Selasa, 13 Maret 2018

Nasya #6

“Kamu nggak perlu jadi orang lain untuk diterima lingkungan. Cukup dengan menjadi dirimu sendiri dan tunjukkan prestasimu.”

Welcome September. Nasya membatin sembari tersenyum. Dipandanginya pagi dihari awal bulan September. “Semoga dibulan ini aku makin semangat buat ngejar cita-cita.” Nasya merentangkan kedua tangannya keatas. Tanda bersemangat.
September? Berarti bulan ini adalah bulan awal kuliah? OSPEK? Ah, berarti harus nyiapin semua peralatan OSPEK secepat mungkin. Alhamdulillah bisa lulus ilmu komunikasi di Harapan. Nasya menatap layar laptopnya yang memang dari sehabis subuh tadi ia biarkan hidup. Gadis itu sebenarnya ingin merampungkan novelnya, tapi entah kenapa sang ide belum juga muncul.
Nasya menghela nafas, lalu memutuskan untuk mematikan laptopnya dan meraih kunci honda beat putihnya. Gadis berwajah manis dengan lesung pipit dikedua pipinya itu melangkah menuju garasi.
“Mau kemana Sya?” Andi menatap Nasya dengan tanda tanya besar dikepala.
“Nasya pergi bentar ya, Yah? Mau beli-beli perlengkapan buat OSPEK nih. Bolehkan?” ujar Nasya lembut sembari tersenyum. Andi mengangguk pelan. “Al ikut ya kak?” Alfan berdiri disamping Andi sambil berharap bisa ikut. Nasya menatap Al, lalu kemudian tersenyum lagi.
“Boleh. Ayo. Yah, Sya pergi dulu ya?” Nasya menyalami punggung tangan ayahnya. Diikuti oleh Al. Dengan terpincang-pincang, Nasya mendekati honda beat putihnya sembari mengandeng Al disisi kirinya.


Andi menatap putri pertamanya itu. Ada sebilah rasa sakit disana. Bagi lelaki itu, Nasya adalah gadis yang sangat berharga. Walaupun orang-orang diluar sana menganggap putrinya hanyalah seorang gadis cacat sejak lahir yang nggak bisa apa-apa.
Andi yakin kalau suatu hari nanti, Nasya akan bisa membuktikan bahwa dia bukan nothing.  Bukan nobody. Andi percaya itu. Bagi Andi, Nasya sekarang masih kepompong. Tapi akan ada waktunya nanti, gadis itu akan menjadi kupu-kupu.
Kupu-kupu cantik yang akan terbang tinggi. Tinggi bersama berjuta impiannya. Tanpa sadar, setetes air mata Andi turun. Ayah akan selalu do’ain kamu Sya. Ayah tau hidup kamu nggak mudah, tapi kamu harus kuat! Ayah percaya, cepat atau lambat, kamu akan sukses. Kamu pasti bisa buktikannya Sya.
Andi membuang nafas. Bayangan istrinya muncul dibenaknya. Ada rasa kehilangan disana. Andi mencoba tegar, lalu kemudian tersenyum. Anak-anak kita udah semakin besar tuh. Kamu pasti bangga ngelihat mereka. Batin Andi.
“Ayah sayang kalian.” 
*@muthiii*
Davi mendengus kesal sembari menghempaskan tubuh dikursi taman. Sejak Fian tinggal bersamanya dan neneknya, keributan selalu saja terjadi. Lelaki berwajah ganteng itu sama sekali tak mengerti mengapa Fian begitu membencinya. Dan pertengkaran-pertengkaran yang terus disulut Fian semakin membuat Davi agak gila berlama-lama berada dirumah.
“Salah gue apa sih Fi?” Davi berkata lirih. Tentu saja tak pernah ada jawab, karna sampai saat ini Davi benar-benar merasa tak pernah sedikitpun melukai hati Fian. Dulu saat mereka masih sama-sama tinggal di Jepang, Davi sempat menaroh kagum pada sosok Fian.
Itu dulu. Fian sekarang yang ia kenal begitu berbeda. Dingin, kaku, dan matanya menyiratkan kebencian. Begitulah yang bisa ditangkap dari Davi terhadap sosok Fian.
Davi menatap kesekeliling taman itu, lalu kemudian matanya tertuju pada satu sosok cewek yang tengah duduk dibangku ujung taman. Kebetulan bangku itu tepat berhadapan dengan bangku yang tengah diduduki Davi.
“Cewek itu?” Davi menyipitkan matanya. Menatap sang objek dengan lebih teliti. Wajah lelaki itu terlihat serius, lalu kemudian mengangguk. “Iya benar. Itu benar-benar dia!”
Davi berdiri dari duduknya, lalu kemudian disandangkannya tas ranselnya. Dengan langkah gontai, Davi berjalan menuju kursi sang cewek. “Hai.” Davi menyapa lembut. Dengan tanpa permisi, lelaki berusia delapan belas tahun itu duduk disamping cewek itu.
Davi sadar bahwa kehadirannya membuat cewek itu memasang tampang waspada. Davi memperlihatkan senyum termanisnya. “Lo lupa gue ya?” 
“Maaf, kamu siapa?” tanya cewek itu. Masih dengan sikap waspada. “Nggak usah takut gitu deh. Gue bukan orang jahat kok. Lo benar-benar nggak ingat gue?” Gadis disampingnya menggeleng. Ternyata cewek ini memang benar-benar tak memperdulikan kehadirannya. Baru dia satu-satunya cewek yang bahkan melupakannya.
 “Kita pernah ketemu dipustaka wilayah. Waktu itu kita sama-sama rebutan sebuah buku motivasi bersampul coklat.” Davi mencoba menjelaskan.
Walaupun itu memang awal pertama kali mereka jumpa, entah kenapa cewek ini seakan tak bisa pergi dari ingatan Davi. Dan ini kali kedua mereka berjumpa, bearti mereka ditakdirkan untuk berkenalan bukan?
Gadis disampingnya mencoba menerawang sembari mengingat-ingat. Terakhir ia kepustaka sebulan yang lalu.  Memang sih samar-samar ia mengingat bahwa dirinya pernah hampir berebutan sebuah buku. “Ehm. Kamu yang dipustaka itu?”
Walau cewek disampingnya samar-samar mengingatnya, tak urung membuatnya tersenyum. Davi mengulurkan tangan kanannya. “Davi,” ucapnya. Davi masih menangkap keraguan dimata gadis itu, bahkan untuk menjabat tangannya. Tapi gadis itu kemudian mengulurkan juga tangannya.
“Nasya. Nasya Talitha Azalia.” Karna gugup, Nasya menyebut nama panjangnya. Namun kemudian merutuki kebodohannya sendiri. Nasya menangkap senyum samar dibibir tipis Davi.
“Nama lo bagus.” Nasya sedikit mengernyit saat cowok disampingnya berkata dengan sebutan lo-gue. Baginya, panggilan lo-gue itu terlalu kasar. “Oh ya, gue ad—” Seorang bocah kecil menghampiri tempat duduk mereka dengan dua tangan memegang dua bungkus somay, sehingga Davi menghentikan kata-katanya.
“Kak Sya kak Sya. Ini somaynya.” Nasya tersenyum menatap kehadiran Al, lalu meraih tubuh mungil itu kepangkuannya dengan agak susah payah. “Kok lama banget beli somaynya Al?”
“Tadi ngantli kak.” Jawab Al seadanya. Davi menatap sosok Al, lalu lelaki itu membelai lembut kepala Al. “Adik lo ya?” Pertanyaan yang tentu saja tak membutuhkan jawaban, tapi Nasya mengangguk juga.
“Al, ini kak Davi. Salamin dong.” Al tersadar ada seseorang disamping Nasya. Bocah kecil itu tersenyum polos. “Pacal kak Sya ya?” tanyanya yang kontan membuat pipi gadis itu bersemu merah. Davi menangkap rona merah dipipi gadis itu, lalu kemudian ikutan tersenyum.
“Hush Al. Kok ngomong gitu?” Nasya memukul pelan lengan Al, sembari mencoba menutupi semburat merah di wajahnya dengan cara menundukkan kepala. “Kok muka kak Sya melah?” Al memandangi wajah Nasya. Gadis itu semakin malu. Aduh Al! Malah bikin kakaknya sendiri malu. Nasya berguman.
Davi menahan tawanya saat Al lagi-lagi membuat Nasya salah tingkah dihadapannya. Davi menangkap sosok canggung Nasya. “Nggak kok Al. Kakak sama kak Sya cuma temenan.” Davi memberikan pengertian sembari mencubit pelan pipi Al.
“Sorry ya?” Nasya meminta maaf yang langsung disambut kernyitan dikening Davi.
“Sorry for?”
“Ah udah lupain. Tadi mau ngomong apa?” Nasya mencoba mengalihkan suasana. Al dipangkuannya sekarang tengah asik menyantap satu bungkus somay. “Oh iya, kemaren gue ke gramed. Nemu buku bersampul coklat kaya diperpus. Gue beliin buat lo.” Davi membuka tasnya, lalu menyodorkan sebuah buku bersampul coklat yang sebulan lalu ingin dibacanya.
Kening Nasya berkerut. Dia beli buat aku? Maksudnya apa? Jelas-jelaskan kami baru kenalan sekarang.  Nasya menatap Davi dengan tatapan bingung.
“Maksud gue, gue beli bukunya buat gue sendiri. Tapi kan gue udah baca, makanya gue kasih ke elo aja.” Davi menyadari tatapan bingung itu, lalu kemudian buru-buru meralat kata-katanya. Nasya masih menatap buku itu dengan ragu-ragu. “Udah nggak usah ragu, ambil aja.”
Ini orang kaya bisa baca pikiran aku aja. Nasya membatin sembari meraih buku yang diulurkan Davi. “Thanks ya. Entar kalau udah selesai baca, aku kembaliin deh.” Nasya tersenyum tulus.
“Ah nyantai aja. Enggak dikembalikan juga nggak papa.” Davi balas tersenyum. Manis juga senyum ini cewek. Kedua muda-mudi itu terlibat percakapan yang seru. Davi merasa baru kali ini ia bertemu perempuan yang benar-benar nyambung saat diajak berbagi cerita. Bahkan cewek disampingnya ini tau tentang motivator-motivator hebat, membuat Davi semakin menyimpan kekaguman pada sosok disampingnya.
Al dipangkuan Nasya juga masih asik dengan siomay ditangannya. Sore semakin menjelang, Nasya menatap jam berwarna biru dipergelangan tangannya. “Wah udah sore nih. Ehm, aku sama Al pulang dulu ya.” Nasya berkata dengan nada berat. Jujur saja, gadis itu sama sekali belum ingin menyudahi obrolan diantara mereka.
Bagi Nasya, ini kali pertama dia ketemu dengan cowok seganteng Davi dan cowok ini sama sekali tak mengomentari fisiknya.  Davi juga ikut-ikutan menatap jam hitam dipergelangan tangan kirinya. “Oke. Mau diantar?”
“Nggak. Thanks. Bawa motor kok. Bye!” Nasya berdiri sembari meraih tangan mungil Al. Gadis itu berjalan dengan terpincang-pincang. Davi menatap kepergian Nasya. Sama sekali tak mempedulikan fakta bahwa Nasya cacat.
Bagi Davi itu tidak masalah, asal dia bisa nyambung diajak ngobrol. Beda dengan cewek-cewek yang pernah ditemuinnya. Hanya cantik fisik tapi tak pernah bisa diajak ngobrol banyak hal dan itu membosankan.
“Hati-hati!” Davi berteriak. Samar-samar Nasya mendengar teriakan Davi, lalu tersenyum. Nasya menaiki motornya. Motor beat putih itu mulai berlalu membelah jalanan kota Jakarta. Diikuti oleh tatapan Davi yang terus menguntit hingga beat putih itu menghilang dipembelokan jalan.
Sontak Davi terkaget. “Bego!” Davi meremas rambutnya geram. Lagi-lagi cowok itu merutuk. “Kenapa gue nggak minta nomor hapenya?! Ught!”
Siapa yang bego? “Oke, gue! Davi!” Davi berbicara sendiri. Cowok itu kemudian menghela nafas. Disandangnya ranselnya dan berlalu meninggalkan bangku taman. Gue Cuma berharap bisa ketemu dia lagi dan nggak akan ngulangin kebegoan kaya gini.
Davi masih merutuki kebodohan dirinya.
*@muthiii*
“Dari mana lo?” Fian menyilangkan tangannya didepan dada sembari menyandar pada tiang penyangga diteras depan rumah. Davi memandang Fian dengan tatapan tak mengerti. Mata cowok itu menyipit.
“Dari mana lo?” Fian mengulang pertanyaannya dengan nada tajam. Davi menatap Fian dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mulai ni orang cari gara-gara. Davi menghela nafas pelan. “Penting?”
“Mulai nggak sopan lo sekarang ya,” ucap Fian sembari tertawa sinis. Davi juga ikut menyunggingkan senyum sinisnya. “Gue capek. Permisi!” Davi melangkahkan kakinya menuju kedalam rumah. Berusaha sedikitpun untuk tidak terpancing.
Fian menoleh menatap kepergian Davi. Sialan! Tanpa kedua lelaki itu sadari, ada sebuah mata menatap kejadian itu sejak awal. Kedua mata milik sang nenek. Puja menggeleng-ngeleng kepala melihat tingkah kedua cucunya itu.
“Ada masalah apa sih antara kalian? Padahalkan dulu kalian dekat banget.” Puja menghela nafas sembari melanjutkan pekerjaannya. Sementara ditempat Fian, lelaki itu menjatuhkan pantatnya kekursi sembari menyeruput teh hangat.
Sialan juga tuh anak! Berani-beraninya sama gue. Kalau nggak ingat dirumah ada nenek, pasti udah gue kasih bogeman mentah buat dia. Disandarkannya kepalanya pada penyangga kursi sembari memejamkan mata. Fian mencoba merilekskan tubuhnya.

“Kak Fi.” Seorang cewek mengagetkan Fian. Lelaki itu tersenyum sinis menatap cewek dihadapannya. “Akhirnya lo nyerahin hati lo buat gue juga kan?” Fian tertawa sembari memasukkan kedua tangannya disaku celana abu-abunya. Salju turun dengan butiran-butiran indahnya.
Cewek bernama Haruna dihadapannya melangkah mundur lalu menggeleng-gelengkan kepala. Fian menggerutu kesal. Udah hampir beberapa bulan ini Fian memang mengincar Haruna, tapi sayangnya adik kelasnya itu sama sekali tak tertarik dengannya. Bahkan Haruna terang-terangan menghindar. Hal yang tak pernah dilakukan cewek mana pun terhadap dirinya.
“Trus ngapain lo dari kelas sepuluh ngayap kekelas dua belas. Lo nggak takut apa?” tanya Fian dengan nada sinis dan tajam. Tatapan mata cowok itu sangat sulit ditebak. Haruna menyadari kebodohannya dan langsung salah tingkah.
“Gue. Eng. Gue cu—”
“Ngomong tuh yang bener!”Fian membentak tanpa sedikit pun merasa bersalah. Teman-temannya menatap kejadian itu dengan senyum mengembang. Mereka merasa perdebatan antara Fian dan Haruna adalah tontonan seru sebelum otak-otak mereka dijejelkan dengan pelajaran-pelajaran yang bagi mereka bikin mules dan membosankan.
Dan sudah hal biasa juga bagi mereka melihat Fian membentak-bentak orang, tak peduli dia cewek atau cowok.
Haruna terlihat ketakutan. Wajah gadis itu memucat dan itu justru membuat Fian merasa menang. “Lo mau nyerahin diri kan? Lo suka sama gue kan?” tandas Fian tajam. Haruna menghela nafas sembari mencoba mengumpulkan segenap keberaniannya. Entah setan keberanian seperti apa yang membawanya kesini. Kekelas Fian.
“SIAPA JUGA YANG SUKA SAMA LO? GUE CUMA MAU NANYA, ANAK BARU DIKELAS SEBELAS IPA 3 ITU ADIK SEPUPU LO YA? BILANG SAMA DIA, GUE SUKA SAMA DIA!” Haruna berteriak dengan emosi yang membara, lalu gadis itu berlalu pergi dengan tatapan kesal pada Fian.
Skak mat bagi Fian. Cowok itu terdiam, begitu juga teman-temannya. Belum ada sejarahnya seorang pentolan sekolah se-cool Fian dipermaluin oleh seorang cewek ingusan yang masih kelas sepuluh. Fian menggeram kesal.
“Wah parah tu cewek! Fi, kayanya kedudukan lo sebagai pentolan alias penguasa sekolah ini udah bergeser tuh. Parahnya lagi yang menggeser kedudukan lo itu adik sepupu lo sendiri.” Chiko salah seorang teman Fian berkomentar.
Fian menatap Chiko dengan amarah yang kian meletup. Tanpa ba-bi-bu, bogem mentah mendarat kepipi Chiko.


Fian membuka matanya. Kejadin dua tahun yang lalu masih terbayang-bayang dibenaknya. Segera ia enyahkan tayangan itu. Fian kembali mengeram kesal. Ini semua gara-gara Davi! Cowok sialan itu udah berhasil ngerebut Haruna dari gue! Merebut cinta pertama gue!
Memang saat kelas dua SMA, Davi pindah ke Jepang dan masuk kesekolah yang sama dengan Fian. Fian menyeruput tehnya hingga habis, lalu dengan sengaja dilepaskannya gelas teh itu kelantai sehingga menyebabkan gelas itu pecah berkeping-keping. Gue bakal rebut apa yang berharga milik lo, Dav!
“Liat aja!”
*@muthiii*
Nasya merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Ditangan gadis itu tergenggam erat buku motivasi bersampul coklat milik Davi. Nasya tersenyum. Seumur hidup aku, dia adalah cowok terbaik yang aku kenal. Nasya membatin.
Mereka baru bertemu dua kali dan entah kenapa Nasya bisa langsung menyimpulkan bahwa Davi itu baik. Selama ini tak ada cowok yang mau dekat dengannya karna ia cacat. Nasya menghela nafas pelan. Ditatapnya buku itu. Sebuah senyum lagi-lagi muncul.
“Akh, aku ini kenapa?!” Nasya tersadar. Buru-buru gadis itu duduk dan meletakkan bukunya diatas meja disamping tempat tidurnya. “Nggak! Nggak boleh Sya! Jangan terlalu kepedean, entar sakit sendiri!” kata Nasya pada diri sendiri.
Ah mending aku nulis novel. Ingat impian Sya! Kalau bukan kamu yang berusaha buat gapai semua impian-impian kamu, trus siapa lagi? Ingat mereka yang udah nyakitin kamu! Balas dengan prestasi Sya! Semangat! Gadis berwajah manis itu berjalan kemeja belajarnya. Dihidupkan laptopnya.
Nasya menatap layar microsoft word dihadapannya. Jari-jari gadis itu mulai bermain dengan indahnya diatas keyboard laptop. Membayangkan tokoh-tokoh yang ia ciptakan tengah bermain dihadapannya.
Entah kenapa, Nasya ikut larut dalam novel yang dibuatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar