“Mimpi tanpa
tindakan hanyalah kesia-siaan. Mimpi tanpa tindakan hanyalah bunga tidur. Maka
bermimpi dan bertindakhlah.”
Nasya
merapikan meja makan. Tangan gadis itu cekatan membereskan piring bekas makan
pagi ini. Nasya menghela nafas pelan, lalu kemudian tersenyum. Ia sadar apa
yang ia lakukan untuk keluarganya akan dihitung pahala oleh Allah. Nasya sama
sekali tak ingin mengeluh. Sebenarnya berusaha untuk tak mengeluh. Tak ingin
pahala itu gugur begitu saja.
Nasya
mematung sembari matanya dengan jalang menatap sekeliling rumahnya. Rumah yang
menemani masa kecilnya. Rumah yang punya sejuta cerita tentang masa kecilnya.
Nasya tersenyum saat didapatinya disetiap sudut rumah itu terdapat kenangan,
tapi kini hanya tinggal kesepian.
Gadis
berusia tujuh belas tahun itu tersadar, lalu kemudian kembali membereskan meja
makan dan membawa piring-piring kotor kedapur. Hari ini aku pengen kepustaka wilayah. Pengen baca-baca buku berkaitan
dengan jurusan yang aku ambil, persiapan buat masuk kuliah besok. Jadi pas
kuliah nggak kagok-kagok banget.
Nasya
tersenyum, lalu kembali merapikan rumahnya. Itu adalah salah satu cara untuk
menggapai targetnya. Gadis itu sadar bahwa target tanpa tindakan adalah sesuatu
hal yang tidak akan bisa terwujud. Target dan tindakan itu ibarat sepasang
handphone dan kartu simnya. Sama-sama berguna dan tidak bisa dipisahkan.
Aku bisa. Aku pasti
bisa. Aku akan buktikan kemereka-mereka yang udah mandang aku remeh.
“Semangat Sya!” Nasya mengepalkan tangannya. Berusaha membuat perasaannya
seyakin mungkin.
*@muthi*
Fian
menggeliatkan tubuhnya. Sinar mentari membias melewati jendela kamarnya. “Fi.
Bangun! Jam berapa ini?” Seorang wanita berusia 60 tahun menepuk-nepuk bahu
Fian. Yang ditepuk malah masih asik menggeliat.
“FIAN!”
Suara Puja naik beberapa oktaf. Fian membuka matanya dengan malas, lalu
kemudian menatap sekitarnya dengan wajah dibuat selempeng mungkin. Puja
berkacak pinggang, membuat kening lelaki berusia dua puluh tahun itu mengerut.
Shit! Ternyata semua
ini nggak mimpi. Pada nyatanya gue emang udah ada di Indonesia. Di Jakarta! Fian
mengucek matanya, lalu kemudian melirik jam dinding. Fian mendengus.
“Apa
sih Nek? Masih juga jam delapan,”
keluh
Fian. Puja menarik tangan Fian dan memandangi sang cucu dengan tatapan yang
sulit diartikan. “Lelaki macam apa kamu ini? Ayo bangun, nanti rezeki kamu
dipatok ayam.”
Fian
menguap, lalu menarik tangannya dari pegangan Puja. Lelaki itu kembali
menjatuhkan badannya kekasur dan menarik selimut sehingga menutupi badan
bidangnya. Puja menggelengkan kepala. “Gini nih kalau terlalu dimanja.”
Puja
berjalan dengan tertatih menuju WC. Meraih gayung dan mengisi penuh gayung itu
dengan air. Dengan langkah pelan wanita berumur tua itu mendekati tempat tidur
Fian dan langsung menumpahkan isi gayung itu tepat diwajah Fian. BYUUR!
“ARRGGHHHT!”
Fian gelagapan dan langsung terduduk dari tidurnya. “Nenek! What are you doing?” Fian berguman kesal
sembari mengepalkan tinjunya. Seumur-umur baru kali ini lelaki itu diperlakukan
seperti itu.
“Fi,
ini rumah nenek, jadi tolong taati aturan disini. Sekarang cepat mandi dan
sholat. Nenek tunggu dimeja makan!” ucap Puja tegas. Kerutan diwajah wanita itu
semakin mempertegas ucapannya. Puja berjalan meninggalkan kamar Fian.
Lelaki
berwajah manis itu berguman geram. What
the hell. Gue bener-bener ada di neraka. Shit! “Aaaght!” Fian membanting selimutnya kelantai
dengan geram. Bisa-bisanya papa ngirim gue kesini. Fian
meremas rambutnya. Ia sangat
kesal.
Dengan langkah malas, lelaki itu meraih handuk dan berjalan kekamar mandi.
*@muthi*
Nasya
berjalan terpincang-pincang menuju lantai dua pustaka wilayah. Orang-orang yang berada disekelilingnya menatapnya dengan
pandangan yang sulit diartikan. Beberapa orang bahkan jelas-jelas mencemoohnya.
Nasya menghela nafas, mencoba menata hatinya kembali.
“Mau
dibantuin mbak?” Seorang lelaki berseragam putih abu-abu mencoba menawarkan
bantuannya. Entah tulus atau hanya ingin mencemooh Nasya. Lagi-lagi gadis
berusia tujuh belas tahun itu menghela nafas.
Aah, aku paling benci
diperlakukan seperti ini. Aku memang cacat, tapi bukan berarti aku nggak bisa
ngelakuin semuanya sendiri! Hhh, sabar Sya! Nasya menggeleng
kepada laki-laki itu.
“Nggak usah. Thanks.” Ucap Nasya ketus.
Sebenarnya Nasya tak ingin ketus, tapi ia tak bisa menahan nada suaranya.
Lelaki itu mencibir sambil memperbaiki tasnya. Nasya buru-buru menaiki tangga.
“Udah cacat, sombong lagi.” Samar-samar Nasya mendengar ucapan lelaki itu.
Entah untuk keberapa kalinya, Nasya menghela nafas berat.
Nasya
menaruh tasnya dibangku kosong tepat dipojok pustaka, lalu kemudian menuju
rak-rak pustaka. Ditatapnya buku-buku itu sembari menghirup aromanya. Dari
kecil gadis itu memang sangat menyukai buku-buku dan tenggelam dalam buku-buku
adalah kenikmatan yang luar biasa baginya.
Berkali-kali
tangan putih Nasya meraih sebuah buku, membalikkannya dan membaca sinopsis
dibelakang buku. Tatapan gadis itu tertuju pada sebuh buku bersampul coklat
dengan judul buku ‘Motivasi diri’.
“Nah, buku kaya gitu yang aku cari,” kata Nasya girang. Tangan gadis
itu terulur untuk meraih buku tersebut. Tepat disaat yang sama sebuah tangan
juga tengah berusaha meraih buku bersampul coklat itu.
“Eeh.
Sorry sorry.” Nasya meminta maaf saat tanpa sengaja tangan mereka beradu. Nasya
menarik tangannya, lalu kemudian menatap lelaki disampingnya yang ternyata juga
menginginkan buku yang sama. Alis lelaki itu bertaut.
“Lo
mau baca buku ini? Ya udah duluan aja.” Lelaki itu mempersilahkan dengan sopan.
Sebuah senyum manis tersungging dihadapan Nasya. Gadis itu terpana sesaat, lalu
kemudian buru-buru menetralkan perasaannya.
“Nggak
usah. Thanks.” Nasya berlalu meninggalkan lelaki berwajah ganteng itu. Lelaki
itu hanya menatap Nasya dengan pandangan bingung, lalu seakan tak ambil pusing
ditatapnya buku bersampul coklat ditangannya.
Lelaki ganteng yang mengenakan baju kaus berwarna biru itu tersenyum
pelan. Senyum yang mampu meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya.
Nasya
duduk dibangku paling pojok pustaka. Membaca sebuah buku motivasi yang tak
kalah keren dengan buku bersampul coklat tadi. Gadis itu menghela nafas pelan.
Menenggelamkan diri dalam bacaan. Tanpa gadis itu sadari ada sepasang mata
elang beralis tebal tengah menatapnya.
Sepasang
mata itu milik Davi. Cowok yang tadi berebutan buku bersampul coklat dengan
Nasya. Memang awalnya Davi sama sekali tak peduli, tapi tempat duduk Davi yang
jaraknya tidak jauh dari Nasya membuat cowok itu mengamati Nasya. Entah kenapa
ada sebuah ketertarikan disana.
Dia punya chemistry. Guman
Davi.
*@muthiii*
Fian
mengaduk nasi goreng dipiringnya tanpa selera. “Kenapa nggak dimakan Fi?” Puja
menegur sembari menyuapkan sesendok nasi goreng kemulutnya. Fian menatap sang
nenek lalu kemudian meletakkan sendoknya.
“Udah
kenyang nek. Fi udahan ya.” Tanpa mendengar jawaban sang nenek, Fian berjalan
meninggalkan ruang makan dengan langkah gontai. Puja menggeleng pelan.
“Fian-Fian! Kamu udah semakin berbeda sekarang. Bukan seperti Fi yang nenek
kenal dulu.” Puja menghela nafas, lalu kembali terfokus dengan sarapannya.
Fian
berjalan mengelilingi rumah neneknya. Menatap hiasan-hiasan yang tertempel
didinding yang tak sama seperti dulu. “Banyak yang berubah,” desisnya pelan. Ternyata memang kecepatan waktu mampu mengubah semuanya. Mengubah
orang-orang yang ia sayang pastinya.
Lelaki
itu berhenti tepat dihadapan sebuah photo. Photo lelaki yang tengah berdiri
gagah dengan piala ditangannya. Lelaki itu ganteng. Pastinya. Wajah lelaki
diphoto itu putih bersih dengan alis mata tebal. Mata elang lelaki itu memiliki
bola mata coklat terang. Hidung mancung membingkai indah wajah itu. Ukiran
Tuhan yang sangat sempurna. Mirip-mirip Aliando Syarif-lah.
Fian
mendengus menatap photo itu. Lelaki diphoto itu adalah orang yang paling
dibenci Fian. Lelaki itu sepupunya. “Awas lo! Gue bakal buat lo tak berkutik
dan rebut semua yang lo punya!” Fian menunjuk tepat dihadapan photo yang
tertempel didinding bercat oranye itu.
“KENAPA
DIAM? JAWAB GUE! DIMANA LO SEKARANG?” Emosi Fian kian menjadi-jadi. Photo itu
masih tetep sama. Senyum lelaki diphoto itu seakan mengejek Fian. Fian meraih
bingkai photo itu. Dengan segenap tenaga dilemparkannya bingkai photo kelantai.
“FIII?
APA ITU?” Suara teriakan Puja dari dapur yang khas nenek-nenek membuat Fian
tersadar. Langkah lelaki itu berlalu dengan senyum sinis yang masih tersungging
diwajah sawo matangnya.
Gue akan balas dendam
untuk semua hal yang udah lo rebut dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar