Selasa, 20 Maret 2018

Nasya #9



“Bermimpilah. Karna Tuhan akan memeluk mimpimu. (Andrea Hirata)

            Nasya mendelik kesal tepat didepan mading. Berkali-kali ia baca pembagian kelas itu tetap saja hasilnya sama. Ia sekelas dengan Atar. Mimpi buruk macam apa lagi ini? Nasya menghembuskan  nafas, lalu berjalan terpincang-pincang menuju bangku yang berada tak jauh dari mading. Bayangan wajah Atar membuntutinya, membuat gadis itu semakin merasa tak enak.
            Lagi-lagi entah untuk yang keberapa kalinya, orang-orang disekitar Nasya menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Gadis itu kembali menghembuskan nafas kesal. Bisa nggak sih mereka nggak usah pakai ngelihatin aku segala.
            “Geser. Mau duduk nih!” Seorang cowok tiba-tiba datang dan langsung duduk disamping Nasya, membuat gadis itu mau tak mau bergeser dari duduknya. “Udah lihat pengumuman kelas?” Cowok itu lagi-lagi bertanya kepada Nasya dengan seringai khasnya. Nasya menatap cowok itu dengan tatapan kesal. Rasanya, Nasya pengen banget ngecakar muka cowok disampingnya itu.
            “Udah,” jawab Nasya ketus. “Nggak nyangka ya Sya kita sekelas lagi. Gue senang deh!” Atar bersungut sembari tersenyum sinis. “Welcome to the hell. Ingat kejadian dulu kan? Atau apa perlu gue ingetin?” Atar berbisik tepat ditelinga Nasya, membuat gadis itu memundurkan kepalanya beberapa centi meter.

            “Ehem.” Sebuah deheman membuat Atar tersadar. Davi berdiri tepat dibelakangnya sembari menyilangkan kedua tangannya didada. Alis mata hitam tebal Davi hampir bertaut.
            “Sampai jumpa dikelas Sya,” kata Atar dibuat selembut mungkin sembari melambaikan tangan kanannya dan berlalu meninggalkan Nasya. Atar sebenarnya sama sekali tak takut dengan Davi, hanya saja Atar sadar posisinya sebagai junior dan Davi senior. Belum lagi kenyataan bahwa Davi adalah salah satu senior yang disegani di fakultasnya.
            Davi menatap wajah Nasya yang memucat. “Nggak papakan?” Davi duduk disamping Nasya. Nasya menggeleng manyun. “Dia siapa sih?” tanya Davi lagi. Ada perasaan aneh dihati Davi saat melihat kedekatan Nasya dan Atar tadi.
            Gue ini kenapa? Apa gue benar-benar—. Ah, entahlah! Batin Davi. “Dia temen sekelas aku.” Nasya menjawab sekenanya. Sama sekali sebenarnya tak ingin mengungkit tentang Atar pada cowok disampingnya itu. Cowok yang entah kenapa baru dikenalnya sudah bisa membuatnya nyaman.
            “Davi, ngapain sih disini say?” Seorang cewek bernama Siska datang menghampiri Davi dan langsung bergelayut dilengan Davi dengan manja. Cowok itu kelihatan tidak senang dan buru-buru melepaskan tangan cewek itu dari lengannya. Say? Kening Nasya berkerut. Otaknya mulai berputar cepat.
            “Aduh. Apan sih? Udah deh, gue lagi sibuk nih.”
            “Lo kok gitu sih?” Siska merenggut. Bibir tipis gadis itu mengkerucut beberapa senti, membuat gadis bernama Siska itu terlihat semakin cantik. “Sis gue bener-bener lagi sibuk. Please pergi ya.” Davi menekankan kalimatnya. Siska menatap Davi dengan kesal, tapi cowok itu seolah cuek aja.
            “Sya, keperpus yuk?” Davi berdiri, lalu meraih tangan Nasya. Siska menatap adengan dihadapannya itu dengan mata terbelalak. Nasya menatap bingung, benar-benar tak tau harus melakukan apa. Gadis itu sama sekali tak enak dengan Siska, tapi tarikan tangan Davi membuatnya mengikuti langkah besar lelaki itu.
            Siska menatap tajam pada Nasya. Tu cewek siapa? Selama ini gue cewek yang paling dekat dengan Davi, trus kenapa tiba-tiba itu orang nyerobot? Pincang lagi! Siska mendengus kesal. Tatapannya tetap terarah pada Nasya dan Davi yang mulai menjauh.
            “Awas lo ya pincang! Gue buat lo nggak selamat disini.” Siska memain-mainkan ujung rambut ikalnya. Gadis cantik yang memakai rok rample tiga senti meter diatas lutut yang dipadukan dengan baju pink sepinggang itu berjalan menuju kantin. Diotaknya tersusun banyak rencana untuk Nasya. Cewek yang menurutnya menjadi penghalang hubungan dirinya dengan Davi saat ini.
            Selama ini memang tak pernah ada cewek yang berani ngedekatin Davi. Itu semua karna Siska. Cewek itu selalu melabrak jika ada cewek-cewek lain yang didengarnya menyukai Davi. Davi sama sekali tak ambil pusing soal itu, justru itu malah membantu baginya. Tapi pengecualian buat Nasya. 
            Diperpustakaan, Nasya sama sekali tak berminat menyentuh satu buku pun. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian tadi. Jangan-jangan cewek tadi pacar Davi lagi?  Nasya memberi kesimpulan. Ya iyalah, mana ada cowok seganteng Davi nggak punya pacar. Mereka, ehm. Cocok sih.
“Kenapa?” Davi yang baru saja selesai mencari buku langsung duduk disamping Nasya. “Eh. Eng. Enggak kok,” jawab Nasya tergagap. Davi tersenyum, lalu meletakkan buku yang baru saja dicarinya keatas meja.
“Oh ya, cewek tadi jangan dipikirin. Emang kaya gitu orangnya. Bukan siapa-siapa gue kok.” Nasya tertegun mendengar pernyataan Davi. Kok bisa pas banget yah? Apa dia bisa baca pikiran aku? Batin Nasya. Gadis itu mencoba tersenyum kearah Davi.
“Gue baca buku ini ya? Lo nggak mau cari bahan bacaan?” tanya Davi sembari membuka halaman pertama buku yang dicarinya tadi. Cowok itu mulai tenggelam dengan bahan bacaannya tanpa sedikitpun meminta jawaban atas pertanyaannya pada Nasya.
Nasya mencuri pandang pada Davi yang mulai tenggelam dalam bacaannya. Ya ampun, ni cowok udah ganteng, hoby baca lagi. Kurangnya apa coba? Ternyata ada ya ukiran sesempurna ini. Pasti hidupnya bahagia.
“Ehem. Gue ganteng banget ya?” Suara pelan Davi mengagetkan Nasya. Aduh! Kenapa bisa kepergok!
Nasya memalingkan wajahnya. Pipi gadis itu bersemu merah. “Nggak kok. Cover bukunya bagus. Aku nyari buku juga deh,” jawab Nasya sambil melangkah menuju rak-rak buku. Davi tersenyum sembari menggeleng pelan, lalu kembali tenggelam dalam bacaannya.
Nasya berhenti tepat dirak yang berdekatan dengan tempat duduk Davi. Gadis itu menghela nafas pelan. Suasana perpustakaan yang sunyi dan dingin membuatnya sedikit rileks. “Hfft! Kenapa bisa kepergok gini sih? Haduh!”
*@muthiii*
            “Aduh Sis! Lo itu dari tadi salah mulu deh. Yang konsen dong.”
            “Sorry sorry. Abis gue kepikiran Davi nih. Ehm, lo gantiin gue bantar ya? Please. Gue mau ke WC dulu nih ngerefresh mood.” Siska meminta maaf pada Tiara—teman disampingnya itu.
“Lo sih! Masalah pribadi nggak usah dibawa-bawa dalam organisasi. Profesional dong,” tukas Tiara. Siska menghela nafas mendengar perkataan Tiara. Bisa aja ia membalikkan perkataan itu, tapi Siska benar-benar lagi nggak pengen nyari ribut lagi. hatinya udah terlalu capek.
“Ya sorry. Gue ke WC bentar deh.” Tiara mengangguk seakan mencoba mengerti dengan kondisi Siska. Siska berjalan menuju WC yang memang letaknya berdampingan dengan ruang penyiaran. WC ini memang khusus buat anak-anak radio.
Siska memasuki WC, mengunci WC itu dan menatap pantulan wajahnya dicermin. Dibukanya kran wastafel dan diguyirkannya air kewajahnya. Setelah itu, Siska kembali menatap pantulan wajahnya dengan teliti.
Cermin itu memantulkan sosok wajah yang sempurna dengan hidung semi mancung dan kulit putih plus bola mata coklat terang. Mungkin kalau dipikir-pikir, nggak akan ada cowok mana pun yang normal yang bakal nolak cewek secantik Siska.
Lo cantik Sis. Cantik banget! Tapi kenapa Davi malah milih cewek pincang itu ketimbang lo? Apa kurangnya lo? Siska menanyai dirinya sendiri sembari membuang nafas kesal.
“Kalau cinta bisa milih kesiapa dia akan jatuh, gue nggak akan milih lo Davi. Capek!” Siska merapikan rambutnya, lalu kemudian membuang nafas berat. Ini semua gara-gara cewek sialan itu. Awas aja dia! Akan gue kasih perhitungan!
*@muthiii*
            Nasya menatap hujan yang turun semakin deras. Saat ini gadis itu tengah berada di depan gedung Pusat  Kergiatan Mahasiswa (PKM). Tidak ada kegiatan apa-apa di PKM, hanya saja hujan menghambat perjalanan Nasya untuk pulang sehingga gadis itu memutuskan untuk berteduh diteras PKM.
            Suasana sepi, hanya ada dirinya dan seorang pemuda yang tengah bersandar ditiang PKM sembari menghembuskan asap rokoknya. Nasya mencoba tak menghiraukan pemuda itu. Ia lenyapkan rasa takut yang sebenarnya telah bermukim sedari tadi.
            Duh, coba tadi nggak nemenin Davi keperpustakaan. Pasti nggak bakal kehujanan gini deh pulangnya. Nasya membatin. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya kearah hujan. Memainkan muncratan air dari langit ditelapak tangannya. Senyum tipis tersungging dibibir gadis itu.
            “Anak kecil banget.” Lelaki itu berkomentar melihat apa yang dilakukan Nasya. Nasya menarik tangannya, lalu menunduk mencoba menjauhi pandangan mata tajam lelaki berjaket levis hitam itu.
            “Lo suka hujan ya?” Lelaki itu mencoba menyimpulkan, lalu tersenyum sinis. “Hei! Lo bisa denger gue ngomong kan?” tanya laki-laki itu lagi. Sama sekali tak peduli wajah pucat Nasya oleh sapaannya yang terkesan tutup point.
            “Suka. Suka banget!” jawab Nasya sekedarnya sembari mencoba menutupi kegugupannya walau sebenarnya tak berhasil. Laki-laki itu manggut-manggut, lalu kembali menikmati rokoknya dengan gaya stay cool-nya.
            Lima menitan mereka terdiam dalam bisu. Hujan semakin deras. Hembusan angin seakan menusuk kulit Nasya yang hanya ditutupi baju kaus biru. Nasya benar-benar lupa membawa jaket biru kesayangannya.
“Duuh.” Gadis itu menggosok-gosokkan telapak tangannya. Berharap suhu dingin ditubuhnya menghilang. Angin semakin berhembus menusuk tubuh Nasya. Cipratan air dari langit itu semakin turun dengan lebat.
            Dari ujung matanya, Nasya melihat laki-laki itu melepaskan jaket levis hitamnya. Nasya bergidik ngeri. Mau ngapain dia? Berulang kali Nasya mengucapkan do’a keselamatan. Perasaan gadis itu kian tak enak.
            “Nih, pakai jaket gue. Lo kedinginan.” Lelaki itu mengulurkan jaketnya. Nasya terkejut, lalu menatap dengan ragu-ragu. “Udah pakai aja. Gue nggak kudisan kok.” Nasya memberanikan diri menatap mata tajam milik lelaki disampingnya itu. Ada kesungguhan dimata lelaki itu.
            Nasya meraih uluran jaket levis hitam dan memakainya. “Makasih ya,” kata Nasya saat tubuhnya merasakan kehangatan dari jaket itu.
            “No prob. Gue pergi dulu.” Laki-laki itu mengayunkan langkah besarnya menuju motor ninja hitamnya. “Eh tapi kan masih hujan,” ujar Nasya. Laki-laki itu seolah tak mendengarkan.
“NAMA KAMU SIAPA?” tanya Nasya sambil berteriak. Entah dengan alasan apa Nasya ingin sekali mengetahui nama lelaki itu dan membuatnya nekat berteriak menanyakan nama sang lelaki.
            Lelaki itu menoleh, “Fian.”
*@muthiii*
            Malam semakin larut, tapi Nasya masih berkutat didepan layar laptopnya. Jari-jari gadis itu bermain lincah seirama dengan imajinasi yang bermunculan dibenaknya. Tadi sebelum menulis, Nasya menyempatkan diri untuk mempelajari materi kuliah besok lewat internet.
            Nasya memang berniat serius dengan mimpi-mimpinya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan nol. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan orang yang pantas untuk diremehkan, jadi Nasya menjalani setiap planningnya dengan sungguh-sungguh. Nasya berharap mudah-mudahan dengan semua apa yang dilakukannya saat ini, suatu saat nanti cepat atau lambat bakal membuahi hasil yang manis.
            I have a dreams! Aku punya mimpi. Aku berjanji untuk menggapainya sekuat yang aku bisa. Aku akan sukses dan bungkam mulut mereka yang pernah nyakitin aku. Aku harus sukses untuk orang-orang yang aku sayang!
            Ujung mata Nasya tanpa sengaja menatap jaket levis hitam yang tergantung didinding kamarnya. Gadis itu menghela nafas pelan. “Fian? Dia anak fakultas apa? Gimana caranya ngembaliin jaket itu?” Nasya berguman bingung.
            Bayangan wajah Fian mampir dibenaknya. “Manis juga dia.” Nasya buru-buru menggeleng saat menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya itu. Apaan sih Sya. Nyadar diri dong! Baik Fian maupun Davi, mereka nggak mungkin suka sama kamu Nasya. Kamu bukan gadis impian para cowok. Mungkin mereka hanya kasihan dengan kamu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar