Selasa, 20 Maret 2018

Nasya #8



Selalu ada jalan menuju roma. Jika satu jalan tertutup dihadapan lo, percayalah masih ada jalan lain yang terbuka. Keep spirit! –DaviGantengSedunia

            Nasya tersenyum menatap SMS yang masuk ke ponselnya. Dari Davi. Ah, tu cowok! Gadis itu meraih buku bersampul coklat yang diberikan Davi saat pertemuan mereka yang kedua. Lagi-lagi Nasya menyungging senyum manisnya. Menciptakan senyum pipit diwajahnya.
            “Sya.” Andi sudah berdiri diambang pintu kamar Nasya sembari menatap sang putri dengan tatapan aneh. “Eh ayah? Kenapa?” Nasya meletakkan buku motivasi diatas meja dan berjalan menghampiri ayahnya.
            “Kamu ngapain senyum-senyum tadi? Hayo! Cerita dong sama ayah.” Pipi Nasya bersemu merah, tentu saja hal itu diketahui oleh Andi. “Ah apaan sih Yah. Nggak ada apa-apa kok.” Nasya menunduk. Mencoba menyembunyikan wajahnya dari tatapan selidik Andi.
            Nasya bukannya tak percaya dengan Andi untuk menceritakan semua yang ia alami, hanya saja bagi Nasya itu belum terlalu penting.  “Bener? Dari tadi ayah panggilin kok nggak nyahut?”
            “Eng. Nggak kok Yah. Lagi mikirin persiapan buat ngampus aja.” Nasya berbohong dengan berat hati. Ya Allah maafkan hamba. Batin Nasya. “Ooh gitu. Iya deh. Ayah cuma mau ngasih tau kalau bulan ini Lina nggak bisa pulang. Katanya banyak tugas di pesantrennya.”
            “Padahal kangen banget sama Lina. Iya deh Yah gak papa.”  Nasya tersenyum. Andi memperhatikan wajah anak gadis pertamanya itu, ada yang berbeda disana. Belum pernah dilihatnya gadisnya sebahagia ini.
            Andi tersenyum menatap Nasya. Apa pun kebahagiaan kamu itu, Ayah pasti ikut senang. Ayah Cuma minta kamu jaga diri baik-baik. Batin Andi sembari mengelus lembut kepala Nasya. “Ya udah kamu lanjutin aja aktifitasmu. Ayah mau temani Al tidur.”
            Nasya mengangguk, lalu kemudian menatap kepergian ayahnya. Setelah lelaki yang amat disayanginya itu menghilang dibalik tembok pembatas, Nasya menutup pintu kamarnya. Lagi-lagi senyum manis itu tersungging disudut bibirnya.
Aku ini kenapa? Gini nih kalau cewek yang seumur hidupnya belum pernah dapat perhatian cowok, eh sekalinya diperhatiin rasanya itu senang banget! Ya memang ini kali pertama Nasya diperlakukan begitu manis oleh cowok yang bukan siapa-siapanya. Kalau dulu-dulu mah dilirik pun nggak. Para cowok hanya ngelirik yang bening-bening.
Kalau ada cewek cantik jatuh, pasti ditolongin. Sedangkan cewek kaya Nasya jatuh, diketawain mah iya! Tapi didalam penilain Nasya, Davi bukan type cowok seperti itu. Thanks banget Dav, kamu cowok terbaik dalam hidup aku. Terlalu cepat mungkin aku menilai kamu, tapi aku yakin itu. 
 
            Tiba-tiba semangat gadis itu kembali bangkit. Ia teringat dengan percakapan antara dirinya dan Davi tadi. Davi benar! Aku harus berusaha lebih giat lagi. Aku nggak boleh nyerah. Aku punya impian dan aku juga punya tekad untuk mewujudkan impian-impian ini.
            Nasya meraih laptopnya dan menghidupkan laptop itu. Dibukanya lembaran microsoft word dan tangan gadis itu mulai bermain lincah diatas keyboard laptop. Imajinasi Nasya melayang-layang lewat memori otaknya.  Sesekali gadis itu merenggangkan lehernya, lalu kembali memfokuskan pandanganya pada monitor laptop.
            Mungkin sekarang aku nobody, tapi suatu hari nanti aku somebody.
*@muthiii*
            Fian berjalan dengan langkah gontai menuju ruang tamu rumah neneknya. Tangan lelaki itu menenteng sebuah botol coca-cola, sekali-kali diseduhnya coca-cola itu. Baju kaus biru yang dipadukan dengan celana jins belel selutut membuat penampilan lelaki berkulit sawo matang itu terlihat santai, tapi tetap menonjolkan ciri khasnya yang cool dan wajah gantengnya.
            Langkah kaki Fian terhenti saat dilihatnya Davi tengah bersandar disalah satu tiang teras rumah Puja sembari memegang sebuah buku dalam keadaan buku itu terbuka. Tatapan mata Davi menerawang, sama sekali tak terfokus dengan buku ditangannya.
            Dari dulu Fian memang mengetahui kalau Davi adalah seorang maniak buku, tapi tidak bisa juga digolongkan sebagai kaum nerd atau geek. Terlalu ganteng jika dimasukkan kedalam kedua golongan itu.
Kenapa tuh orang? Kaya lagi jatuh cinta. Fian membatin. Fian tersenyum saat sebuah ide iseng menghampirinya. Dengan mengambil ancang-ancang, Fian melempar botol coca-cola yang sudah habis diseduhnya ke arah Davi.
PLAK! Botol itu tepat mendarat dipunggung Davi, membuat cowok itu tersadar dari lamunannya. “Awwh!” Davi berbalik dan menatap kesal pada Fian yang jaraknya hanya beberapa meter dari dirinya.
“Nggak ada kerjaan lain selain gangguin orang ya?” Davi mendengus sembari mengelus punggungnya.
Fian terkekeh. “Lo aja yang bengong kaya orang bego!” cetus Fian sinis. Davi menatap tepat dimanik mata Fian, seakan mencoba mencari kesalahan dirinya dimanik mata abang sepupunya itu.
Davi menghela nafas, lalu berjalan meninggalkan Fian. Ia mengalah. Sama sekali tak ingin melayani tindakan konyol Fian. Sedangkan Fian masih berdiri terpaku ditempatnya, padahal Fian sangat ingin kalau Davi membentaknya bahkan memukulnya. Entah kenapa itu bisa jadi alasan untuk dia menghabisi Davi dan keluar dari rumah neneknya secepat mungkin.
Tapi sayangnya Davi tak pernah terpancing emosi seperti yang diharapkan Fian. Davi terlalu pandai jika harus diajak kelahi, dia benar-benar tau keinginan Fian dan ia tidak melakukannya.
“Gimana caranya ya?” tanya Fian pada dirinya sendiri. Dari gerak-geriknya itu anak lagi jatuh cinta. “Yap betul! Gue selidiki aja siapa ceweknya, trus gue rebut! Itukan yang pernah dia lakuin dulu ke gue.” Fian tertawa sinis saat ide brilian itu muncul dibenaknya.
“Ehem!” Fian menutup mulutnya sembari menatap sumber deheman. “Nenek? ngapain?”
“Kamu yang ngapain disini. Ayo makan!” Puja menatap wajah Fian dengan tatapan menyelidik, membuat Fian sedikit jengah. Lelaki itu menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal. Kira-kira nenek dengar nggak ya?
*@muthiii*
Kafta melemparkan tasnya keatas tempat tidur. Hari ini begitu sangat melelahkan baginya. Sial tuh senior! Kerjanya modus mulu. Kafta membatin sembari menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur. Bayangan wajah senior-seniornya yang kebanyakan modus buat kenalan muncul dibenak Kafta.
“Mereka pikir gue cewek apaan? Gue bukan boneka!”
Malam udah semakin beranjak naik membuat Kafta enggan melangkahkan dirinya kekamar mandi, bahkan untuk mengganti bajunya pun tidak. Badan gadis itu benar-benar remuk. Sebenarnya kegiatan OSPEK udah selesai sejak sore tadi, tapi Kafta sama sekali belum ingin pulang, karna gadis itu yakin dirumah cuma ada pembantunya.
“Aaah!” Kafta menghela nafas kesal. Dipandanginya jam dinding berwarna pink muda yang menempel indah didinding kamarnya. Ujung mata gadis itu menangkap sebuah figura photo yang menempel disamping jam dinding berwarna pink itu.
Di figura photo itu terpampang photo dirinya yang tengah mengandeng tangan Fian. Dibelakang dirinya, papanya berdiri gagah sambil tersenyum sumbringah. Sedangkan disamping papanya berdiri perempuan cantik, tentu saja itu mamanya. Latar photo itu dipantai Kuta Bali.
Sekilas orang-orang mungkin bakal mengira bahwa keluarganya itu adalah keluarga bahagia. Memang keluarga bahagia—dulu. “Semuanya pada berubah. Secepat itu ya? Gue pengen kembali kecil. Gue pengen keluarga gue kaya dulu. Nggak sibuk masing-masing kaya gini!” ujar Kafta lirih.
Sorot mata gadis itu tertuju pada wajah polos Fian dimasa kecil. Rasa kangen itu lagi-lagi menyelinap. “Gimana kabar lo kak? Lo kangen gue nggak sih? Gue kangen tau. Lihat sekarang gue sendirian dirumah. Papa-mama pergi, you knowlah. Gue kesepian!” Pertahanan Kafta luruh. Gadis itu menangis sesegukan.
Wajah cantiknya berubah sembab plus kucel. Kafta memeluk lututnya dan membenamkan kepala dilututnya. “Gue kangen sama lo! Kangen! Gue pengen kita kaya dulu! Bisa nggak sih waktu diputar ulang? Gue pengen kembali kemasa lalu.”
Tangisan Kafta semakin deras, tubuh gadis itu mengejang. Udah hampir lima menitan gadis itu bertahan dalam tangisnya.

Malam ini hujan turun lagi. Bersama kenangan yang mungkin luka dihati. Luka yang harusnya dapat terobati dan kuharap tiada pernah terjadi.

            Lagu diary depresi-nya Last Child mengalun merdu dari handphone Kafta. Lagu itu seakan gambaran perasaan Kafta saat ini. Tangan putih gadis itu meraih handphonenya, lalu menatap nama yang tertera dari layar handphonenya. Buru-buru Kafta mengusap air matanya.
            “Halo sayang. Lagi apa?” Suara ngebass dari si penelpon membuat Kafta tersenyum. Tangisannya beberapa menit yang lalu terganti dengan tawa tulus tanpa dibuat-buat.
            “Biasalah. Ngegalau. Kemana aja? Nggak ngasih kabar dih.” Kafta bersungut manja. Semua kegalaunnya hilang seketika. Suara diseberang sana tertawa renyah. “Dasar! Hobby banget ngegalau. Udah jangan sedih-sedih lagi. Maklum lagi sibuk. Gimana OSPEK-nya?”
            Kafta mulai asik bercerita via telpon. Sesekali gadis itu tertawa. Detik berikutnya merenggut dengan wajah manja, lalu kembali tertawa.
*@muthiii*
            “Itu tuh si maba yang udah bikin gue sengsara.” Aldo menunjuk Fian. Kelima temannya termasuk Davi menatap sosok yang ditunjuk Aldo. Davi menatap dengan tatapan kaget. Aduh! Itu anak kenapa bikin masalah aja sih? Davi membatin kesal.
            “Trus rencana lo apa, Do?” tanya Chiko pada Aldo. Lelaki berkepala botak itu tampak berpikir. “Ya kita habisin bareng-bareng lah. Itu anak nggak boleh dibiarin gitu aja, iya kan Dav?” Aldo meminta persetujuan Davi, karna menurut Aldo diantara mereka semua, Davi lah yang paling brilian dan dianggap sebagai ketua.
            Davi masih terlena dengan lamunannya. Dia sama sekali tak menyadari bahwa semua teman-temannya kini tengah menatapnya. “Woi!” Chiko menepuk pundak Davi membuat Davi tersentak kaget. “Haa? Apaan?”
            “Bengong aja! Kita habisin bareng-bareng itu anak, iya kan?” Aldo mengulang pertanyaannya. “Kalau menurut gue jangan deh.”
            “Kenapa? Takut?”
            “Ya nggaklah. Cuma gue pernah satu sekolah  dengan dia dulu pas SMA di Jepang. Sumpah itu anak serem banget. Temen-temennya juga badannya besar-besar. Dia pentolan sekolah gue.” Davi menerangkan.
 Ia sama sekali bukan mau menjelek-jelekkan Fian, Davi hanya tak ingin teman-temannya melukai Fian. Dan semua yang ia katakan barusan adalah benar. “Masa sih? Trus kita harus gimana buat balas dendam ke dia?” Aldo yang memang pemilik masalah dengan Fian merasa kurang trima dengan jawaban Davi.
            “Entar deh gue pikirin caranya,” kata Davi, padahal ia hanya mengulur waktu dan sama sekali tak berniat memikirkan cara untuk melukai abang sepupunya itu. Walau bagaimana pun kelakuan Fian sekarang padanya, tetep aja dulu mereka pernah punya cerita bersama.  Walau bagaimana pun Fian sekarang, dia tetap sepupunya dan tali persaudaraan itu tidak akan mungkin bisa dirubah kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar