“Tak peduli
berapa kali kamu gagal, yang harus dipeduliin berapa kali kamu bisa bangkit
diatas kegagalan itu.”
Nasya
menghembuskan nafas pelan. Panas matahari kota Jakarta semakin menampakkan
sinarnya. Gadis itu menatap jam dipergelangan tangan kirinya sembari mendesah
pelan. Masih ada lima belas menit waktu
istirahat lagi. Bisiknya.
Nasya
mengedarkan pandangan kesekeliling. Teman-teman barunya tengah asik menyantap
makan siangnya sembari saling menyapa dan berkenalan ria, tapi tidak bagi
dirinya.
Ia
masih duduk sendiri diujung lapangan dengan rok hitam panjang sebatas mata kaki
yang dipadukan baju putih kebesaran. Rambut gadis itu diikat dengan pita biru
muda. Memang saat ini ia tengah menjalani OSPEK. Tradisi tahunan yang
menurutnya tak jelas tujuannya apa.
“Nasya?”
Sebuah suara cowok yang agak nge-bass menyebut namanya. Nasya menatap sumber
suara, lalu kemudian tertegun saat mendapati seseorang yang dikenalnya tengah
berdiri gagah dihadapannya.
Bibir
gadis itu kelu, bahkan hanya untuk mengucapkan nama cowok dihadapannya ini.
Suasana hiruk pikuk tidak membuat Nasya berpaling dari keterkejutannya. “Oh
jadi lo kuliah disini juga?” Suara tajam itu seakan menohoknya.
Nasya
menunduk. Entah kenapa rasa sakit itu kembali bermukim dihatinya,
melemparkannya pada masa lalu yang benar-benar ingin dilupakannya. Cowok
dihadapannya itu membuat bayangan masa lalunya kembali muncul. Dan saat ini
juga, Nasya rasanya ingin sekali melenyapkan cowok itu dari bumi.
“Kok
nggak jawab? Udah pincang, bisu lagi ya?” Cowok itu tersenyum sinis seakan
mendapat mainan baru, tanpa ia sadari kata-katanya itu seperti pisau yang telah
menusuk tepat diulu hati Nasya.
Membuat
luka gadis itu semakin menganga lebar. Dan apabila luka itu dibiarkan, maka
akan membuat sipemilik luka itu semakin menderita.
“A...
Atar?” Akhirnya Nasya mengeluarkan suara dan menyebutkan nama lelaki itu
menambah luka dihatinya. “Ternyata masih ingat juga nama gue ya. Baguslah! Jadi
kita nggak perlu berkenalan ulang kan? Atau mau kenalan ulang?” tanya Atar. Tentu saja pertanyaan
yang tak perlu jawaban.
“Heeei
semua! Ngumpul dan kembali kekelompok masing-masing!” Teriakan seorang senior
disertai tepukan tangannya membuat para mahasiswa baru buru-buru mengambil
langkah cepat sebelum dibantai oleh senior-senior mereka.
Atar
menatap Nasya. “Selamat datang di neraka!” bisik Atar pelan, lalu lelaki itu
melangkah pasti menuju kelompoknya. Nasya menghela nafas sembari menenangkan
hatinya.
Telah datang seseorang
yang tersangkut dengan masa laluku dan apakah ia juga akan membuat masa
sekarangku sehancur masa lalu?
Nggak! Aku artist dalam cerita hidupku sendiri. Hanya aku yang bisa memilih
untuk bahagia ataupun tidak!
Sesulit apa pun
kedepannya nanti, aku tetap
memilih untuk bahagia!
“Heii
kamu pita biru! Kenapa bengong disitu? Kembali kekelompok!” Senior cewek dengan
pakain super seksi membentak Nasya, membuat gadis itu terlempar dari
lamunannnya.
Buru-buru
Nasya berjalan menuju kelompoknya dengan kaki terpincang-pincang. Hal ini tentu
saja membuat banyak mata menatapnya. Harus
kuat Sya! Balas mereka dengan wujudkan semua impian kamu! Nasya membatin.
*@muthiii*
Fian
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dengan tangan kirinya, sedangkan jari
tangan manis dan jari tengahnya mengapit sebatang rokok. Baju putih lelaki
berusia dua puluh tahun itu tampak awut-awutan dengan kondisi yang tidak
dimasukkan kedalam celana hitamnya. Lelaki itu duduk pada sebuah bangku yang
terletak dibawah pohon. Disandarkannya punggungnya pada pohon berdaun lebat
itu.
Seharusnya hari ini gue
ikutan cosplay! Seharusnya hari ini gue bisa nyabet juara cosplay yang udah
lama gue incer, tapi nyatanya? Hancur!
Fian
menatap teman-teman barunya yang dengan patuh mengikuti setiap perkataan
senior. Bodoh banget mereka! Mau aja
diperlakukan kaya binatang. Please deh ini zaman modern. Fian menghembuskan
asap rokoknya.
“Heh!
Lo! Ngapain disitu?” Seorang senior berkacak pinggang dengan tatapan geram terhadap Fian.
Fian menatap senior itu sekilas, lalu seolah tak acuh. Senior berambut botak
itu mengeram kesal.
“Woi
budek! Dengar nggak sih?!!” Senior berbaju abu-abu itu menghampiri Fian dan
mendorong bahunya. Fian menoleh kesal. Dibuangnya sisa rokok kejalan, lalu
kemudian berdiri.
“Mau
lo apa sih?” tanya Fian dengan nada sinis. Tatapan mata elang cowok itu semakin
menajam. Fian benar-benar sangat terganggu dengan kehadiran cowok berkepala
botak dihadapannya itu. Cari mati kali
ini orang!
Si
senior merasa semakin tertantang saat diketahui junior barunya ini melunjak.
Senior yang diketahui bernama Aldo itu menggenggam kerah baju Fian dengan erat.
“Lo pikir lo siapa disini? Junior aja belagu!”
Dengan
kasar Fian melepaskan tangan Aldo dari kerah bajunya, membuat lelaki berkepala
botak itu semakin mengeram kesal. “Bisa
sopan nggak sih?!” Aldo kembali membentak sembari mendorong bahu Fian dengan
kedua tangannya.
Shit! Cari gara-gara
dia sama gue. Fian membatin. Ditariknya kerah baju
Aldo dan diberikannya sebuah bogem mentah tepat dipipi lelaki itu. Aldo
terhuyung ketanah. Fian semakin bersemangat menghujani bogemnya pada Aldo,
walaupun lelaki berkepala botak itu sudah mengerang kesakitan dan meminta
ampun.
“Enak?
Mau lagi?” tanya Fian setelah puas memukuli wajah Aldo. Fian berdiri seolah
menantang. Hawa panas kota Jakarta semakin terasa ditubuh Fian yang tengah
terbakar emosi. Wajah Aldo dipenuhi oleh memar-memar biru. Sudut bibir lelaki
itu mengeluarkan darah segar. Kepalanya terasa sangat pusing.
“Mau
lagi?” Fian mengulang pertanyaan dengan nada yang jauh lebih ketus. Senyum sinis
tersungging diwajah gantengnya. “Nggak. Nggak.” Aldo menggeleng sembari menahan
nyeri dikepalanya.
Fian
tersenyum penuh kemenangan, lalu dilangkahkannya kakinya meninggalkan Aldo yang
tengah meringis kesakitan. Sial! Aldo
mengumpat didalam hati ditengah menahan kesakitannya.
Siapa sih tu junior.
Gue balas lo! Liat aja!
*@muthiii*
“Iya
sayang. Ini lagi OSPEK, kamu?” Atar berbicara lewat telpon sembari tangan kiri
lelaki itu mengikuti irama tubuhnya. Atar tersenyum, tampak kilatan bahagia
diwajah lelaki itu. “Aku juga sayang sama kamu kok. Love you too my hello
kitty.”
Memang
saat bersama kitty, Atar memakai bahasa halus. Aku-kamu. Begitulah permintaan
Kitty. Lagi-lagi lelaki bernama lengkap Atar Saputra itu tersenyum, lalu
kemudian mengakhiri percakapan dengan kekasihnya melalui telepon. Atar
memasukkan hapenya kesaku celananya.
Suasana
kampus mulai sepi. OSPEK dihari pertama ini sudah selesai sejak tiga puluh
menit yang lalu. Para mahasiswa-mahasiswa baru lebih memilih untuk secepatnya
sampai dikos atau dirumahnya agar bisa beristirahat karna hampir seharian tubuh
bahkan emosi mereka terkuras.
Atar
berjalan gontai menuju parkiran. Rambutnya yang bergaya spikey membuatnya
tampak semakin keren. Pandangan lelaki itu tertuju pada sosok tubuh yang tengah
frustasi menatap ban motornya yang kempes.
“Kenapa
motornya?” tanya Atar saat dirinya sudah berada didekat sosok tubuh mungil itu.
Sosok bertubuh mungil itu mendongak. Matanya memancarkan sinar harapan agar ada
orang yang mau menolong motornya, tapi saat didapatinya Atar berdiri
dihadapannya, sinar harapan itu memudar. Berganti dengan ketakutan yang jelas
kentara dari raut wajahnya.
“Atar?
Ngapain disini?”
“Lho?
Ini kan kampus gue juga Sya!” Nasya menelan ludah mendengar jawaban Atar yang
datar namun tajam. Aduh, kenapa harus
ketemu dia lagi sih dalam kondisi kaya gini? Nasya menghela nafas sembari
berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya, tapi sia-sia. Ketakutan yang
justru dinikmati oleh Atar. Samar lelaki itu tersenyum
Lo ternyata masih Nasya
yang dulu. Nasya yang polos dan penakut! Atar membatin.
“Makanya,
cewek pincang itu nggak usah sok-sokan bawa motor gitu deh! Kalau kaya gini kan
nggak bisa apa-apa jadinya,”
kata
Atar dengan nada dibuat selembut mungkit, tapi tetep saja menyakitkan bagi
Nasya.
Nasya
diam sambil memandangi roda motornya. Ditahan air mata yang hendak menetes. Ia
sama sekali tak ingin menunjukkan kekalahannya dengan menangis didepan Atar,
tapi hatinya benar-benar terasa begitu sakit. Rasa sakit itu sangat menusuk.
“Kenapa
nggak jawab? Bisu?” Lagi-lagi Atar memberikan komentar pedasnya. Ya Tuhan, kuatkan aku. Harus kuat Sya! Suatu
hari nanti dia yang akan ngemis-ngemis sama kamu Sya! Batin Nasya mencoba
menguatkan dirinya sendiri.
“Ngg.
Nggak kok. Cuma lagi mikirin cara memperbaiki ban motor ini aja.” Suara Nasya
bergetar. Atar mendengus kesal. “Minggir jauh-jauh. Biar gue liat.”
Nasya
berdiri dan menjauhi motornya. Ia membiarkan Atar untuk melihat apa yang salah
dari motornya. “Kalau kaya gini sih harus dibawa kebengkel. Ya udah lo biar gue
antar pulang dulu. Entar gue SMS temen gue yang punya bengkel buat ngejemput
dan memperbaiki motor lo.”
Nasya
terperangah dengan ucapan Atar. Seperti bukan Atar yang dikenalnya selama ini.
Sama sekali Nasya tak tau harus menjawab apa. Nasya benar-benar masih schock
dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mau
nggak?” Atar mengangetkan lamunan Nasya, membuat gadis itu mendongak menatap
Atar yang memang lebih tinggi darinya. “Eng.”
“Ang-eng-ang-eng.
Udah pincang, bisu, gagu lagi,” ucap Atar panas. Ni orang niat nolongin nggak sih? Hati aku capek nih. Nasya
membatin, lalu menghela nafas pelan entah untuk yang keberapa kalinya.
Atar
menatap jam tangan dipergelangan tangan kirinya. “Aduh buruan, mau apa nggak?
Udah sore banget ini. Gue ada janji lain,” bentak Atar, walau dengan nada yang
dibuatnya selembut mungkin.
Atar kan benci sama
aku. Nanti kalau ditengah jalan dia ngapa-ngapain aku gimana? Sebuah
bisikan dari salah satu hati Nasya. “Nggak usah mikir macam-macam deh!” ucap Atar seolah mengerti apa yang
ada dipikiran Nasya.
“Ya
udah deh.” Nasya menyerah. Tak ada
pilihan lain. Bisiknya. “Tapi bukan berarti setelah kejadian ini kita
baikan ya. Nggak akan. Anggap aja hari ini gue lagi khilaf karna ngelihat
tampang lo yang ngenesin itu.” Atar berjalan menuju motornya.
*@muthiii*
Davi
menyandarkan tubuhnya pada penyangga kursi. Ditatapnya teman satu bandnya
dengan tatapan penuh tanda tanya. “Lo kenapa? Cerita dong! Siapa yang ngelakuin
itu semua ke elo?” Davi menatap temannya itu dengan kesal.
“Junior
baru di fakultas gue Dav. Gue juga nggak tau namanya. Sumpah itu anak ngelunjak
banget. Nggak sopan sama senior.” Aldo akhirnya buka suara setelah meletakkan
kompres dari tangannya. Sesekali lelaki itu meringis pelan.
“Lo
kalah sama junior?” Davi tertawa meremehkan. “Lo sih nggak tau gimana dia.
Kayanya tu anak brandal Dav.” Davi menatap wajah Aldo. Memang ia cukup dekat
dengan Aldo walau mereka beda fakultas. Davi di fakultas ilmu komunikasi,
sedangkan Aldo Ekonomi.
“Trus
rencana lo gimana?”
“Entahlah.
Entar gue pikirin. Kepala gue aja udah bonyok gini! Yang pasti gue bakal balas
dendam lah. Gue akan buat kehidupan kampusnya kaya neraka!” Davi tertawa
mendengar penuturan Aldo.
“Lo
sih begok!” ucap Davi sembari meraih aqua gelas dari atas meja.
“Mana
gue tau kejadiannya bakal kaya gini.” Aldo menghela nafas. Bayangan wajah Fian
muncul dibenaknya. Fuck itu anak!
*@muthiii*
Nasya
merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sembari menghela nafas pelan. Bayangan
kejadian tadi sore menghantui pikiran gadis itu. Atar. Hmm, ternyata dia baik juga. Apa aku selama ini salah menilainya?
Aah, nggak nggak! Baru sekali ditolongin udah beranggapan kaya gitu, kali aja
dia Cuma mau cari muka atau nyombongin motor FU hitamnya itu. Batinnya
berperang.
“Iih,
kenapa jadi mikirin dia sih?” Nasya mengumpat pelan. Gadis itu berdiri, lalu
kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Dihidupkannya laptopnya. Oh iya, hari ini kan pengumuman ACC novel.
Kenapa baru ingat?
Tiga
bulan yang lalu, Nasya memang mengirimkan novel karyanya pada sebuah penerbit
mayor. Hari ini gadis itu berharap agar bisa mendapatkan surat cinta ACC dari penerbit. Itu mimpinya. Mimpi
agar novel karya-karyanya terpajang di rak-rak toko buku besar.
Dengan
gerakan tergesa-gesa, Nasya meraih modemnya. Menyambungkan modem itu dengan
laptop pemberian ayah dan almarhumah bundanya. Berkali-kali hati gadis itu
berdo’a semoga kabar baik yang didapatnya.
Ya Allah, ini mimpiku
sejak dulu. Mimpi yang mudah-mudahan bisa membuat orang lain tidak meremehkanku
lagi. Aku capek dipandang remeh terus Ya Allah. Please. Nasya
meratap.
Aku mohon Ya Allah.
Please. Bantu aku.
“Bismillah.”
Nasya membuka gmailnya. Digesek-gesekkannya kedua telapak tangannya tanda
gelisah. Lirihan do’a penuh harap terus terucap dari hatinya. Semoga ini awal besar dari mimpiku. Sebuah
e-mail dari penerbit terpampang dikotak masuknya. Dibukanya dengan perasaan
yang sulit dilukiskan.
Assalamua’laikum
wr.wb
Sehubungan
dengan naskah yang anda kirimkan tiga bulan yang lalu, maaf belum bisa kami
terbitkan dengan berbagai alasan. Terimakasih telah mempercayai kami sebagai
partner anda. Tetap semangat berkarya.
Nasya luruh dari duduknya. Dibacanya
sekali lagi surat dari penerbit itu, berharap naskahnya diterima. Tapi tulisan
disurat itu tetap saja penolakan. Kecewa? Pasti! Sangat malah.
Ini
penolakan yang ketiga Ya Allah. Jujur aku kecewa banget. Apa aku nggak pantas
menjadi seorang penulis? Apakah tulisanku terlalu jelek hingga tak ada yang
ingin menerbitkannya? Tetesan bening menetes lembut dikedua pipi gadis
mungil itu.
Nasya menghela nafas pelan. Susah banget sih buat gapai impian
itu. Apa aku harus menyerah? Ah, entahlah. Semakin aku berusaha, sepertinya
impian itu semakin menjauh. Dan aku lelah.
*@muthiii*
“Ayo cepat larinya! Kalian udah
mahasiswa, bukan siswa lagi. Jangan lelet!” Teriakan senior berkacamata itu
menggelegar. Para mahasiswa baru berbaju oranye dengen celana training hitam
berlari semakin cepat.
Nasya berlari dengan
terpincang-pincang, tapi tetep saja larinya lambat sehingga membuat mahasiswa
lain dibelakangnya juga mengalami keterlambatan. “Aduh buruan dong! Heii
pincang cepetan!” Sebuah suara yang tentu saja sangat khas ditelinga Nasya.
Nasya menoleh kebelakang. Tepat
setelah dua orang dibelakangnya, Atar berlari sambil menatap tajam pada
dirinya. “Bisa lebih cepat nggak sih?” Lagi-lagi suara Atar dengan nada pelan
tapi tetep tajam.
Gadis itu berusaha mempercepat
larinya, tapi tetep saja ketidaksamaan panjang kakinya membuat langkahnya melambat. Temen-temen dibelakangnya
sudah mulai mengomel. Mereka ingin mendahului Nasya, tapi peraturan dari senior
tetap dibarisan dan tidak boleh saling mendahului. Diujung sana peluit tanda
harus segera sampai sudah berbunyi dua kali.
“Buruan dong. Aduh, bisa dihukum
kita nih.” Seru teman-temannya. “Lama ya!” Atar kembali membuka suara. Nasya
menarik nafas. Mencoba semakin berusaha mempercepat larinya, tapi tetep saja
hasilnya nihil. Peluit ketiga berbunyi, membuat semua para mahasiswa baru yang
berada dibelakang Nasya buru-buru mendahului gadis itu.
Tiba-tiba tubuh Nasya terhuyung dan
keseimbangan tubuhnya tidak bisa ia kendalikan. Gadis itu tersungkur ketanah.
“Aght.” Nasya menunduk sembari menahan perih dikakinya. Entah kenapa gadis itu
ingin sekali menangis. Menangis agar ia bisa merasa lega atas himpitan hidup
yang kian membuatnya ingin menyerah.
Ya
Tuhan, rencana apa lagi ini? Mampukah aku untuk kuat? Tetesan bening
meluncur dipipinya. Benar-benar tidak bisa ditahan. Nasya sama sekali tidak
berani bergerak dari posisinya atau menganggkat kepalanya, ia yakin ratusan
mahasiswa tengah menatapnya dengan tatapan yang kadang tidak ia mengerti.
Tatapan yang kadang membuatnya benci.
“Ini semua gara-gara Atar,” ucap Nasya pelan. Sepelan hembusan
angin yang mempermainkan rambutnya. Sekarang
aku harus gimana? Nasya menghela nafas sembari mengatur ritme nafasnya.
Sebuah tangan terjulur dihadapan
Nasya. Ini pasti Atar. Nasya
mendengus kesal. Buru-buru didorongnya tangan itu dengan kasar. “Nggak usah
ganggu aku lagi,”
bentak
Nasya masih dalam keadaan menunduk dengan volume suara kecil, tapi tetap
terdengar jelas.
“Oh maaf.” Lelaki itu menarik
tangannya. Nasya mendongak. “Kamu?” Nasya menatap cowok dihadapannya itu dengan
tatapan kaget.
“Elo nggak papa?” Davi berjongkok
disamping Nasya sembari menatap wajah gadis didepannya itu. “Nangis ya?” tanya
Davi lagi. Nasya menyeka sudut matanya dengan tangan kanannya.
“Nggak ah. Apaan sih.” Gadis itu
kembali menunduk. Sama sekali tak berani menatap sorot mata teduh milik Davi.
Davi berdiri, lalu meraih tangan Nasya dan membantu gadis itu berdiri. Mau tak
mau, Nasya akhirnya berdiri. Wajahnya tetap ia tundukkan karna ia sadar saat
ini ia dan Davi menjadi pusat perhatian.
“Yuk kita pergi.” Davi menyeret
lembut tangan Nasya. “Eh tapi aku masih OSPEK,” kata Nasya sedikit merasa keberatan.
Ditariknya tangannya dari pegangan tangan Davi.
“Udah nggak papa. Gue panitia juga
kok, entar
gue izinin.” Davi kembali meraih tangan Nasya dan mengandeng gadis itu menuju
parkiran. Lelaki itu menghela nafas pelan. Ia tau gimana beratnya hidup Nasya
saat ini. Davi memang melihat semua kejadian itu dari awal.
Lo
harus kuat Sya! Gue tau kalau lo itu cewek yang kuat. Davi membatin.
*@muthiii*
Nasya menatap Davi yang duduk
disampingnya. “Thanks ya,”
ucap
Nasya tulus. Davi balas menatap Nasya, lalu lelaki itu tersenyum. Senyum yang
mampu menghilangkan akal sehat Nasya untuk beberapa detik. Nasya tersadar, lalu
dialihkannya tatapannya pada danau yang membentang dihadapannya.
Memang
saat ini mereka sudah berada disebuah danau yang bahkan Nasya sendiri tidak tau
nama tempatnya. Davi menatap hamparan danau dihadapannya sembari tersenyum.
Entah apa yang ada dipikiran
Davi saat ini.
“Sya, lo tadi nggak kenapa-napa kan?”
“Nggak
kok. Kecapean aja. Kamu panitia ya? Kok baru ngeliat? Berarti aku harus manggil
kamu abang dong?”
“Abang?
Haha. Segitu tuanya gue ya? Nggak lah, kaya gini aja cukup kok.” Davi tertawa,
tanpa ia sadari ada seorang cewek disampingnya yang mengagumi tawanya. Nasya
meraih kerikil disekitarnya dan melemparkannya kedanau. Sekali, dua kali,
hingga berulang-ulang kali. Itu caranya menghilangkan kegugupan yang sempat
tercipta.
Davi
menatap wajah polos disampingnya. Davi tau dibalik wajah polos itu menyimpan
banyak luka yang dapat dilihat dari dalam manik matanya. Luka yang mungkin
kalau tidak diobati akan menganga semakin lebar. Semakin lebar dan lebar hingga
membuat gadis itu merasakan sakit yang sangat.
Lo nggak pernah bisa
nyempunyiin luka itu dari gue Nasya!
“Dav,
kalau sesuatu yang kamu inginkan tidak kamu dapatkan, apakah kamu bakal ngerasa
sedih?” tanya Nasya. Gadis itu jadi keingat naskah novelnya yang ditolak yang
membuatnya lagi-lagi merasakan rasa kecewa, ditambah kejadian saat OSPEK tadi
yang mau tidak mau menyita perasaannya.
“Ya
pasti gue sedih sih, tapi gue nggak akan berlarut lama-lama dalam kesedihan
itu. Gue bakal bangkit buat ngedapetin apa yang gue inginkan. Kenapa?” Davi
mencoba mengorek maksud dari pertanyaan gadis itu.
“Tapi
jika kamu udah berusaha sekuat yang kamu bisa untuk ngewujutin apa yang kamu
inginkan itu dan lagi-lagi gagal, apa kamu akan menyerah?” Bukannya menjawab
pertanyaan Davi, Nasya malah kembali melempar tanya.
Davi
menghela nafas sembari menatap tepat dimanik mata Nasya. Cowok itu mencoba
mencari jawaban didalam mata bening cewek disampingnya. Davi meraih sebuah batu
berukuran sedang disampingnya dan menunjukkan batu itu dihadapan Nasya. “Sya,
batu ini keras kan?”
Kening
Nasya berkerut. Sama sekali tak mengerti maksud dan arah pertanyaan Davi. Nasya
mengangguk. “Tentu saja keras,”
jawabnya
dengan tatapan tak mengerti. “Percaya nggak kalau batu ini bisa mengikis bahkan
hancur disebabkan oleh air?”
“Ya
nggak mungkinlah.” Nasya tertawa mendengar pertanyaan Davi yang menurutnya
tidak masuk akal. “Kenapa nggak mungkin? Ya mungkin aja dong Sya,” jawab Davi dengan memasang mimik
wajah serius.
“Maksudnya?”
Nasya menoleh menatap Davi. Menatap keseriusan diwajah lelaki itu membuat Nasya
enggan berkomentar terlalu panjang.
“Batu
ini tentu saja akan mengikis bahkan hancur jika terus-terusan dihujani dengan
air. Mungkin sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali tetesan sekalipun tidak
akan memberi efek mengikis pada batu ini, tapi jika beribu-ribu kali,
percayalah batu ini akan mengikis dan hancur.”
Nasya
memandang Davi masih dengan tatapan tak mengertinya. “Trus hubungannya dengan
pertanyaan aku tadi apa?” Kini balik Davi yang tertawa. “Tentu aja berhubungan.
Misalkan batu ini adalah impian lo dan
tetesan air itu adalah usaha-usaha lo.”
Davi
menarik nafas, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Kalau usaha-usaha lo untuk
naklukin impian cuma
sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali udah gagal dan lo nyerah, pasti deh
impian lo itu nggak bakal bisa kewujud sampai kapan pun. Lo ngerti maksud gue
kan?”
Nasya
mencoba mencerna semua yang disampaikan Davi, lalu kemudian gadis itu
mengangguk. “Tapi Dav, apa aku harus melakukan usaha ribuan kali dulu baru
impian aku bakal kewujud? Keburu tua dong. Banyak orang yang aku lihat sekali
berusaha sudah dengan mudahnya mendapatkan impiannya.”
“Ya
nggak gitu juga sih Sya. Itu kan hanya perumpamaan. Setidaknya dari perumpamaan
itu, lo bisa ngambil kesimpulan bahwa kalau lo gagal, lo harus bisa bangkit
lagi. Thomas Alfa Edison aja gagal udah banyak banget kan, tapi dia nyerah
nggak? Nggak kan? Nah lo juga harus kaya gitu,” terang Davi panjang lebar.
“Yang
penting itu proses Sya. Tuhan tau apa yang terbaik buat kita,” lanjut Davi.
Nasya
mangut-mangut mengerti. “Kamu benar. Thanks banget Dav.” Nasya mengucapkan
terimakasih dari lubuk hatinya yang paling dalam. Walau bagaimana pun bagi
Nasya, Davi adalah cowok pertama yang sangat baik kepada dirinya.
Disaat
cowok-cowok lain menjauhinya karna keterbatasan fisiknya, cuma Davi yang open bahkan memberi
support disaat ia kaya gini. Disaat cowok-cowok lain bahkan tak pernah anggap
dia ada didunia ini, hanya Davi orang yang baru dikenalnya ini yang mau stay
disampingnya.
Memang
mereka baru kenal, tapi bagi Nasya, ia seakan sudah mengenal Davi sejak lama.
Dan Nasya mempercayai Davi. Terlalu cepat mungkin, tapi itulah kenyataannya.
Kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa Nasya merasa nyaman bersama Davi.
Begitupun sebaliknya.
“Makasih.”
Lagi-lagi untuk kedua kalinya Nasya mengucapkan terimakasih. “Lo udah ngucapin
makasih dua kali tau.” Davi mengingatkan sembari tergelak. Fokus mata lelaki
itu tertuju pada riak ditengah danau.
Nasya
tertawa mendengar jawaban Davi. Ya ampun,
ini cowok perfect banget deh! Batin Nasya sembari mengikuti arah pandangan
Davi. “Oh iya Dav, buku motivasi bersampul coklat itu besok aku balikin ya?”
“Nyantai
aja. Itu buat lo kok.” Davi tersenyum hangat. “Eh balik yuk? Udah sorean ini.”
Nasya berdiri dari duduknya. “Oke. Sya, minta nomor HP lo dong.” Davi meraih
hp-nya dari saku celananya. Diulurkannya hp itu dihadapan Nasya.
Davi benar-benar tak ingin kehilangan jejak
gadis ini lagi. Ini pertemuan ketiga mereka, berarti mereka benar-benar
ditakdirkan untuk saling mengenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar