“Bermimpilah. Karna Tuhan akan
memeluk mimpimu. (Andrea Hirata)
Nasya mendelik kesal tepat didepan
mading. Berkali-kali ia baca pembagian kelas itu tetap saja hasilnya sama. Ia
sekelas dengan Atar. Mimpi buruk macam
apa lagi ini? Nasya menghembuskan nafas,
lalu berjalan terpincang-pincang menuju bangku yang berada tak jauh dari
mading. Bayangan wajah Atar membuntutinya, membuat gadis itu semakin merasa tak
enak.
Lagi-lagi entah untuk yang keberapa
kalinya, orang-orang disekitar Nasya menatapnya dengan tatapan yang sangat
sulit diartikan. Gadis itu kembali menghembuskan nafas kesal. Bisa nggak sih mereka nggak usah pakai
ngelihatin aku segala.
“Geser. Mau duduk nih!” Seorang
cowok tiba-tiba datang dan langsung duduk disamping Nasya, membuat gadis itu
mau tak mau bergeser dari duduknya. “Udah lihat pengumuman kelas?” Cowok itu
lagi-lagi bertanya kepada Nasya dengan seringai khasnya. Nasya menatap cowok
itu dengan tatapan kesal. Rasanya,
Nasya
pengen banget ngecakar muka cowok disampingnya itu.
“Udah,” jawab Nasya ketus. “Nggak nyangka ya
Sya kita sekelas lagi. Gue
senang deh!” Atar bersungut sembari tersenyum sinis. “Welcome to the hell. Ingat kejadian dulu kan? Atau apa perlu gue
ingetin?” Atar berbisik tepat ditelinga Nasya, membuat gadis itu memundurkan
kepalanya beberapa centi meter.
“Ehem.” Sebuah deheman membuat Atar
tersadar. Davi berdiri tepat dibelakangnya sembari menyilangkan kedua tangannya
didada. Alis mata hitam tebal Davi hampir bertaut.
“Sampai jumpa dikelas Sya,” kata Atar dibuat selembut mungkin
sembari melambaikan tangan kanannya dan berlalu meninggalkan Nasya. Atar
sebenarnya sama sekali tak takut dengan Davi, hanya saja Atar sadar posisinya
sebagai junior dan Davi senior. Belum lagi kenyataan bahwa Davi adalah salah
satu senior yang disegani di fakultasnya.
Davi menatap wajah Nasya yang
memucat. “Nggak papakan?” Davi duduk disamping Nasya. Nasya menggeleng manyun.
“Dia siapa sih?” tanya Davi lagi. Ada perasaan aneh dihati Davi saat melihat
kedekatan Nasya dan Atar tadi.
Gue
ini kenapa? Apa gue benar-benar—. Ah, entahlah! Batin Davi. “Dia temen
sekelas aku.” Nasya menjawab sekenanya. Sama sekali sebenarnya tak ingin
mengungkit tentang Atar pada cowok disampingnya itu. Cowok yang entah kenapa
baru dikenalnya sudah bisa membuatnya nyaman.
“Davi, ngapain sih disini say?” Seorang
cewek bernama Siska datang menghampiri Davi dan langsung bergelayut dilengan
Davi dengan manja. Cowok itu kelihatan tidak senang dan buru-buru melepaskan
tangan cewek itu dari lengannya. Say? Kening
Nasya berkerut. Otaknya mulai berputar cepat.
“Aduh. Apan sih? Udah deh, gue lagi sibuk nih.”
“Lo kok gitu sih?” Siska merenggut.
Bibir tipis gadis itu mengkerucut beberapa senti, membuat gadis bernama Siska
itu terlihat semakin cantik. “Sis gue bener-bener lagi sibuk. Please pergi ya.”
Davi menekankan kalimatnya. Siska menatap Davi dengan kesal, tapi cowok itu
seolah cuek aja.
“Sya, keperpus yuk?” Davi berdiri,
lalu meraih tangan Nasya. Siska menatap adengan dihadapannya itu dengan mata
terbelalak. Nasya menatap bingung, benar-benar tak tau harus melakukan apa.
Gadis itu sama sekali tak enak dengan Siska, tapi tarikan tangan Davi
membuatnya mengikuti langkah besar lelaki itu.
Siska menatap tajam pada Nasya. Tu cewek siapa? Selama ini gue cewek yang
paling dekat dengan Davi, trus kenapa tiba-tiba itu orang nyerobot? Pincang
lagi! Siska mendengus kesal. Tatapannya tetap terarah pada Nasya dan Davi
yang mulai menjauh.
“Awas lo ya pincang! Gue buat lo
nggak selamat disini.” Siska memain-mainkan ujung rambut ikalnya. Gadis cantik
yang memakai rok rample tiga senti meter diatas lutut yang dipadukan dengan
baju pink sepinggang itu berjalan menuju kantin. Diotaknya tersusun banyak
rencana untuk Nasya. Cewek yang menurutnya menjadi penghalang hubungan dirinya
dengan Davi saat ini.
Selama ini memang tak pernah ada
cewek yang berani ngedekatin Davi. Itu semua karna Siska. Cewek itu selalu
melabrak jika ada cewek-cewek lain yang didengarnya menyukai Davi. Davi sama
sekali tak ambil pusing soal itu, justru itu malah membantu baginya. Tapi
pengecualian buat Nasya.
Diperpustakaan, Nasya sama sekali
tak berminat menyentuh satu buku pun. Pikiran gadis itu masih tertuju pada
kejadian tadi. Jangan-jangan cewek tadi
pacar Davi lagi? Nasya memberi
kesimpulan. Ya iyalah, mana ada cowok
seganteng Davi nggak punya pacar. Mereka, ehm. Cocok sih.
“Kenapa?”
Davi yang baru saja selesai mencari buku langsung duduk disamping Nasya. “Eh.
Eng. Enggak kok,” jawab
Nasya tergagap. Davi tersenyum, lalu meletakkan buku yang baru saja dicarinya
keatas meja.
“Oh
ya, cewek tadi jangan dipikirin. Emang kaya gitu orangnya. Bukan siapa-siapa
gue kok.” Nasya tertegun mendengar pernyataan Davi. Kok bisa pas banget yah? Apa dia bisa baca pikiran aku? Batin
Nasya. Gadis itu mencoba tersenyum kearah Davi.
“Gue
baca buku ini ya? Lo nggak mau cari bahan bacaan?” tanya Davi sembari membuka
halaman pertama buku yang dicarinya tadi. Cowok itu mulai tenggelam dengan
bahan bacaannya tanpa sedikitpun meminta jawaban atas pertanyaannya pada Nasya.
Nasya
mencuri pandang pada Davi yang mulai tenggelam dalam bacaannya. Ya ampun, ni cowok udah ganteng, hoby baca
lagi. Kurangnya apa coba? Ternyata ada ya ukiran sesempurna ini. Pasti hidupnya
bahagia.
“Ehem.
Gue ganteng banget ya?” Suara pelan Davi mengagetkan Nasya. Aduh! Kenapa bisa kepergok!
Nasya
memalingkan wajahnya. Pipi gadis itu bersemu merah. “Nggak kok. Cover bukunya
bagus. Aku nyari
buku juga deh,” jawab
Nasya sambil melangkah menuju rak-rak buku. Davi tersenyum sembari menggeleng
pelan, lalu kembali tenggelam dalam bacaannya.
Nasya
berhenti tepat dirak yang berdekatan dengan tempat duduk Davi. Gadis itu
menghela nafas pelan. Suasana perpustakaan yang sunyi dan dingin membuatnya sedikit
rileks. “Hfft! Kenapa bisa kepergok gini sih? Haduh!”
*@muthiii*
“Aduh Sis! Lo itu dari tadi salah
mulu deh. Yang konsen dong.”
“Sorry sorry. Abis gue kepikiran
Davi nih. Ehm, lo gantiin gue bantar ya? Please. Gue mau ke WC dulu nih
ngerefresh mood.” Siska meminta maaf pada Tiara—teman disampingnya itu.
“Lo
sih! Masalah pribadi nggak usah dibawa-bawa dalam organisasi. Profesional dong,” tukas Tiara. Siska menghela nafas
mendengar perkataan Tiara. Bisa aja ia membalikkan perkataan itu, tapi Siska
benar-benar lagi nggak pengen nyari ribut lagi. hatinya udah terlalu capek.
“Ya
sorry. Gue ke WC bentar deh.” Tiara mengangguk seakan mencoba mengerti dengan
kondisi Siska. Siska
berjalan menuju WC yang memang letaknya berdampingan dengan ruang penyiaran. WC
ini memang khusus buat anak-anak radio.
Siska
memasuki WC, mengunci WC itu dan menatap pantulan wajahnya dicermin. Dibukanya
kran wastafel dan diguyirkannya air kewajahnya. Setelah itu, Siska kembali
menatap pantulan wajahnya dengan teliti.
Cermin
itu memantulkan sosok wajah yang sempurna dengan hidung semi mancung dan kulit
putih plus bola mata coklat terang. Mungkin kalau dipikir-pikir, nggak akan ada
cowok mana pun yang normal yang bakal nolak cewek secantik Siska.
Lo cantik Sis. Cantik
banget! Tapi kenapa Davi malah milih cewek pincang itu ketimbang lo? Apa
kurangnya lo? Siska menanyai dirinya sendiri sembari
membuang nafas kesal.
“Kalau
cinta bisa milih kesiapa dia akan jatuh, gue nggak akan milih lo Davi. Capek!”
Siska merapikan rambutnya, lalu kemudian membuang nafas berat. Ini semua gara-gara cewek sialan itu. Awas
aja dia! Akan gue kasih perhitungan!
*@muthiii*
Nasya menatap hujan yang turun
semakin deras. Saat ini gadis itu tengah berada di depan gedung Pusat Kergiatan Mahasiswa (PKM). Tidak ada kegiatan
apa-apa di PKM, hanya saja hujan menghambat perjalanan Nasya untuk pulang
sehingga gadis itu memutuskan untuk berteduh diteras PKM.
Suasana sepi, hanya ada dirinya dan
seorang pemuda yang tengah bersandar ditiang PKM sembari menghembuskan asap
rokoknya. Nasya mencoba tak menghiraukan pemuda itu. Ia lenyapkan rasa takut
yang sebenarnya telah bermukim sedari tadi.
Duh,
coba tadi nggak nemenin Davi keperpustakaan. Pasti nggak bakal kehujanan gini
deh pulangnya. Nasya membatin. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya kearah
hujan. Memainkan muncratan air dari langit ditelapak tangannya. Senyum tipis
tersungging dibibir gadis itu.
“Anak kecil banget.” Lelaki itu
berkomentar melihat apa yang dilakukan Nasya. Nasya menarik tangannya, lalu
menunduk mencoba menjauhi pandangan mata tajam lelaki berjaket levis hitam itu.
“Lo suka hujan ya?” Lelaki itu
mencoba menyimpulkan, lalu tersenyum sinis. “Hei! Lo bisa denger gue ngomong
kan?” tanya laki-laki itu lagi. Sama sekali tak peduli wajah pucat Nasya oleh
sapaannya yang terkesan tutup point.
“Suka. Suka banget!” jawab Nasya
sekedarnya sembari mencoba menutupi kegugupannya walau sebenarnya tak berhasil.
Laki-laki itu manggut-manggut, lalu kembali menikmati rokoknya dengan gaya stay
cool-nya.
Lima menitan mereka terdiam dalam
bisu. Hujan semakin deras. Hembusan angin seakan menusuk kulit Nasya yang hanya
ditutupi baju kaus biru. Nasya benar-benar lupa membawa jaket biru
kesayangannya.
“Duuh.”
Gadis itu menggosok-gosokkan telapak tangannya. Berharap suhu dingin ditubuhnya
menghilang. Angin semakin berhembus menusuk tubuh Nasya. Cipratan air dari
langit itu semakin turun dengan lebat.
Dari ujung matanya, Nasya melihat
laki-laki itu melepaskan jaket levis hitamnya. Nasya bergidik ngeri. Mau ngapain dia? Berulang kali Nasya
mengucapkan do’a keselamatan. Perasaan gadis itu kian tak enak.
“Nih, pakai jaket gue. Lo
kedinginan.” Lelaki itu mengulurkan jaketnya. Nasya terkejut, lalu menatap
dengan ragu-ragu. “Udah pakai aja. Gue nggak kudisan kok.” Nasya memberanikan
diri menatap mata tajam milik lelaki disampingnya itu. Ada kesungguhan dimata
lelaki itu.
Nasya meraih uluran jaket levis
hitam dan memakainya. “Makasih ya,” kata Nasya saat tubuhnya merasakan kehangatan dari
jaket itu.
“No prob. Gue pergi dulu.” Laki-laki
itu mengayunkan langkah besarnya menuju motor ninja hitamnya. “Eh tapi kan
masih hujan,” ujar
Nasya. Laki-laki itu seolah tak mendengarkan.
“NAMA
KAMU SIAPA?” tanya Nasya sambil berteriak. Entah dengan alasan apa Nasya ingin
sekali mengetahui nama lelaki itu dan membuatnya nekat berteriak menanyakan
nama sang lelaki.
Lelaki itu menoleh, “Fian.”
*@muthiii*
Malam semakin larut, tapi Nasya
masih berkutat didepan layar laptopnya. Jari-jari gadis itu bermain lincah
seirama dengan imajinasi yang bermunculan dibenaknya. Tadi sebelum menulis,
Nasya menyempatkan diri untuk mempelajari materi kuliah besok lewat internet.
Nasya memang berniat serius dengan
mimpi-mimpinya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan nol. Ia ingin membuktikan
bahwa ia bukan orang yang pantas untuk diremehkan, jadi Nasya menjalani setiap
planningnya dengan sungguh-sungguh. Nasya berharap mudah-mudahan dengan semua
apa yang dilakukannya saat ini, suatu saat nanti cepat atau lambat bakal
membuahi hasil yang manis.
I
have a dreams! Aku punya mimpi. Aku berjanji
untuk menggapainya sekuat yang aku bisa.
Aku akan sukses dan bungkam mulut mereka yang pernah nyakitin aku. Aku harus sukses
untuk orang-orang yang aku sayang!
Ujung mata Nasya tanpa sengaja
menatap jaket levis hitam yang tergantung didinding kamarnya. Gadis itu
menghela nafas pelan. “Fian? Dia anak fakultas apa? Gimana caranya ngembaliin jaket
itu?” Nasya berguman bingung.
Bayangan wajah Fian mampir
dibenaknya. “Manis juga dia.” Nasya buru-buru menggeleng saat menyadari kalimat
yang baru saja diucapkannya itu. Apaan
sih Sya. Nyadar diri dong! Baik Fian maupun Davi, mereka nggak mungkin suka
sama kamu Nasya. Kamu bukan gadis impian para cowok. Mungkin mereka hanya
kasihan dengan kamu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar