Minggu, 11 Maret 2018

Nasya #4

“Mimpi adalah awal kesuksesan,maka rancanglah mimpimu. Hidup ini bukan let it flow. Kehidupan yang tidak dirancang akan membuatmu sulit menggapai kesuksesan.”

            Malam semakin merangkak naik seakan tak peduli akan sekitarnya. Nasya tengah berbaring diatas kasurnya. Mata gadis itu tak jua ingin terpejam. Entah apa yang tengah ada dipikiran gadis berusia tujuh belas tahun itu. Nasya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Bayangan wajah seorang wanita yang sangat disayanginya lagi-lagi muncul.
            “Bunda, Nasya kangen. Bunda gimana kabarnya? Semoga baik-baik aja ya? Nasya janji bakal jagain ayah dan adik-adik.” Nasya menatap photo wanita separuh baya yang dipanggilnya Bunda.

            “Bunda, jangan tinggalin Nasya. Kami masih butuh bunda. bunda bangun!” Nasya menangis saat melihat jasad wanita yang sangat disayanginya terbujur kaku. Lagi-lagi hidup mempermainkan gadis itu dengan mengambil orang yang teramat disayanginya.
            Para tetangga dan keluarga mencoba menenangkan Nasya. Lita juga menangis disamping Nasya, sedangkan Al yang masih TK sama sekali tak mengerti apa yang tengah terjadi. Nasya menyusut air matanya, diraihnya tubuh Al dan dipeluknya erat. Air mata gadis itu terus saja turun.
            “Bunda, maafin Nasya yang belum bisa bahagiain bunda. Maafin Nasya yang sering banget nyakitin bunda. Maafin Nasya bunda.” Tubuh Nasya berguncang. Al menatap Nasya, lalu bocah kecil itu menghapus air mata yang jatuh dipipi Nasya.
            “Kak Sya kenapa nangis? Jangan nangis, Bunda udah di sulga.” Ucap Al polos. Mendengar ucapan polos Al, Nasya tersenyum hambar dan kemudian kembali menangis.

            Nasya tersentak. Kejadian masa lalu terus saja mampu memenuhi ruang otaknya. Menyedot semua perhatiannya. “Allah sayang bunda, makanya Allah ngambil bunda biar bunda nggak ngerasain sakit terlalu lama.” Nasya mencoba menenangkan hatinya, tapi kata-katanya barusan membuatnya kembali meneteskan air mata.
            Iya, Allah sayang bunda. Aku harus kuat kaya bunda. Aku harus sukses biar bikin bunda dan ayah bangga. Aku janji!
            Akh! Dan pada akhirnya penyakit itu telah merenggut bunda. Merenggut bunda dari kehidupanku. Bunda bukan dikalahkan penyakit itu, hanya saja mengalah. Bunda wanita yang kuat dan bunda adalah inspirasiku untuk terus bangkit.
            Nasya bangun dari tidurnya. Semua kejadian masa lalu berputar silih berganti bak tayangan layar lebar. “Pas kuliah ini aku harus berubah. Aku harus sukses! Aku harus terkenal dan bisa membuktikan ke orang-orang yang udah ngeremehin aku kalau aku ini bukan nol. Aku capek diremehin terus. Aku harus sukses untuk orang-orang yang aku sayang!” ucap Nasya pelan namun dengan keyakinan yang kuat.
            “Aku harus sukses! Aku harus buktikan kemereka!” Nasya meraih sebuah buku kosong dan sebuah pena. Lama ditatapnya buku itu, lalu kemudian dituliskannya ‘Dreams note’ dihalaman pertama buku bersampul hijau itu.
Buku ini akan menjadi saksi perjalanan hidupku. Tentang mimpi-mimpi yang dengan segenap jiwa dan tetesan keringat akan kuraih. Aku akan buktikan kemeraka bahwa aku bukan ‘nol’! Mungkin sekarang aku nobody, tapi nanti aku janji akan menjadi somebody. Mungkin sekarang aku zero, tapi nanti aku hero.
            “Aku harus sukses.” Nasya mulai menuliskan mimpi-mimpinya dibuku itu.

Bismillah. Kutuliskan dibuku ini mimpi-mimpiku Ya Allah. Semoga mimpi-mimpi ini dapat terwujud dengan keyakinan, usaha, plus do’a yang selalu ku haturkan. Aku sadar kalau aku bukan siapa-siapa didunia ini, tapi aku janji untuk ngebungkam orang-orang yang pernah nyakitin perasaanku dan perasaan orang-orang yang aku sayang. Ini dia mimpi-mimpiku. Mimpi seorang Nasya Talitha Azalia :
1.    Aku ingin menjadi penulis. Penulis yang menginsfirasi banyak orang. Penulis yang karyanya selalu dinanti-nanti. Penulis yang diundang untuk mengisi talkshow atau bedah buku, sehingga aku bisa  keliling dunia dengan hanya menulis. Penulis yang punya banyak uang, sehingga aku bisa menyekolahkan kedua adikku dan membahagiakan ayahku. Cara yang harus aku tempuh adalah dengan menyempatkan untuk menulis minimal sehari dua halaman dan kalau ada waktu luang, isi dengan kegiatan menulis.
2.    Nanti pas kuliah punya IP dan IPK yang tinggi. Aku orangnya pemalu dan pas kuliah nanti aku harus aktif dikelas. Mengerjakan tugas dari dosen dengan sebaik-baiknya. Pokoknya ubah mindset dan cara belajar! Membaca juga adalah hal yang dibutuhkan.
3.    Pas kuliah aktif di organisasi. Dari dulu aku suka banget dengerin radio, bahkan pengen nyoba jadi penyiar radio. Menurut aku jadi penyiar itu asik dan keren. Nanti kalau udah kuliah, aku pengen gabung dengan organisasi radio.
4.    Nanti pas kuliah harus bisa nyari uang semesteran sendiri supaya bisa bayar uang kuliah sendiri. Aku sadar kalau aku bukan terlahir dari keluarga kaya, makanya aku harus berjuang untuk membantu keuangan keluarga. Nanti mau jualan aja. Jualan pulsa atau jualan lainnya.

Nasya menatap empat impian itu. Empat impian yang menurutnya sudah mencakup impian-impian lainnya. Sekali lagi dibacanya setiap tulisan yang ia torehkan dilembaran buku dreams note itu.
Gadis itu tersenyum, lalu kemudian ia baringkan tubuhnya diatas tempat tidur dengan menggenggam buku bersampul hijau. Aku akan berusaha! Aku janji. Semua ini aku lakuin untuk ayah, untuk almarhumah bunda, untuk adik-adik, dan untuk pembuktian kepada mereka yang pernah meremehkanku
“Aku harus sukses! Ya Allah izinkan aku untuk sukses semuda mungkin, agar aku bisa mencetak senyum diwajah orang-orang yang aku sayang dan membungkam mulut orang yang pernah nyakitin perasaan aku.”
*@muthi*
Atar memain-mainkan senar gitarnya dengan nada absurd. Suara sumbang dari nada gitar itu memenuhi ruang kamar lelaki itu. Dengan dengusan kesal, lelaki blasteran Sunda-Arab itu meletakkan gitarnya. Atar meraih hp-nya. Sebuah SMS masuk membuat lelaki itu tersenyum membacanya.

From : My Hello Kitty
Sayang, lagi apa? Kangen ({})

            Sama sekali Atar tak berniat membalasnya. Bukan nggak peduli, hanya saja lelaki itu kurang suka bersms-an ria. Bayangan wajah seorang gadis muncul dibenaknya, membuat senyum terukir dibibir lelaki itu. Gadis yang hampir membuatnya setengah gila dan gadis itu sangat mencintai hello kitty, karna itu Atar memanggilnya Kitty.

            “Eh, lo tau nggak kalau disini tempat parkir khusus untuk gue? Cepat pinggirin motor lo!” Atar berdiri sembari berkacak pinggang. Dihadapannya seorang gadis dengan jepitan biru dirambutnya juga ikut-ikutan berkacak pinggang dengan wajah dibuat kesal. Tapi kekesalan diwajah gadis itu malah menambah keimutannya.
            “Heh! Lo pikir ini sekolah nenek moyang lo apa? Gue mau parkir disini ya suka-suka gue dong!” Dengus gadis itu dengan berani. Seolah tak takut dengan keberadaan Atar. Atar menyipitkan matanya sambil menatap gadis itu dari atas sampai bawah dengan tatapan sinis.
 “Lo anak baru ya?” tanya Atar masih dengan pandangan sinisnya.
            “Bukan urusan lo!” Cewek itu berlalu dengan angkuhnya. “Sialan tu cewek! Berani banget sama gue. Nggak tau siapa gue dia!” Atar memandangi kepergian cewek itu.
“Ahaha! Siapa tuh cewek. Berani banget sama lo bro!” Rei yang melihat kejadian itu dari kejauhan menghampiri Atar dengan tawa yang tersungging diwajahnya. “Eh diam lo atau mulut lo gue bogem!”
            “Weis, santai bro! Masa gasgter sekolah kalah dengan satu orang cewek. Eh, itu cewek cantik juga ya?” Rei kembali meledek Atar. Yang diledek menatap dengan tatapan geram. Tangan Atar menempeleng kepala Rei, lalu Atar berlalu meninggalkan Rei.

            Lagi-lagi cowok blasteran itu tersenyum saat tayangan masa lalu menyapanya. Awal perkenalannya dengan si Hello Kitty. Perkenalan yang bukan romantis. Hello Kitty adalah cewek kedua yang mampu mengetuk pintu hati Atar dan memasukinya. Bahkan sampai saat ini masih bermukim dihatinya. Atar meraih gitarnya. Memainkan senar gitar itu dengan melodi yang indah.
            “Kurasa ku sedang dimabuk cinta. Nikmatnya kini ku dimabuk cinta. Dimabuk cin— Aish. Astaga! Kenapa gue jadi alay gini?” Atar tersadar dengan nyanyiannya, lalu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
            “Gara-gara lo sih Kitty! Gimana kabar lo sekarang? Kangen banget gue. Entar gue sempetin deh nyuri waktu buat nemuin lo.” Atar menatap sebuah photo diatas meja belajarnya. Lelaki itu kemudian tersenyum.
            Ia sama sekali tak menyangka bahwa gadis yang dulu pernah jadi musuhnya itu adalah gadis yang ternyata berhasil masuk kehatinya. Masuk dan mengunci hatinya hingga tak ada yang bisa mengetuk hatinya lagi, bahkan untuk singgah pun tidak.
*@muthi*
            Fian mendorong kopernya keluar kamar dengan setengah malas. Ekspresi lelaki itu susah digambarkan. Wajah sawo matang plus keangkuhan yang tercetak jelas diwajah itu membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana.
Fian memang ganteng, walau kulitnya sawo matang. Fian menoleh kekanan saat mendapati Kafta tengah menatapnya. “Kenapa?” tanyanya ketus. “Lo mau kemana kak?” Kafta memandang sang kakak dengan tatapan sedih. Ia tak bisa membohongi perasaannya bahwa ia sangat kehilangan Fian.
Seselengean apa pun seorang Fian, bagi Kafta Fian segalanya. Fian orang yang paling mengerti dirinya. Fian orang yang selalu ada saat ia sedih. Sejak kecil, Fianlah orang yang melindunginya. Memarahi siapa saja yang menyakitinya. Memanjat pohon mangga untuknya. Bermain salju bersamanya. Fian adalah sosok kakak yang sangat bertanggung jawab baginya.
            “Kan gue disuruh ngungsi ke Indonesia. Gimana sih lo? Lupa?” Fian masih terlihat ketus.  Kafta memandangi Fian tepat dibola matanya. Gadis itu mencoba mencari rasa sayang yang dulu ada untuknya dari bola mata hitam itu. Kafta mendengus kesal saat apa yang dicarinya tidak ia temukan. Sebegitu berubahnya lo kak?
            “Ngapain masih bengong disitu? Mending masuk kamar sana!” Fian mengusir. Kafta menghela nafas pelan, lalu melangkah menuju kamarnya. Gue bakal ngerinduin lo kak. Gue kangen lo yang dulu. Apa keadaan keluarga kita emang benar-benar udah berubah? Kenapa waktu begitu cepat ngerubah lo? Ngerubah papa dan mama? Kafta berguman didalam hati.
            Fian memandangi kepergian Kafta. Ada sedikit rasa bersalah didirinya. Maafin gue dek. Gue sayang sama lo. “Jadi kamu pergi sekarang? Papa udah siapian semuanya.” Rico menghentikan lamunan Fian. Fian tersentak, lalu menoleh kearah sang papa.
            “Lebih cepat lebih baik,” ujar Fian seadanya. Rico mengangguk, lalu mengulurkan tiket pesawat. Fian meraih tiket pesawat itu. “Fi pergi dulu,” ucap Fian tanpa menoleh sedikit pun pada Rico.
Rico menghela nafas sambil menatap kepergian anak laki-lakinya. Papa ngelakuin ini karna papa nggak mau kamu bergaul dengan teman kamu yang nggak benar. Papa khawatir sama kamu. Kamu anak laki-laki papa satu-satunya. Kamu yang akan meneruskan perusahaan yang udah papa rintis dari nol.


Fian melangkah dengan ragu sambil berharap papa atau mamanya menahannya dan mereka berubah pikiran. Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Pada nyatanya baik papa atau mamanya memang menginginkan dirinya pergi.
Sebegitu nggak berarti gue dimata kalian Pa? Ma? Sampai-sampai kalian berniat ngirimin gue ketempat nenek? Oke, gue turutin keinginan kalian. Gue bakal ke Indonesia. Gue bakal masuk  jurusan Ekonomi, tapi jangan harap gue bakal serius kuliah.

Fian melangkah keluar rumah. Sepasang mata memandangnya dari kejauhan. Sepasang mata milik mamanya. Semoga Fi bisa sukses disana ya sayang. Cuma itu harapan mama dan papa buat Fi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar