“Jangan dengarkan perkataan negatif
dari orang lain. Kamu adalah kamu!”
Nasya menghembuskan nafasnya. Ada
sedikit rasa lega yang menghampirinya. Mata kuliah pertama sudah usai sejak
beberapa menit yang lalu. Gadis itu senang karna untuk pertama kalinya ia
berani bertanya dan mengutarakan pendapatnya dihadapan teman-temannya. Walau
awalnya memang deg-degan setengah mati, tapi setelah berhasil rasanya lega
banget.
Sempat sih tadi diliriknya tatapan
sinis beberapa orang temannya termasuk Atar, tapi mereka bisa apa kalau ada
dosen kan? Ini masa kuliah. Waktu untuk
aku nunjuin siapa aku sebenarnya, biar mereka tau bahwa aku bukan orang yang
pantas untuk diremehkan. Semangat Nasya! Semangat untuk semua impian-impianmu!
Gadis
yang kini memakai bando ungu muda itu tersenyum, lalu kemudian melangkahkan
kakinya keluar kelas. Tujuan gadis itu adalah perpustakaan. Mata kuliah pertama
dan langsung disuruh buat laporan, luar biasa bukan?
“Heh
pincang!” Sebuah suara menahan gerak Nasya. Gadis itu tertegun sesaat, lalu
kembali berjalan seakan-akan mencoba untuk tidak mendengar ucapan itu. “Ih udah
pincang, budek lagi.” Masih suara yang sama. Tentu saja suara yang sangat
familiar ditelinga Nasya. Suara Atar.
Nasya
menoleh menatap Atar. Yang ditatap hanya menunjukkan senyum sinis dengan ujung
alis kiri naik beberapa senti. Seisi kelas menatap Nasya dan Atar, membuat
Nasya sedikit jengah, terlebih melihat wajah teman-temannya yang seakan
tersenyum mengejek kearahnya.
Sabar Sya! Sabar! Kamu
udah kuliah, harus lebih dewasa dong! Nggak usah ladeni orang gila. Entar
ikut-ikutan gila lho. Nasya menghela nafasnya pelan, lalu
kemudian tersenyum menatap Atar. “Makasih,” ucap Nasya dengan nada suara
seikhlas mungkin dan kemudian berlalu menuju perpustakaan. Walau sakit rasanya,
ia berusaha untuk kuat. Gadis itu selalu berusaha untuk tegar dihadapan orang
banyak, padahal pada nyatanya, ia adalah gadis yang sangat rapuh. Serapuh kapas.
Atar
mengernyit bingung. Ditatapnya punggung gadis itu yang udah mulai menjauh. Sial! Bisiknya. Atar mendorong bangku
didekatnya. Entah kenapa reaksi Nasya tadi membuatnya naik darah.
*@muthiii*
Fian
mengawasi gerak-gerik Davi dari jarak yang lumayan jauh. Ditatapnya Davi yang tengah tertawa
dengan teman-temannya didepan ruang BEM fakultas komunikasi. Tawa yang masih
sama seperti dulu. Tawa yang sebenarnya kalau ia mau jujur, sangat ia rindukan.
Memang
sejak tadi pagi Fian membuntuti Davi. Alasannya cuma satu, hanya ingin mencari tau
siapa cewek yang ditaksir Davi dan merebut cewek itu dari Davi. Kejam bukan? Maaf Dav! Gue Cuma pengen balas dendam atas
sesuatu yang berharga yang seharusnya jadi milik gue dan malah lo rebut. Jadi
nggak ada salahnya kan gue ngelakuin itu juga ke lo? Biar impas dong!
“Hei!”
Sebuah suara dan senggolan di pundak Fian membuat lelaki itu tersadar. Fian
buru-buru memperbaiki duduknya sembari menatap kearah orang yang telah dengan
sukses menghancurkan penyelidikannya.
“Fian?”
Gadis itu kembali bersuara. “Eh elo. Ngapain sih? Bikin kaget aja.” Fian
menatap cewek disampingnya. Cewek yang kemaren ditemuinya saat hari hujan. “Aku
yang harusnya nanya kaya gitu, kamu ngapain? Ngintip-ngintip kaya penjahat aja,” jawab Nasya polos.
Fian
nyengir kuda. “Eh. Enggak kok. Cuma lagi senam kepala aja.”
Nasya
menatap Fian dengan tatapan menyelidik, lalu kemudian gadis itu manggut-manggut
seolah percaya. “Oh iya, jaketnya masih aku cuci. Belum kering.”
“Oke.
Lo buruan pergi deh. Ganggu gue aja. Sana-sana.” Fian mengibas-ngibaskan
tangannya seolah mengusir. Nasya tertegun, sama sekali tak menyangka kalau Fian
yang ditemuinya sekarang bukanlah Fian yang dengan suka rela memberikan
jaketnya kemaren.
“Oh
oke. Sorry ganggu.”
“Iya
buruan!” Fian setengah membentak. Nasya buru-buru meninggalkan Fian dan
berjalanan menuju arah perpustakaan. Tuh
kan! Harusnya aku nggak usah terlalu kepedean. Seekor angsa tak kan pernah mau
menjadi teman si itik. Nasya mencoba tersenyum. Pahit. Getir.
Itu cewek ganggu aja! Fian
menggerutu, lalu kembali menatap perkumpulan Davi dan teman-temannya, tapi
sayang target sudah tidak ada ditempat. “Arght! Shit! Gara-gara tu cewek aneh
nih. Kehilangan kan gue!”
Oke, mungkin kali ini
gagal. Tapi liat aja besok! Bisik Fian sembari
melangkah meninggalkan fakultas komunikasi dengan langkah setengah
dongkol.
*@muthiii*
Nasya
masih asik berkutat dengan diktat-diktat kuliah yang ia temukan diperpustakaan.
Hobby membaca gadis itu membantunya dalam menyelesaikan tugas laporan mata kuliah
pengantar ilmu komunikasi. Perpustakaan seperti biasa masih sepi.
Sesekali
Nasya melenggangkan kepalanya mengikuti irama dari radio yang tengah diputarnya
dengan handset. Memang gadis itu nggak bisa belajar tanpa siaran radio, dan itu
juga salah satu alasan Nasya pengen menjadi seorang penyiar radio.
Lagu
lumpuhkan ingatanku dari Geisha berhenti mengalun dan digantikan oleh sebuah
suara renyah diujung sana. Nasya mendengarkan dengan seksama walaupun fokusnya
terbagi dua.
“Selamat
siang Harapners dan selamat datang para mahasiswa-mahasiswi baru. Cuma sedikit
pengumuman nih bagi yang maba dan ingin bergabung dengan radio kampus kita,
caranya awalnya sangat gampang. Silahkan kirim CV kalian ruang radio yang
terletak dibelakang gedung PKM.”
Suara
itu masih terus mengalun dengan indahnya, sedangkan Nasya menjadi terdiam dan
fokusnya kini benar-benar tertuju pada suara si penyiar itu. Bukan karna suara
si penyiar itu bagus,
hanya saja Nasya sangat tertarik dengan info yang baru saja si penyiar itu
sampaikan. Gabung radio? Jadi penyiar?
Impianku bukan?
Gadis
itu menghela nafas. Terbayang dibenaknya bagaimana asiknya menjadi anak radio,
apalagi bisa makai pakain khas anak radio yang didesign dengan sangat unik.
Begitu menurutnya. Oke, aku bakal daftar!
Tapi aku sanggup nggak ya? Nasya menggigit bibir bawahnya. Batinnya
bergejolak bimbang antara iya dan tidak.
Kalau mereka nggak
nerima aku gimana? Kalau mereka malah malu punya teman penyiar yang pincang
kaya aku gimana? Ada keraguan yang menghimpit batin gadis
itu. Di satu sisi, Nasya ingin ikut mendaftar. Sedangkan disisi lain, ia takut
akan terjadi hal buruk yang akan menimpa dirinya.
Nasya
menatap seisi perpustakaan. Nggak ada yang berubah. Para mahasiswa yang
menghuni perpustakaan masih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Wajah ayah,
bunda, dan kedua adiknya muncul dibenak Nasya dan membuat gadis itu kembali
mendapatkan semangatnya.
Aku harus daftar! Apa
pun hasilnya nanti itu pasti yang terbaik. Aku harus sukses demi orang-orang
yang aku cintai. Aku harus buktikan kemereka-mereka yang pernah mandang aku
sebelah mata. Semangat Sya!
Akhirnya
Nasya memutuskan untuk mendaftar, walau masih tetap ada sedikit keraguan
dihatinya. Segera ditepisnya keraguan itu dan digantinya dengan berjuta-juta
keyakinan.
“Ya
Allah. Kali ini bantu aku untuk gapai impian aku.” Nasya memohon dengan suara
sepelan dan selirih mungkin. Harapan itu benar-benar besar untuk menjadi
seorang penyiar, walau masih penyiar kampus. Setidaknya menurut Nasya dengan
menjadi seorang penyiar tentu pandangan sinis tak akan menghampirinya lagi.
Aku harus sukses semuda
mungkin! Nasya menghela nafas, lalu kembali berkutat dengan
diktat-diktat kuliahnya. Semangatnya terpompa. Terpompa untuk membuktikan diri
menjadi yang terbaik.
*@muthiii*
Davi
menyandar dibangku ruang musik. Tangannya sudah berada di tuts-tuts piano
dihadapannya, tapi sama sekali cowok itu tak ingin menggerakkan tangannya.
Rasanya kaku. Davi menelan ludah.
Dari dulu, gue pengen
jadi seorang pianist. Tapi mimpi itu harus gue pupuskan sebelum gue kecewa
terlalu dalam. Davi memukul tuts piano dihadapannya
dengan tangan kanannya, lalu cowok itu meninggalkan bangku piano dan meraih
sebuah gitar. Dimainkannya senar gitar itu dengan nada tak beraturan. Emosi dan
rasa sedih terpantul dari mata cowok berwajah ganteng dengan alis tebal dan
rahang kuat itu.
“Say,
disini ternyata! Gue cariin tau.” Siska menghampiri Davi dengan tatapan
manjanya dan tentu saja bikin Davi muak. Davi menatap Siska sesaat, lalu
kembali memainkan gitarnya dengan nada tak beraturan.
“Wah
ternyata gue selama ini nggak salah. Lo jago banget main gitarnya. Keren! Pasti
lo ada cita-cita pengen jadi gitaris kan? Kebetulan, abang sepupu gue punya band yang
akan diorbitkan. Lo bisa gue masuin kalau lo mau.” Siska menyerocos panjang
lebar. Davi mengeram kesal. Kaya gini dia
bilang bagus? Sok tau banget nih cewek.
“Dav,
lo nggak perlu berterimakasih sama gue. Gue ngelakuin ini karna gue sayang sama
lo.” Siska lagi-lagi angkat suara tanpa tau Davi sudah benar-benar muak
dengannya. Davi mencoba mengendalikan emosinya yang semakin terbakar sejak
kedatangan Siska barusan.
“Gue
nggak mau,”
ucap
Davi dengan volume selembut mungkin, tapi tetap saja yang didengarkan Siska
nada yang ketus. “Lo itu kenapa sih Dav? Banyak lo cowok yang mau sama gue,
tapi gue malah milih lo. Beruntung kan lo?”
“Gue
yang pergi atau lo yang pergi?” tanya
Davi tak nyambung.
“Gue
sayang sama lo Davi!” Siska menatap Davi dengan lembut. Berharap lelaki
dihadapannya itu sadar dan bisa melabuhkan hatinya pada Siska. Davi menaroh
gitarnya dengan kasar, lalu berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Siska.
Siska
menatap kepergian Davi. Sama sekali tak berusaha untuk mengejar, hanya saja
hati gadis itu kembali terluka. Ujung mata gadis itu berair. Kalau cinta ini bisa memilih, gue nggak akan
milih elo sebagai tempat pelabuhan hati gue Dav. Tapi nyatanya memang cinta
nggak bisa milih, trus gue bisa apa?
Kalau gue bisa dengan mudah menghapus sosok
lo, tentu gue nggak akan sesakit ini. Tapi nyatanya juga emang nggak bisa. Gue
nggak akan ngelepasin lo Dav!
Buliran
bening kini sudah membasahi pipi putih Siska. Gadis itu menghapus air
matanyanya dengan punggung tangan kanannya.
Sulit kukira kehilangannya. Sakit
terasa memikirkannya. Hancur warasku. Kau tlah berlalu. Tinggalkan aku begitu.
Kamu hidupku. Remuk jantungku (Remuk
jantungku-Geisha)
*@muthiii*
“Hay, belum pulang?” Davi menyapa Nasya,
membuat gadis itu buru-buru menutup buku yang tengah dibacanya. “Iya nih. Kamu
kok belum pulang juga?”
“Gue kan satpam kampus.” Davi tertawa
dengan perkataannya sendiri. Nasya ikut-ikutan tertawa pelan menanggapi
perkataan Davi. “Bisa aja,”
jawab Nasya sekenanya. Nasya kembali membuka-buka buku novel yang tadi dibacanya.
Ditatapnya barisan huruf dalam lembaran novel tersebut.
Tak
ada niat sedikitpun dihati Nasya untuk kembali membaca deretan huruf
dihadapannya, ia membuka buku hanya ingin menghilangkan rasa gugup yang ada. Aduh, aku kenapa ini? Nasya membatin.
Lalu kemudian menghela nafas berat.
“Baca
apa sih serius amat?” Davi memperhatikan novel ditangan Nasya. “Eh. Enggak. Ini
lagi seru aja.”
Davi menyipitkan matanya, lalu
kemudian menatap wajah Nasya tanpa berkedip. Nasya jengah. “Apa sih Dav?”
“Lo yakin lagi baca?” ucap Davi
membuat kening Nasya berkerut tak mengerti. Nasya mengangguk dalam
kebingungannya. “Kok bukunya kebalik?” tanya Davi dengan memasang mimik wajah
sepolos mungkin. Semburat tawa muncul diwajah lelaki itu.
Pipi Nasya bersemu merah. Buru-buru
gadis itu membetulkan posisi bukunya. Nasya menunduk. Ya Tuhan, bodoh banget sih aku. Pengen menghilang saat ini juga! Batin
Nasya merutuki dirinya sendiri. Davi
tertawa renyah tanpa merasa bersalah, membuat gadis yang duduk disampingnya
semakin menundukkan muka menahan malu.
“Bukunya kebalik.” Davi kembali
tertawa. Nasya gerah, lalu kemudian memukul pundak Davi. “Udah dong!” Davi
tetap dengan tawanya, tanpa sedikit pun mendengarkan permintaan Nasya. Malah
tawa lelaki itu semakin besar. Beberapa cewek yang sedang lewat menatap tawa
Davi dengan terpesona.
“Ya udah deh, aku pulang aja!” Nasya
berdiri dari duduknya dengan bibir berlipat beberapa senti meter. Gadis itu
menyeret langkah pincangnya menjauhi Davi. Lelaki itu tersadar, lalu buru-buru
menghentikan tawanya. “Nasya! Gue becanda.” Davi mengejar Nasya dan menarik lembut
tangan gadis itu.
Hening. Persis seperti difilm-film.
Mata mereka bertemu. Beberapa menit kemudian Nasya tersadar, lalu menarik
tangannya dari pegangan Davi. “Apa deh Dav.”
“Ehm. Ya udah pulang bareng yok,” kata Davi. Dua muda-mudi itu
berjalan berdampingan menuju parkiran. Tentu saja dengan Davi yang berjalan
gagah dan Nasya berjalan terpincang-pincang.
Tanpa mereka sadari ada sesosok mata
elang yang menatap kejadian itu dari awal. Mengamati setiap gerak-gerik dan
pancaran mata Davi dan Nasya. Mata elang itu milik Fian. Lelaki itu tersenyum
sinis. Memang Fian berniat mencari tau lagi setelah tadi pagi gagal dan
sekarang ia menemukan apa yang ia cari.
Jadi
dia ceweknya? Yang kaya gitu type lo? Nggak nyangka gue! Gue bisa dapetin dia
dengan gampang! Fian membatin. “Dan
gue pastiin nggak akan ada main hati untuk cewek kaya gitu. Dia jauh dari type gue!” kata
Fian pelan. Senyuman sinis lagi-lagi tersungging diwajah lelaki itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar