Rabu, 14 Maret 2018

Nasya #7

“Tak peduli berapa kali kamu gagal, yang harus dipeduliin berapa kali kamu bisa bangkit diatas kegagalan itu.”

Nasya menghembuskan nafas pelan. Panas matahari kota Jakarta semakin menampakkan sinarnya. Gadis itu menatap jam dipergelangan tangan kirinya sembari mendesah pelan. Masih ada lima belas menit waktu istirahat lagi. Bisiknya.
Nasya mengedarkan pandangan kesekeliling. Teman-teman barunya tengah asik menyantap makan siangnya sembari saling menyapa dan berkenalan ria, tapi tidak bagi dirinya.
Ia masih duduk sendiri diujung lapangan dengan rok hitam panjang sebatas mata kaki yang dipadukan baju putih kebesaran. Rambut gadis itu diikat dengan pita biru muda. Memang saat ini ia tengah menjalani OSPEK. Tradisi tahunan yang menurutnya tak jelas tujuannya apa.
“Nasya?” Sebuah suara cowok yang agak nge-bass menyebut namanya. Nasya menatap sumber suara, lalu kemudian tertegun saat mendapati seseorang yang dikenalnya tengah berdiri gagah dihadapannya.
Bibir gadis itu kelu, bahkan hanya untuk mengucapkan nama cowok dihadapannya ini. Suasana hiruk pikuk tidak membuat Nasya berpaling dari keterkejutannya. “Oh jadi lo kuliah disini juga?” Suara tajam itu seakan menohoknya.
Nasya menunduk. Entah kenapa rasa sakit itu kembali bermukim dihatinya, melemparkannya pada masa lalu yang benar-benar ingin dilupakannya. Cowok dihadapannya itu membuat bayangan masa lalunya kembali muncul. Dan saat ini juga, Nasya rasanya ingin sekali melenyapkan cowok itu dari bumi.
“Kok nggak jawab? Udah pincang, bisu lagi ya?” Cowok itu tersenyum sinis seakan mendapat mainan baru, tanpa ia sadari kata-katanya itu seperti pisau yang telah menusuk tepat diulu hati Nasya.


Membuat luka gadis itu semakin menganga lebar. Dan apabila luka itu dibiarkan, maka akan membuat sipemilik luka itu semakin menderita.
“A... Atar?” Akhirnya Nasya mengeluarkan suara dan menyebutkan nama lelaki itu menambah luka dihatinya. “Ternyata masih ingat juga nama gue ya. Baguslah! Jadi kita nggak perlu berkenalan ulang kan? Atau mau kenalan ulang?” tanya Atar. Tentu saja pertanyaan yang tak perlu jawaban.
“Heeei semua! Ngumpul dan kembali kekelompok masing-masing!” Teriakan seorang senior disertai tepukan tangannya membuat para mahasiswa baru buru-buru mengambil langkah cepat sebelum dibantai oleh senior-senior mereka.
Atar menatap Nasya. “Selamat datang di neraka!” bisik Atar pelan, lalu lelaki itu melangkah pasti menuju kelompoknya. Nasya menghela nafas sembari menenangkan hatinya.
Telah datang seseorang yang tersangkut dengan masa laluku dan apakah ia juga akan membuat masa sekarangku sehancur masa lalu? Nggak! Aku artist dalam cerita hidupku sendiri. Hanya aku yang bisa memilih untuk bahagia ataupun tidak!
Sesulit apa pun kedepannya nanti, aku tetap memilih untuk bahagia!
“Heii kamu pita biru! Kenapa bengong disitu? Kembali kekelompok!” Senior cewek dengan pakain super seksi membentak Nasya, membuat gadis itu terlempar dari lamunannnya.
Buru-buru Nasya berjalan menuju kelompoknya dengan kaki terpincang-pincang. Hal ini tentu saja membuat banyak mata menatapnya. Harus kuat Sya! Balas mereka dengan wujudkan semua impian kamu! Nasya membatin.
*@muthiii*
Fian menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dengan tangan kirinya, sedangkan jari tangan manis dan jari tengahnya mengapit sebatang rokok. Baju putih lelaki berusia dua puluh tahun itu tampak awut-awutan dengan kondisi yang tidak dimasukkan kedalam celana hitamnya. Lelaki itu duduk pada sebuah bangku yang terletak dibawah pohon. Disandarkannya punggungnya pada pohon berdaun lebat itu.
Seharusnya hari ini gue ikutan cosplay! Seharusnya hari ini gue bisa nyabet juara cosplay yang udah lama gue incer, tapi nyatanya? Hancur!
Fian menatap teman-teman barunya yang dengan patuh mengikuti setiap perkataan senior. Bodoh banget mereka! Mau aja diperlakukan kaya binatang. Please deh ini zaman modern. Fian menghembuskan asap rokoknya.
“Heh! Lo! Ngapain disitu?” Seorang senior berkacak pinggang dengan tatapan geram terhadap Fian. Fian menatap senior itu sekilas, lalu seolah tak acuh. Senior berambut botak itu mengeram kesal.
“Woi budek! Dengar nggak sih?!!” Senior berbaju abu-abu itu menghampiri Fian dan mendorong bahunya. Fian menoleh kesal. Dibuangnya sisa rokok kejalan, lalu kemudian berdiri.
“Mau lo apa sih?” tanya Fian dengan nada sinis. Tatapan mata elang cowok itu semakin menajam. Fian benar-benar sangat terganggu dengan kehadiran cowok berkepala botak dihadapannya itu. Cari mati kali ini orang!
Si senior merasa semakin tertantang saat diketahui junior barunya ini melunjak. Senior yang diketahui bernama Aldo itu menggenggam kerah baju Fian dengan erat. “Lo pikir lo siapa disini? Junior aja belagu!”
Dengan kasar Fian melepaskan tangan Aldo dari kerah bajunya, membuat lelaki berkepala botak  itu semakin mengeram kesal. “Bisa sopan nggak sih?!” Aldo kembali membentak sembari mendorong bahu Fian dengan kedua tangannya.
Shit! Cari gara-gara dia sama gue. Fian membatin. Ditariknya kerah baju Aldo dan diberikannya sebuah bogem mentah tepat dipipi lelaki itu. Aldo terhuyung ketanah. Fian semakin bersemangat menghujani bogemnya pada Aldo, walaupun lelaki berkepala botak itu sudah mengerang kesakitan dan meminta ampun.
“Enak? Mau lagi?” tanya Fian setelah puas memukuli wajah Aldo. Fian berdiri seolah menantang. Hawa panas kota Jakarta semakin terasa ditubuh Fian yang tengah terbakar emosi. Wajah Aldo dipenuhi oleh memar-memar biru. Sudut bibir lelaki itu mengeluarkan darah segar. Kepalanya terasa sangat pusing.
“Mau lagi?” Fian mengulang pertanyaan dengan nada yang jauh lebih ketus. Senyum sinis tersungging diwajah gantengnya. “Nggak. Nggak.” Aldo menggeleng sembari menahan nyeri dikepalanya.
Fian tersenyum penuh kemenangan, lalu dilangkahkannya kakinya meninggalkan Aldo yang tengah meringis kesakitan. Sial! Aldo mengumpat didalam hati ditengah menahan kesakitannya.

Siapa sih tu junior. Gue balas lo! Liat aja!
*@muthiii*
“Iya sayang. Ini lagi OSPEK, kamu?” Atar berbicara lewat telpon sembari tangan kiri lelaki itu mengikuti irama tubuhnya. Atar tersenyum, tampak kilatan bahagia diwajah lelaki itu. “Aku juga sayang sama kamu kok. Love you too my hello kitty.”
Memang saat bersama kitty, Atar memakai bahasa halus. Aku-kamu. Begitulah permintaan Kitty. Lagi-lagi lelaki bernama lengkap Atar Saputra itu tersenyum, lalu kemudian mengakhiri percakapan dengan kekasihnya melalui telepon. Atar memasukkan hapenya kesaku celananya.
Suasana kampus mulai sepi. OSPEK dihari pertama ini sudah selesai sejak tiga puluh menit yang lalu. Para mahasiswa-mahasiswa baru lebih memilih untuk secepatnya sampai dikos atau dirumahnya agar bisa beristirahat karna hampir seharian tubuh bahkan emosi mereka terkuras.
Atar berjalan gontai menuju parkiran. Rambutnya yang bergaya spikey membuatnya tampak semakin keren. Pandangan lelaki itu tertuju pada sosok tubuh yang tengah frustasi menatap ban motornya yang kempes.
“Kenapa motornya?” tanya Atar saat dirinya sudah berada didekat sosok tubuh mungil itu. Sosok bertubuh mungil itu mendongak. Matanya memancarkan sinar harapan agar ada orang yang mau menolong motornya, tapi saat didapatinya Atar berdiri dihadapannya, sinar harapan itu memudar. Berganti dengan ketakutan yang jelas kentara dari raut wajahnya.
“Atar? Ngapain disini?”
“Lho? Ini kan kampus gue juga Sya!” Nasya menelan ludah mendengar jawaban Atar yang datar namun tajam. Aduh, kenapa harus ketemu dia lagi sih dalam kondisi kaya gini? Nasya menghela nafas sembari berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya, tapi sia-sia. Ketakutan yang justru dinikmati oleh Atar. Samar lelaki itu tersenyum
Lo ternyata masih Nasya yang dulu. Nasya yang polos dan penakut! Atar membatin.
“Makanya, cewek pincang itu nggak usah sok-sokan bawa motor gitu deh! Kalau kaya gini kan nggak bisa apa-apa jadinya,” kata Atar dengan nada dibuat selembut mungkit, tapi tetep saja menyakitkan bagi Nasya.
Nasya diam sambil memandangi roda motornya. Ditahan air mata yang hendak menetes. Ia sama sekali tak ingin menunjukkan kekalahannya dengan menangis didepan Atar, tapi hatinya benar-benar terasa begitu sakit. Rasa sakit itu sangat menusuk.
“Kenapa nggak jawab? Bisu?” Lagi-lagi Atar memberikan komentar pedasnya. Ya Tuhan, kuatkan aku. Harus kuat Sya! Suatu hari nanti dia yang akan ngemis-ngemis sama kamu Sya! Batin Nasya mencoba menguatkan dirinya sendiri.
“Ngg. Nggak kok. Cuma lagi mikirin cara memperbaiki ban motor ini aja.” Suara Nasya bergetar. Atar mendengus kesal. “Minggir jauh-jauh. Biar gue liat.”
Nasya berdiri dan menjauhi motornya. Ia membiarkan Atar untuk melihat apa yang salah dari motornya. “Kalau kaya gini sih harus dibawa kebengkel. Ya udah lo biar gue antar pulang dulu. Entar gue SMS temen gue yang punya bengkel buat ngejemput dan memperbaiki motor lo.”
Nasya terperangah dengan ucapan Atar. Seperti bukan Atar yang dikenalnya selama ini. Sama sekali Nasya tak tau harus menjawab apa. Nasya benar-benar masih schock dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mau nggak?” Atar mengangetkan lamunan Nasya, membuat gadis itu mendongak menatap Atar yang memang lebih tinggi darinya. “Eng.”
“Ang-eng-ang-eng. Udah pincang, bisu, gagu lagi,” ucap Atar panas. Ni orang niat nolongin nggak sih? Hati aku capek nih. Nasya membatin, lalu menghela nafas pelan entah untuk yang keberapa kalinya.
Atar menatap jam tangan dipergelangan tangan kirinya. “Aduh buruan, mau apa nggak? Udah sore banget ini. Gue ada janji lain,” bentak Atar, walau dengan nada yang dibuatnya selembut mungkin.
Atar kan benci sama aku. Nanti kalau ditengah jalan dia ngapa-ngapain aku gimana? Sebuah bisikan dari salah satu hati Nasya. “Nggak usah mikir macam-macam deh!” ucap Atar seolah mengerti apa yang ada dipikiran Nasya.
“Ya udah deh.” Nasya menyerah. Tak ada pilihan lain. Bisiknya. “Tapi bukan berarti setelah kejadian ini kita baikan ya. Nggak akan. Anggap aja hari ini gue lagi khilaf karna ngelihat tampang lo yang ngenesin itu.” Atar berjalan menuju motornya.
*@muthiii*
Davi menyandarkan tubuhnya pada penyangga kursi. Ditatapnya teman satu bandnya dengan tatapan penuh tanda tanya. “Lo kenapa? Cerita dong! Siapa yang ngelakuin itu semua ke elo?” Davi menatap temannya itu dengan kesal.
“Junior baru di fakultas gue Dav. Gue juga nggak tau namanya. Sumpah itu anak ngelunjak banget. Nggak sopan sama senior.” Aldo akhirnya buka suara setelah meletakkan kompres dari tangannya. Sesekali lelaki itu meringis pelan.
“Lo kalah sama junior?” Davi tertawa meremehkan. “Lo sih nggak tau gimana dia. Kayanya tu anak brandal Dav.” Davi menatap wajah Aldo. Memang ia cukup dekat dengan Aldo walau mereka beda fakultas. Davi di fakultas ilmu komunikasi, sedangkan Aldo Ekonomi.
“Trus rencana lo gimana?”
“Entahlah. Entar gue pikirin. Kepala gue aja udah bonyok gini! Yang pasti gue bakal balas dendam lah. Gue akan buat kehidupan kampusnya kaya neraka!” Davi tertawa mendengar penuturan Aldo.
“Lo sih begok!” ucap Davi sembari meraih aqua gelas dari atas meja.
“Mana gue tau kejadiannya bakal kaya gini.” Aldo menghela nafas. Bayangan wajah Fian muncul dibenaknya. Fuck itu anak!
*@muthiii*
Nasya merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sembari menghela nafas pelan. Bayangan kejadian tadi sore menghantui pikiran gadis itu. Atar. Hmm, ternyata dia baik juga. Apa aku selama ini salah menilainya? Aah, nggak nggak! Baru sekali ditolongin udah beranggapan kaya gitu, kali aja dia Cuma mau cari muka atau nyombongin motor FU hitamnya itu. Batinnya berperang.
“Iih, kenapa jadi mikirin dia sih?” Nasya mengumpat pelan. Gadis itu berdiri, lalu kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Dihidupkannya laptopnya. Oh iya, hari ini kan pengumuman ACC novel. Kenapa baru ingat?
Tiga bulan yang lalu, Nasya memang mengirimkan novel karyanya pada sebuah penerbit mayor. Hari ini gadis itu berharap agar bisa mendapatkan surat cinta ACC dari penerbit. Itu mimpinya. Mimpi agar novel karya-karyanya terpajang di rak-rak toko buku besar.
Dengan gerakan tergesa-gesa, Nasya meraih modemnya. Menyambungkan modem itu dengan laptop pemberian ayah dan almarhumah bundanya. Berkali-kali hati gadis itu berdo’a semoga kabar baik yang didapatnya.
Ya Allah, ini mimpiku sejak dulu. Mimpi yang mudah-mudahan bisa membuat orang lain tidak meremehkanku lagi. Aku capek dipandang remeh terus Ya Allah. Please. Nasya meratap.
Aku mohon Ya Allah. Please. Bantu aku.
“Bismillah.” Nasya membuka gmailnya. Digesek-gesekkannya kedua telapak tangannya tanda gelisah. Lirihan do’a penuh harap terus terucap dari hatinya. Semoga ini awal besar dari mimpiku. Sebuah e-mail dari penerbit terpampang dikotak masuknya. Dibukanya dengan perasaan yang sulit dilukiskan.

Assalamua’laikum wr.wb
Sehubungan dengan naskah yang anda kirimkan tiga bulan yang lalu, maaf belum bisa kami terbitkan dengan berbagai alasan. Terimakasih telah mempercayai kami sebagai partner anda. Tetap semangat berkarya.

            Nasya luruh dari duduknya. Dibacanya sekali lagi surat dari penerbit itu, berharap naskahnya diterima. Tapi tulisan disurat itu tetap saja penolakan. Kecewa? Pasti! Sangat malah.
            Ini penolakan yang ketiga Ya Allah. Jujur aku kecewa banget. Apa aku nggak pantas menjadi seorang penulis? Apakah tulisanku terlalu jelek hingga tak ada yang ingin menerbitkannya? Tetesan bening menetes lembut dikedua pipi gadis mungil itu.
            Nasya menghela nafas pelan. Susah banget sih buat gapai impian itu. Apa aku harus menyerah? Ah, entahlah. Semakin aku berusaha, sepertinya impian itu semakin menjauh. Dan aku lelah.
*@muthiii*
            “Ayo cepat larinya! Kalian udah mahasiswa, bukan siswa lagi. Jangan lelet!” Teriakan senior berkacamata itu menggelegar. Para mahasiswa baru berbaju oranye dengen celana training hitam berlari semakin cepat.
            Nasya berlari dengan terpincang-pincang, tapi tetep saja larinya lambat sehingga membuat mahasiswa lain dibelakangnya juga mengalami keterlambatan. “Aduh buruan dong! Heii pincang cepetan!” Sebuah suara yang tentu saja sangat khas ditelinga Nasya.
            Nasya menoleh kebelakang. Tepat setelah dua orang dibelakangnya, Atar berlari sambil menatap tajam pada dirinya. “Bisa lebih cepat nggak sih?” Lagi-lagi suara Atar dengan nada pelan tapi tetep tajam.
            Gadis itu berusaha mempercepat larinya, tapi tetep saja ketidaksamaan panjang kakinya membuat langkahnya melambat. Temen-temen dibelakangnya sudah mulai mengomel. Mereka ingin mendahului Nasya, tapi peraturan dari senior tetap dibarisan dan tidak boleh saling mendahului. Diujung sana peluit tanda harus segera sampai sudah berbunyi dua kali.
            “Buruan dong. Aduh, bisa dihukum kita nih.” Seru teman-temannya. “Lama ya!” Atar kembali membuka suara. Nasya menarik nafas. Mencoba semakin berusaha mempercepat larinya, tapi tetep saja hasilnya nihil. Peluit ketiga berbunyi, membuat semua para mahasiswa baru yang berada dibelakang Nasya buru-buru mendahului gadis itu.
            Tiba-tiba tubuh Nasya terhuyung dan keseimbangan tubuhnya tidak bisa ia kendalikan. Gadis itu tersungkur ketanah. “Aght.” Nasya menunduk sembari menahan perih dikakinya. Entah kenapa gadis itu ingin sekali menangis. Menangis agar ia bisa merasa lega atas himpitan hidup yang kian membuatnya ingin menyerah.
            Ya Tuhan, rencana apa lagi ini? Mampukah aku untuk kuat? Tetesan bening meluncur dipipinya. Benar-benar tidak bisa ditahan. Nasya sama sekali tidak berani bergerak dari posisinya atau menganggkat kepalanya, ia yakin ratusan mahasiswa tengah menatapnya dengan tatapan yang kadang tidak ia mengerti. Tatapan yang kadang membuatnya benci.
            “Ini semua gara-gara Atar,” ucap Nasya pelan. Sepelan hembusan angin yang mempermainkan rambutnya. Sekarang aku harus gimana? Nasya menghela nafas sembari mengatur ritme nafasnya.
            Sebuah tangan terjulur dihadapan Nasya. Ini pasti Atar. Nasya mendengus kesal. Buru-buru didorongnya tangan itu dengan kasar. “Nggak usah ganggu aku lagi,bentak Nasya masih dalam keadaan menunduk dengan volume suara kecil, tapi tetap terdengar jelas.
            “Oh maaf.” Lelaki itu menarik tangannya. Nasya mendongak. “Kamu?” Nasya menatap cowok dihadapannya itu dengan tatapan kaget.
            “Elo nggak papa?” Davi berjongkok disamping Nasya sembari menatap wajah gadis didepannya itu. “Nangis ya?” tanya Davi lagi. Nasya menyeka sudut matanya dengan tangan kanannya.
            “Nggak ah. Apaan sih.” Gadis itu kembali menunduk. Sama sekali tak berani menatap sorot mata teduh milik Davi. Davi berdiri, lalu meraih tangan Nasya dan membantu gadis itu berdiri. Mau tak mau, Nasya akhirnya berdiri. Wajahnya tetap ia tundukkan karna ia sadar saat ini ia dan Davi menjadi pusat perhatian.
            “Yuk kita pergi.” Davi menyeret lembut tangan Nasya. “Eh tapi aku masih OSPEK,” kata Nasya sedikit merasa keberatan. Ditariknya tangannya dari pegangan tangan Davi.
            “Udah nggak papa. Gue panitia juga kok, entar gue izinin.” Davi kembali meraih tangan Nasya dan mengandeng gadis itu menuju parkiran. Lelaki itu menghela nafas pelan. Ia tau gimana beratnya hidup Nasya saat ini. Davi memang melihat semua kejadian itu dari awal.
            Lo harus kuat Sya! Gue tau kalau lo itu cewek yang kuat. Davi membatin.
*@muthiii*
            Nasya menatap Davi yang duduk disampingnya. “Thanks ya,” ucap Nasya tulus. Davi balas menatap Nasya, lalu lelaki itu tersenyum. Senyum yang mampu menghilangkan akal sehat Nasya untuk beberapa detik. Nasya tersadar, lalu dialihkannya tatapannya pada danau yang membentang dihadapannya.
Memang saat ini mereka sudah berada disebuah danau yang bahkan Nasya sendiri tidak tau nama tempatnya. Davi menatap hamparan danau dihadapannya sembari tersenyum. Entah apa yang ada dipikiran Davi saat ini.
“Sya, lo tadi nggak kenapa-napa kan?”
“Nggak kok. Kecapean aja. Kamu panitia ya? Kok baru ngeliat? Berarti aku harus manggil kamu abang dong?” 
“Abang? Haha. Segitu tuanya gue ya? Nggak lah, kaya gini aja cukup kok.” Davi tertawa, tanpa ia sadari ada seorang cewek disampingnya yang mengagumi tawanya. Nasya meraih kerikil disekitarnya dan melemparkannya kedanau. Sekali, dua kali, hingga berulang-ulang kali. Itu caranya menghilangkan kegugupan yang sempat tercipta.
Davi menatap wajah polos disampingnya. Davi tau dibalik wajah polos itu menyimpan banyak luka yang dapat dilihat dari dalam manik matanya. Luka yang mungkin kalau tidak diobati akan menganga semakin lebar. Semakin lebar dan lebar hingga membuat gadis itu merasakan sakit yang sangat.
Lo nggak pernah bisa nyempunyiin luka itu dari gue Nasya!
“Dav, kalau sesuatu yang kamu inginkan tidak kamu dapatkan, apakah kamu bakal ngerasa sedih?” tanya Nasya. Gadis itu jadi keingat naskah novelnya yang ditolak yang membuatnya lagi-lagi merasakan rasa kecewa, ditambah kejadian saat OSPEK tadi yang mau tidak mau menyita perasaannya.
“Ya pasti gue sedih sih, tapi gue nggak akan berlarut lama-lama dalam kesedihan itu. Gue bakal bangkit buat ngedapetin apa yang gue inginkan. Kenapa?” Davi mencoba mengorek maksud dari pertanyaan gadis itu.
“Tapi jika kamu udah berusaha sekuat yang kamu bisa untuk ngewujutin apa yang kamu inginkan itu dan lagi-lagi gagal, apa kamu akan menyerah?” Bukannya menjawab pertanyaan Davi, Nasya malah kembali melempar tanya.
Davi menghela nafas sembari menatap tepat dimanik mata Nasya. Cowok itu mencoba mencari jawaban didalam mata bening cewek disampingnya. Davi meraih sebuah batu berukuran sedang disampingnya dan menunjukkan batu itu dihadapan Nasya. “Sya, batu ini keras kan?”
Kening Nasya berkerut. Sama sekali tak mengerti maksud dan arah pertanyaan Davi. Nasya mengangguk. “Tentu saja keras,” jawabnya dengan tatapan tak mengerti. “Percaya nggak kalau batu ini bisa mengikis bahkan hancur disebabkan oleh air?”
“Ya nggak mungkinlah.” Nasya tertawa mendengar pertanyaan Davi yang menurutnya tidak masuk akal. “Kenapa nggak mungkin? Ya mungkin aja dong Sya,” jawab Davi dengan memasang mimik wajah serius.
“Maksudnya?” Nasya menoleh menatap Davi. Menatap keseriusan diwajah lelaki itu membuat Nasya enggan berkomentar terlalu panjang.
“Batu ini tentu saja akan mengikis bahkan hancur jika terus-terusan dihujani dengan air. Mungkin sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali tetesan sekalipun tidak akan memberi efek mengikis pada batu ini, tapi jika beribu-ribu kali, percayalah batu ini akan mengikis dan hancur.”
Nasya memandang Davi masih dengan tatapan tak mengertinya. “Trus hubungannya dengan pertanyaan aku tadi apa?” Kini balik Davi yang tertawa. “Tentu aja berhubungan. Misalkan batu ini adalah impian lo  dan tetesan air itu adalah usaha-usaha lo.”
Davi menarik nafas, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Kalau usaha-usaha lo untuk naklukin impian cuma sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali udah gagal dan lo nyerah, pasti deh impian lo itu nggak bakal bisa kewujud sampai kapan pun. Lo ngerti maksud gue kan?”
Nasya mencoba mencerna semua yang disampaikan Davi, lalu kemudian gadis itu mengangguk. “Tapi Dav, apa aku harus melakukan usaha ribuan kali dulu baru impian aku bakal kewujud? Keburu tua dong. Banyak orang yang aku lihat sekali berusaha sudah dengan mudahnya mendapatkan impiannya.”
“Ya nggak gitu juga sih Sya. Itu kan hanya perumpamaan. Setidaknya dari perumpamaan itu, lo bisa ngambil kesimpulan bahwa kalau lo gagal, lo harus bisa bangkit lagi. Thomas Alfa Edison aja gagal udah banyak banget kan, tapi dia nyerah nggak? Nggak kan? Nah lo juga harus kaya gitu,” terang Davi panjang lebar.
“Yang penting itu proses Sya. Tuhan tau apa yang terbaik buat kita,” lanjut Davi.
Nasya mangut-mangut mengerti. “Kamu benar. Thanks banget Dav.” Nasya mengucapkan terimakasih dari lubuk hatinya yang paling dalam. Walau bagaimana pun bagi Nasya, Davi adalah cowok pertama yang sangat baik kepada dirinya.
Disaat cowok-cowok lain menjauhinya karna keterbatasan fisiknya, cuma Davi yang open bahkan memberi support disaat ia kaya gini. Disaat cowok-cowok lain bahkan tak pernah anggap dia ada didunia ini, hanya Davi orang yang baru dikenalnya ini yang mau stay disampingnya.
Memang mereka baru kenal, tapi bagi Nasya, ia seakan sudah mengenal Davi sejak lama. Dan Nasya mempercayai Davi. Terlalu cepat mungkin, tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa Nasya merasa nyaman bersama Davi. Begitupun sebaliknya.
“Makasih.” Lagi-lagi untuk kedua kalinya Nasya mengucapkan terimakasih. “Lo udah ngucapin makasih dua kali tau.” Davi mengingatkan sembari tergelak. Fokus mata lelaki itu tertuju pada riak ditengah danau.
Nasya tertawa mendengar jawaban Davi. Ya ampun, ini cowok perfect banget deh! Batin Nasya sembari mengikuti arah pandangan Davi. “Oh iya Dav, buku motivasi bersampul coklat itu besok aku balikin ya?”
“Nyantai aja. Itu buat lo kok.” Davi tersenyum hangat. “Eh balik yuk? Udah sorean ini.” Nasya berdiri dari duduknya. “Oke. Sya, minta nomor HP lo dong.” Davi meraih hp-nya dari saku celananya. Diulurkannya hp itu dihadapan Nasya.
 Davi benar-benar tak ingin kehilangan jejak gadis ini lagi. Ini pertemuan ketiga mereka, berarti mereka benar-benar ditakdirkan untuk saling mengenal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar