“Kamu nggak
perlu jadi orang lain untuk diterima lingkungan. Cukup dengan menjadi dirimu
sendiri dan tunjukkan prestasimu.”
Welcome September.
Nasya membatin sembari tersenyum. Dipandanginya pagi dihari awal bulan
September. “Semoga dibulan ini aku makin semangat buat ngejar cita-cita.” Nasya
merentangkan kedua tangannya keatas. Tanda bersemangat.
September? Berarti
bulan ini adalah bulan awal kuliah? OSPEK? Ah, berarti harus nyiapin semua
peralatan OSPEK secepat mungkin. Alhamdulillah bisa lulus ilmu komunikasi di
Harapan. Nasya menatap layar laptopnya yang memang dari
sehabis subuh tadi ia biarkan hidup. Gadis itu sebenarnya ingin merampungkan
novelnya, tapi entah kenapa sang ide belum juga muncul.
Nasya
menghela nafas, lalu memutuskan untuk mematikan laptopnya dan meraih kunci
honda beat putihnya. Gadis berwajah manis dengan lesung pipit dikedua pipinya
itu melangkah menuju garasi.
“Mau
kemana Sya?” Andi menatap Nasya dengan tanda tanya besar dikepala.
“Nasya
pergi bentar ya, Yah?
Mau beli-beli perlengkapan buat OSPEK nih. Bolehkan?” ujar Nasya lembut sembari
tersenyum. Andi mengangguk pelan. “Al ikut ya kak?” Alfan berdiri disamping
Andi sambil berharap bisa ikut. Nasya menatap Al, lalu kemudian tersenyum lagi.
“Boleh.
Ayo. Yah, Sya pergi dulu ya?” Nasya menyalami punggung tangan ayahnya. Diikuti
oleh Al. Dengan terpincang-pincang, Nasya mendekati honda beat putihnya sembari
mengandeng Al disisi kirinya.
Andi
menatap putri pertamanya itu. Ada sebilah rasa sakit disana. Bagi lelaki itu,
Nasya adalah gadis yang sangat berharga. Walaupun orang-orang diluar sana
menganggap putrinya hanyalah seorang gadis cacat sejak lahir yang nggak bisa
apa-apa.
Andi
yakin kalau suatu hari nanti, Nasya akan bisa membuktikan bahwa dia bukan
nothing. Bukan nobody. Andi
percaya itu. Bagi Andi, Nasya sekarang masih kepompong. Tapi akan ada waktunya
nanti, gadis itu akan menjadi kupu-kupu.
Kupu-kupu
cantik yang akan terbang tinggi. Tinggi bersama berjuta impiannya. Tanpa sadar,
setetes air mata Andi turun. Ayah akan
selalu do’ain kamu Sya. Ayah tau hidup kamu nggak mudah, tapi kamu harus kuat!
Ayah percaya, cepat atau lambat, kamu akan sukses. Kamu pasti bisa buktikannya
Sya.
Andi
membuang nafas. Bayangan istrinya muncul dibenaknya. Ada rasa kehilangan
disana. Andi mencoba tegar, lalu kemudian tersenyum. Anak-anak kita udah semakin besar tuh. Kamu pasti bangga ngelihat mereka.
Batin Andi.
“Ayah
sayang kalian.”
*@muthiii*
Davi
mendengus kesal sembari menghempaskan tubuh dikursi taman. Sejak Fian tinggal
bersamanya dan neneknya, keributan selalu saja terjadi. Lelaki berwajah ganteng
itu sama sekali tak mengerti mengapa Fian begitu membencinya. Dan
pertengkaran-pertengkaran yang terus disulut Fian semakin membuat Davi agak
gila berlama-lama
berada dirumah.
“Salah
gue apa sih Fi?” Davi berkata lirih. Tentu saja tak pernah ada jawab, karna
sampai saat ini Davi benar-benar merasa tak pernah sedikitpun melukai hati
Fian. Dulu saat mereka masih sama-sama tinggal di Jepang, Davi sempat menaroh
kagum pada sosok Fian.
Itu
dulu. Fian sekarang yang ia kenal begitu berbeda. Dingin, kaku, dan matanya
menyiratkan kebencian. Begitulah
yang bisa ditangkap dari Davi terhadap sosok Fian.
Davi
menatap kesekeliling taman itu, lalu kemudian matanya tertuju pada satu sosok
cewek yang tengah duduk dibangku ujung taman. Kebetulan bangku itu tepat
berhadapan dengan bangku yang tengah diduduki Davi.
“Cewek
itu?” Davi menyipitkan matanya. Menatap sang objek dengan lebih teliti. Wajah
lelaki itu terlihat serius, lalu kemudian mengangguk. “Iya benar. Itu
benar-benar dia!”
Davi
berdiri dari duduknya, lalu kemudian disandangkannya tas ranselnya. Dengan
langkah gontai, Davi berjalan menuju kursi sang cewek. “Hai.” Davi menyapa
lembut. Dengan tanpa permisi, lelaki berusia delapan belas tahun itu duduk
disamping cewek itu.
Davi
sadar bahwa kehadirannya membuat cewek itu memasang tampang waspada. Davi memperlihatkan
senyum termanisnya. “Lo lupa gue ya?”
“Maaf,
kamu siapa?” tanya cewek itu. Masih dengan sikap waspada. “Nggak usah takut
gitu deh. Gue bukan orang jahat kok. Lo benar-benar nggak ingat gue?” Gadis
disampingnya menggeleng. Ternyata cewek ini memang benar-benar tak
memperdulikan kehadirannya. Baru dia satu-satunya cewek yang bahkan
melupakannya.
“Kita pernah ketemu dipustaka wilayah. Waktu
itu kita sama-sama rebutan sebuah buku motivasi bersampul coklat.” Davi mencoba
menjelaskan.
Walaupun itu memang awal pertama kali
mereka jumpa, entah kenapa cewek ini seakan tak bisa pergi dari ingatan Davi.
Dan ini kali kedua mereka berjumpa, bearti mereka ditakdirkan untuk berkenalan
bukan?
Gadis
disampingnya mencoba menerawang sembari mengingat-ingat. Terakhir ia kepustaka
sebulan yang lalu. Memang sih samar-samar
ia mengingat bahwa dirinya pernah hampir berebutan sebuah buku. “Ehm. Kamu yang
dipustaka itu?”
Walau
cewek disampingnya samar-samar mengingatnya, tak urung membuatnya tersenyum.
Davi mengulurkan tangan kanannya. “Davi,” ucapnya. Davi masih menangkap
keraguan dimata gadis itu, bahkan untuk menjabat tangannya. Tapi gadis itu
kemudian mengulurkan juga tangannya.
“Nasya.
Nasya Talitha Azalia.” Karna gugup, Nasya menyebut nama panjangnya. Namun kemudian
merutuki kebodohannya sendiri. Nasya menangkap senyum samar dibibir tipis Davi.
“Nama
lo bagus.” Nasya sedikit mengernyit saat cowok disampingnya berkata dengan
sebutan lo-gue. Baginya, panggilan
lo-gue itu terlalu kasar. “Oh ya, gue ad—” Seorang bocah kecil menghampiri
tempat duduk mereka dengan dua tangan memegang dua bungkus somay, sehingga Davi
menghentikan kata-katanya.
“Kak
Sya kak Sya. Ini somaynya.” Nasya tersenyum menatap kehadiran Al, lalu meraih
tubuh mungil itu kepangkuannya dengan agak susah payah. “Kok lama banget beli
somaynya Al?”
“Tadi
ngantli kak.” Jawab Al seadanya. Davi menatap sosok Al, lalu lelaki itu
membelai lembut kepala Al. “Adik lo ya?” Pertanyaan yang tentu saja tak
membutuhkan jawaban, tapi Nasya mengangguk juga.
“Al,
ini kak Davi. Salamin dong.” Al tersadar ada seseorang disamping Nasya. Bocah
kecil itu tersenyum polos. “Pacal kak Sya ya?” tanyanya yang kontan membuat
pipi gadis itu bersemu merah. Davi menangkap rona merah dipipi gadis itu, lalu
kemudian ikutan tersenyum.
“Hush
Al. Kok ngomong gitu?” Nasya memukul pelan lengan Al, sembari mencoba menutupi
semburat merah di wajahnya dengan cara menundukkan kepala. “Kok muka kak Sya
melah?” Al memandangi wajah Nasya. Gadis itu semakin malu. Aduh Al! Malah bikin kakaknya sendiri malu. Nasya berguman.
Davi
menahan tawanya saat Al lagi-lagi membuat Nasya salah tingkah dihadapannya.
Davi menangkap sosok canggung Nasya. “Nggak kok Al. Kakak sama kak Sya cuma
temenan.” Davi memberikan pengertian sembari mencubit pelan pipi Al.
“Sorry
ya?” Nasya meminta maaf yang langsung disambut kernyitan dikening Davi.
“Sorry
for?”
“Ah
udah lupain. Tadi mau ngomong apa?” Nasya mencoba mengalihkan suasana. Al
dipangkuannya sekarang tengah asik menyantap satu bungkus somay. “Oh iya,
kemaren gue ke gramed. Nemu buku bersampul coklat kaya diperpus. Gue beliin
buat lo.” Davi membuka tasnya, lalu menyodorkan sebuah buku bersampul coklat
yang sebulan lalu ingin dibacanya.
Kening
Nasya berkerut. Dia beli buat aku?
Maksudnya apa? Jelas-jelaskan kami baru kenalan sekarang. Nasya menatap Davi dengan tatapan bingung.
“Maksud
gue, gue beli bukunya buat gue sendiri. Tapi kan gue udah baca, makanya gue
kasih ke elo aja.” Davi menyadari tatapan bingung itu, lalu kemudian buru-buru
meralat kata-katanya. Nasya masih menatap buku itu dengan ragu-ragu. “Udah
nggak usah ragu, ambil aja.”
Ini orang kaya bisa
baca pikiran aku aja. Nasya membatin sembari meraih buku
yang diulurkan Davi. “Thanks ya. Entar kalau udah selesai baca, aku kembaliin
deh.” Nasya tersenyum tulus.
“Ah
nyantai aja. Enggak dikembalikan juga nggak papa.” Davi balas tersenyum. Manis juga senyum ini cewek. Kedua
muda-mudi itu terlibat percakapan yang seru. Davi merasa baru kali ini ia
bertemu perempuan yang benar-benar nyambung saat diajak berbagi cerita. Bahkan
cewek disampingnya ini tau tentang motivator-motivator hebat, membuat Davi
semakin menyimpan kekaguman pada sosok disampingnya.
Al
dipangkuan Nasya juga masih asik dengan siomay ditangannya. Sore semakin
menjelang, Nasya menatap jam berwarna biru dipergelangan tangannya. “Wah udah
sore nih. Ehm, aku sama Al pulang dulu ya.” Nasya berkata dengan nada berat.
Jujur saja, gadis itu sama sekali belum ingin menyudahi obrolan diantara
mereka.
Bagi
Nasya, ini kali pertama dia ketemu dengan cowok seganteng Davi dan cowok ini
sama sekali tak mengomentari fisiknya.
Davi juga ikut-ikutan menatap jam hitam dipergelangan tangan kirinya.
“Oke. Mau diantar?”
“Nggak.
Thanks. Bawa motor kok. Bye!” Nasya berdiri sembari meraih tangan mungil Al.
Gadis itu berjalan dengan terpincang-pincang. Davi menatap kepergian Nasya.
Sama sekali tak mempedulikan fakta bahwa Nasya cacat.
Bagi
Davi itu tidak masalah, asal dia bisa nyambung diajak ngobrol. Beda dengan
cewek-cewek yang pernah ditemuinnya. Hanya cantik fisik tapi tak pernah bisa
diajak ngobrol banyak hal dan itu membosankan.
“Hati-hati!”
Davi berteriak. Samar-samar Nasya mendengar teriakan Davi, lalu tersenyum.
Nasya menaiki motornya. Motor beat putih itu mulai berlalu membelah jalanan
kota Jakarta. Diikuti oleh tatapan Davi yang terus menguntit hingga beat putih
itu menghilang dipembelokan jalan.
Sontak
Davi terkaget. “Bego!” Davi meremas rambutnya geram. Lagi-lagi cowok itu
merutuk. “Kenapa gue nggak minta nomor hapenya?! Ught!”
Siapa yang bego? “Oke,
gue! Davi!” Davi berbicara sendiri. Cowok itu kemudian menghela nafas.
Disandangnya ranselnya dan berlalu meninggalkan bangku taman. Gue Cuma berharap bisa ketemu dia lagi dan
nggak akan ngulangin kebegoan kaya gini.
Davi
masih merutuki
kebodohan dirinya.
*@muthiii*
“Dari
mana lo?” Fian menyilangkan tangannya didepan dada sembari menyandar pada tiang
penyangga diteras depan rumah. Davi memandang Fian dengan tatapan tak mengerti.
Mata cowok itu menyipit.
“Dari
mana lo?” Fian mengulang pertanyaannya dengan nada tajam. Davi menatap Fian
dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mulai
ni orang cari gara-gara. Davi menghela nafas pelan. “Penting?”
“Mulai
nggak sopan lo sekarang ya,”
ucap
Fian sembari tertawa sinis. Davi juga ikut menyunggingkan senyum sinisnya. “Gue
capek. Permisi!” Davi melangkahkan kakinya menuju kedalam rumah. Berusaha
sedikitpun untuk tidak terpancing.
Fian
menoleh menatap kepergian Davi. Sialan! Tanpa
kedua lelaki itu sadari, ada sebuah mata menatap kejadian itu sejak awal. Kedua
mata milik sang nenek. Puja menggeleng-ngeleng kepala melihat tingkah kedua
cucunya itu.
“Ada
masalah apa sih antara kalian? Padahalkan dulu kalian dekat banget.” Puja
menghela nafas sembari melanjutkan pekerjaannya. Sementara ditempat Fian,
lelaki itu menjatuhkan pantatnya kekursi sembari menyeruput teh hangat.
Sialan juga tuh anak!
Berani-beraninya sama gue. Kalau nggak ingat dirumah ada nenek, pasti udah gue
kasih bogeman mentah buat dia. Disandarkannya
kepalanya pada penyangga kursi sembari memejamkan mata. Fian mencoba
merilekskan tubuhnya.
“Kak Fi.” Seorang cewek
mengagetkan Fian. Lelaki itu tersenyum sinis menatap cewek dihadapannya.
“Akhirnya lo nyerahin hati lo buat gue juga kan?” Fian tertawa sembari
memasukkan kedua tangannya disaku celana abu-abunya. Salju turun dengan
butiran-butiran indahnya.
Cewek bernama Haruna
dihadapannya melangkah mundur lalu menggeleng-gelengkan kepala. Fian menggerutu
kesal. Udah hampir beberapa bulan ini Fian memang mengincar Haruna, tapi
sayangnya adik kelasnya itu sama sekali tak tertarik dengannya. Bahkan Haruna
terang-terangan menghindar. Hal yang tak pernah dilakukan cewek mana pun
terhadap dirinya.
“Trus ngapain lo dari
kelas sepuluh ngayap kekelas dua belas. Lo nggak takut apa?” tanya Fian dengan
nada sinis dan tajam. Tatapan mata cowok itu sangat sulit ditebak. Haruna
menyadari kebodohannya dan langsung salah tingkah.
“Gue. Eng. Gue cu—”
“Ngomong tuh yang
bener!”Fian membentak tanpa sedikit pun merasa bersalah. Teman-temannya menatap
kejadian itu dengan senyum mengembang. Mereka merasa perdebatan antara Fian dan
Haruna adalah tontonan seru sebelum otak-otak mereka dijejelkan dengan
pelajaran-pelajaran yang bagi mereka bikin mules dan membosankan.
Dan sudah hal biasa
juga bagi mereka melihat Fian membentak-bentak orang, tak peduli dia cewek atau
cowok.
Haruna terlihat
ketakutan. Wajah gadis itu memucat dan itu justru membuat Fian merasa menang.
“Lo mau nyerahin diri kan? Lo suka sama gue kan?” tandas Fian tajam. Haruna
menghela nafas sembari mencoba mengumpulkan segenap keberaniannya. Entah setan
keberanian seperti apa yang membawanya kesini. Kekelas Fian.
“SIAPA JUGA YANG SUKA
SAMA LO? GUE CUMA MAU NANYA, ANAK BARU DIKELAS SEBELAS IPA 3 ITU ADIK SEPUPU LO
YA? BILANG SAMA DIA, GUE SUKA SAMA DIA!” Haruna berteriak dengan emosi yang
membara, lalu gadis itu berlalu pergi dengan tatapan kesal pada Fian.
Skak mat bagi Fian.
Cowok itu terdiam, begitu juga teman-temannya. Belum ada sejarahnya seorang
pentolan sekolah se-cool Fian dipermaluin oleh seorang cewek ingusan yang masih
kelas sepuluh. Fian menggeram kesal.
“Wah parah tu cewek!
Fi, kayanya kedudukan lo sebagai pentolan alias penguasa sekolah ini udah
bergeser tuh. Parahnya lagi yang menggeser kedudukan lo itu adik sepupu lo
sendiri.” Chiko salah seorang teman Fian berkomentar.
Fian menatap Chiko
dengan amarah yang kian meletup. Tanpa ba-bi-bu, bogem mentah mendarat kepipi
Chiko.
Fian
membuka matanya. Kejadin dua tahun yang lalu masih terbayang-bayang dibenaknya.
Segera ia enyahkan tayangan itu. Fian kembali mengeram kesal. Ini semua gara-gara Davi! Cowok sialan itu
udah berhasil ngerebut Haruna dari gue! Merebut cinta pertama gue!
Memang
saat kelas dua SMA, Davi pindah ke Jepang dan masuk kesekolah yang sama dengan
Fian. Fian menyeruput tehnya hingga habis, lalu dengan sengaja dilepaskannya
gelas teh itu kelantai sehingga menyebabkan gelas itu pecah berkeping-keping. Gue bakal rebut apa yang berharga milik lo,
Dav!
“Liat
aja!”
*@muthiii*
Nasya
merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Ditangan gadis itu tergenggam erat
buku motivasi bersampul coklat milik Davi. Nasya tersenyum. Seumur hidup aku, dia adalah cowok terbaik
yang aku kenal. Nasya membatin.
Mereka
baru bertemu dua kali dan entah kenapa Nasya bisa langsung menyimpulkan bahwa
Davi itu baik. Selama ini tak ada cowok yang mau dekat dengannya karna ia
cacat. Nasya menghela nafas pelan. Ditatapnya buku itu. Sebuah senyum lagi-lagi
muncul.
“Akh,
aku ini kenapa?!” Nasya tersadar. Buru-buru gadis itu duduk dan meletakkan
bukunya diatas meja disamping tempat tidurnya. “Nggak! Nggak boleh Sya! Jangan
terlalu kepedean, entar sakit sendiri!” kata Nasya pada diri sendiri.
Ah mending aku nulis
novel. Ingat impian Sya! Kalau bukan kamu yang berusaha buat gapai semua
impian-impian kamu, trus siapa lagi? Ingat mereka yang udah nyakitin kamu!
Balas dengan prestasi Sya! Semangat! Gadis berwajah manis
itu berjalan kemeja belajarnya. Dihidupkan laptopnya.
Nasya
menatap layar microsoft word dihadapannya. Jari-jari gadis itu mulai bermain
dengan indahnya diatas keyboard laptop. Membayangkan tokoh-tokoh yang ia
ciptakan tengah bermain dihadapannya.
Entah
kenapa, Nasya ikut larut dalam novel yang dibuatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar