku pulang aja!” Nasya berdiri dari duduknya dengan bibir berlipat beberapa senti meter. Gadis itu menyeret langkah pincangnya menjauhi Davi. Lelaki itu tersadar, lalu buru-buru menghentikan tawanya. “Nasya! Gue becanda.” Davi mengejar Nasya dan menarik lembut tangan gadis itu.
            Hening. Persis seperti difilm-film. Mata mereka bertemu. Beberapa menit kemudian Nasya tersadar, lalu menarik tangannya dari pegangan Davi. “Apa deh Dav.”
            “Ehm. Ya udah pulang bareng yok,” kata Davi. Dua muda-mudi itu berjalan berdampingan menuju parkiran. Tentu saja dengan Davi yang berjalan gagah dan Nasya berjalan terpincang-pincang.
            Tanpa mereka sadari ada sesosok mata elang yang menatap kejadian itu dari awal. Mengamati setiap gerak-gerik dan pancaran mata Davi dan Nasya. Mata elang itu milik Fian. Lelaki itu tersenyum sinis. Memang Fian berniat mencari tau lagi setelah tadi pagi gagal dan sekarang ia menemukan apa yang ia cari.
            Jadi dia ceweknya? Yang kaya gitu type lo? Nggak nyangka gue! Gue bisa dapetin dia dengan gampang! Fian membatin.  “Dan gue pastiin nggak akan ada main hati untuk cewek kaya gitu. Dia jauh dari type gue!” kata Fian pelan. Senyuman sinis lagi-lagi tersungging diwajah lelaki itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar