Selalu ada jalan menuju roma. Jika
satu jalan tertutup dihadapan lo, percayalah masih ada jalan lain yang terbuka.
Keep spirit! –DaviGantengSedunia
Nasya tersenyum menatap SMS yang
masuk ke ponselnya. Dari Davi. Ah, tu
cowok! Gadis itu meraih buku bersampul coklat yang diberikan Davi saat
pertemuan mereka yang kedua. Lagi-lagi Nasya menyungging senyum manisnya.
Menciptakan senyum pipit diwajahnya.
“Sya.” Andi sudah berdiri diambang
pintu kamar Nasya sembari menatap sang putri dengan tatapan aneh. “Eh ayah?
Kenapa?” Nasya meletakkan buku motivasi diatas meja dan berjalan menghampiri
ayahnya.
“Kamu ngapain senyum-senyum tadi?
Hayo! Cerita dong sama ayah.” Pipi Nasya bersemu merah, tentu saja hal itu
diketahui oleh Andi. “Ah apaan sih Yah. Nggak ada apa-apa kok.” Nasya menunduk.
Mencoba menyembunyikan wajahnya dari tatapan selidik Andi.
Nasya bukannya tak percaya dengan
Andi untuk menceritakan semua yang ia alami, hanya saja bagi Nasya itu belum
terlalu penting. “Bener? Dari tadi ayah
panggilin kok nggak nyahut?”
“Eng. Nggak kok Yah. Lagi mikirin
persiapan buat ngampus aja.” Nasya berbohong dengan berat hati. Ya Allah maafkan hamba. Batin Nasya.
“Ooh gitu. Iya deh. Ayah cuma
mau ngasih tau kalau bulan ini Lina nggak bisa pulang. Katanya banyak tugas di pesantrennya.”
“Padahal kangen banget sama Lina.
Iya deh Yah gak papa.” Nasya tersenyum.
Andi memperhatikan wajah anak gadis pertamanya itu, ada yang berbeda disana.
Belum pernah dilihatnya gadisnya sebahagia ini.
Andi tersenyum menatap Nasya. Apa pun kebahagiaan kamu itu, Ayah pasti
ikut senang. Ayah Cuma minta kamu jaga diri baik-baik. Batin Andi sembari
mengelus lembut kepala Nasya. “Ya udah kamu lanjutin aja aktifitasmu. Ayah mau
temani Al tidur.”
Nasya mengangguk, lalu kemudian
menatap kepergian ayahnya. Setelah lelaki yang amat disayanginya itu menghilang
dibalik tembok pembatas, Nasya menutup pintu kamarnya. Lagi-lagi senyum manis
itu tersungging disudut bibirnya.
Aku ini kenapa? Gini
nih kalau cewek yang seumur hidupnya belum pernah dapat perhatian cowok, eh
sekalinya diperhatiin rasanya itu senang banget!
Ya memang ini kali pertama Nasya diperlakukan begitu manis oleh cowok yang
bukan siapa-siapanya. Kalau dulu-dulu mah dilirik pun nggak. Para cowok hanya
ngelirik yang bening-bening.
Kalau
ada cewek cantik jatuh, pasti ditolongin. Sedangkan cewek kaya Nasya jatuh,
diketawain mah
iya! Tapi didalam penilain Nasya, Davi bukan type cowok seperti itu. Thanks banget Dav, kamu cowok terbaik dalam
hidup aku. Terlalu cepat mungkin aku menilai kamu, tapi aku yakin itu.
Tiba-tiba semangat gadis itu kembali
bangkit. Ia teringat dengan percakapan antara dirinya dan Davi tadi. Davi benar! Aku harus berusaha lebih giat
lagi. Aku nggak boleh nyerah. Aku punya impian dan aku juga punya tekad untuk
mewujudkan impian-impian ini.
Nasya meraih laptopnya dan
menghidupkan laptop itu. Dibukanya lembaran microsoft word dan tangan gadis itu
mulai bermain lincah diatas keyboard laptop. Imajinasi Nasya melayang-layang
lewat memori otaknya. Sesekali gadis itu
merenggangkan lehernya, lalu kembali memfokuskan pandanganya pada monitor
laptop.
Mungkin
sekarang aku nobody, tapi suatu hari nanti aku somebody.
*@muthiii*
Fian berjalan dengan langkah gontai
menuju ruang tamu rumah neneknya. Tangan lelaki itu menenteng sebuah botol
coca-cola, sekali-kali diseduhnya coca-cola itu. Baju kaus biru yang dipadukan
dengan celana jins belel selutut membuat penampilan lelaki berkulit sawo matang
itu terlihat santai, tapi tetap menonjolkan ciri khasnya yang cool dan wajah
gantengnya.
Langkah kaki Fian terhenti saat
dilihatnya Davi tengah bersandar disalah satu tiang teras rumah Puja sembari
memegang sebuah buku dalam keadaan buku itu terbuka. Tatapan mata Davi
menerawang, sama sekali tak terfokus dengan buku ditangannya.
Dari dulu Fian memang mengetahui
kalau Davi adalah seorang maniak buku, tapi tidak bisa juga digolongkan sebagai
kaum nerd atau geek. Terlalu ganteng jika dimasukkan kedalam kedua golongan itu.
Kenapa tuh orang? Kaya
lagi jatuh cinta. Fian membatin. Fian tersenyum saat
sebuah ide iseng menghampirinya. Dengan mengambil ancang-ancang, Fian melempar
botol coca-cola yang sudah habis diseduhnya ke arah Davi.
PLAK!
Botol itu tepat mendarat dipunggung Davi, membuat cowok itu tersadar dari
lamunannya. “Awwh!” Davi berbalik dan menatap kesal pada Fian yang jaraknya
hanya beberapa meter dari dirinya.
“Nggak
ada kerjaan lain selain gangguin orang ya?” Davi mendengus sembari mengelus
punggungnya.
Fian
terkekeh. “Lo aja yang bengong kaya orang bego!” cetus Fian sinis. Davi menatap
tepat dimanik mata Fian, seakan mencoba mencari kesalahan dirinya dimanik mata
abang sepupunya itu.
Davi
menghela nafas, lalu berjalan meninggalkan Fian. Ia mengalah. Sama sekali tak
ingin melayani tindakan konyol Fian. Sedangkan Fian masih berdiri terpaku
ditempatnya, padahal Fian sangat ingin kalau Davi membentaknya bahkan
memukulnya. Entah kenapa itu bisa jadi alasan untuk dia menghabisi Davi dan
keluar dari rumah neneknya secepat mungkin.
Tapi
sayangnya Davi tak pernah terpancing emosi seperti yang diharapkan Fian. Davi
terlalu pandai jika harus diajak kelahi, dia benar-benar tau keinginan Fian dan
ia tidak melakukannya.
“Gimana
caranya ya?” tanya Fian pada dirinya sendiri. Dari gerak-geriknya itu anak lagi jatuh cinta. “Yap betul! Gue selidiki
aja siapa ceweknya, trus gue rebut! Itukan yang pernah dia lakuin dulu ke gue.”
Fian tertawa sinis saat ide brilian itu muncul dibenaknya.
“Ehem!”
Fian menutup mulutnya sembari menatap sumber deheman. “Nenek? ngapain?”
“Kamu
yang ngapain disini. Ayo makan!” Puja menatap wajah Fian dengan tatapan
menyelidik, membuat Fian sedikit jengah. Lelaki itu menggaruk-garukkan
kepalanya yang tak gatal. Kira-kira nenek
dengar nggak ya?
*@muthiii*
Kafta
melemparkan tasnya keatas tempat tidur. Hari ini begitu sangat melelahkan
baginya. Sial tuh senior! Kerjanya modus
mulu. Kafta membatin sembari menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur.
Bayangan wajah senior-seniornya yang kebanyakan modus buat kenalan muncul
dibenak Kafta.
“Mereka
pikir gue cewek apaan? Gue bukan boneka!”
Malam
udah semakin beranjak naik membuat Kafta enggan melangkahkan dirinya kekamar
mandi, bahkan untuk mengganti bajunya pun tidak. Badan gadis itu benar-benar
remuk. Sebenarnya kegiatan OSPEK udah selesai sejak sore tadi, tapi Kafta sama
sekali belum ingin pulang, karna gadis itu yakin dirumah cuma ada pembantunya.
“Aaah!”
Kafta
menghela nafas kesal. Dipandanginya jam dinding berwarna pink muda yang
menempel indah didinding kamarnya. Ujung mata gadis itu menangkap sebuah figura
photo yang menempel disamping jam dinding berwarna pink itu.
Di
figura photo itu terpampang photo dirinya yang tengah mengandeng tangan Fian.
Dibelakang dirinya, papanya berdiri gagah sambil tersenyum sumbringah.
Sedangkan disamping papanya berdiri perempuan cantik, tentu saja itu mamanya.
Latar photo itu dipantai Kuta Bali.
Sekilas
orang-orang mungkin bakal mengira bahwa keluarganya itu adalah keluarga
bahagia. Memang keluarga bahagia—dulu. “Semuanya pada berubah. Secepat itu ya?
Gue pengen kembali kecil. Gue pengen keluarga gue kaya dulu. Nggak sibuk
masing-masing kaya gini!” ujar Kafta lirih.
Sorot
mata gadis itu tertuju pada wajah polos Fian dimasa kecil. Rasa kangen itu
lagi-lagi menyelinap. “Gimana kabar lo kak? Lo kangen gue nggak sih? Gue kangen
tau. Lihat
sekarang gue sendirian dirumah. Papa-mama pergi, you knowlah. Gue kesepian!”
Pertahanan Kafta luruh. Gadis itu menangis sesegukan.
Wajah
cantiknya berubah sembab plus kucel. Kafta memeluk lututnya dan membenamkan
kepala dilututnya. “Gue kangen sama lo! Kangen! Gue pengen kita kaya dulu! Bisa
nggak sih waktu diputar ulang? Gue pengen kembali kemasa lalu.”
Tangisan
Kafta semakin deras, tubuh gadis itu mengejang. Udah hampir lima menitan gadis
itu bertahan dalam tangisnya.
Malam ini hujan turun lagi. Bersama
kenangan yang mungkin luka dihati. Luka yang harusnya dapat terobati dan
kuharap tiada pernah terjadi.
Lagu diary depresi-nya Last Child
mengalun merdu dari handphone Kafta. Lagu itu seakan gambaran perasaan Kafta
saat ini. Tangan putih gadis itu meraih handphonenya, lalu menatap nama yang
tertera dari layar handphonenya. Buru-buru Kafta mengusap air matanya.
“Halo sayang. Lagi apa?” Suara ngebass dari si penelpon
membuat Kafta tersenyum. Tangisannya beberapa menit yang lalu terganti dengan
tawa tulus tanpa dibuat-buat.
“Biasalah. Ngegalau. Kemana aja?
Nggak ngasih kabar dih.” Kafta bersungut manja. Semua kegalaunnya hilang
seketika. Suara diseberang sana tertawa renyah. “Dasar! Hobby banget ngegalau.
Udah jangan sedih-sedih lagi. Maklum lagi sibuk. Gimana OSPEK-nya?”
Kafta mulai asik bercerita via
telpon. Sesekali gadis itu tertawa. Detik berikutnya merenggut dengan wajah
manja, lalu kembali tertawa.
*@muthiii*
“Itu tuh si maba yang udah bikin gue
sengsara.” Aldo menunjuk Fian. Kelima temannya termasuk Davi menatap sosok yang
ditunjuk Aldo. Davi menatap dengan tatapan kaget. Aduh! Itu anak kenapa bikin masalah aja sih? Davi membatin kesal.
“Trus rencana lo apa, Do?” tanya Chiko pada Aldo. Lelaki
berkepala botak itu tampak berpikir.
“Ya kita habisin bareng-bareng lah. Itu anak nggak boleh dibiarin gitu aja, iya
kan Dav?” Aldo meminta persetujuan Davi, karna menurut Aldo diantara mereka
semua, Davi lah yang paling brilian dan dianggap sebagai ketua.
Davi masih terlena dengan
lamunannya. Dia sama sekali tak menyadari bahwa semua teman-temannya kini
tengah menatapnya. “Woi!” Chiko menepuk pundak Davi membuat Davi tersentak
kaget. “Haa? Apaan?”
“Bengong aja! Kita habisin
bareng-bareng itu anak, iya kan?” Aldo mengulang pertanyaannya. “Kalau menurut
gue jangan deh.”
“Kenapa? Takut?”
“Ya nggaklah. Cuma gue pernah satu
sekolah dengan dia dulu pas SMA di
Jepang. Sumpah itu anak serem banget. Temen-temennya juga badannya besar-besar.
Dia pentolan sekolah gue.” Davi menerangkan.
Ia sama sekali bukan mau menjelek-jelekkan
Fian, Davi hanya tak ingin teman-temannya melukai Fian. Dan semua yang ia
katakan barusan adalah benar. “Masa sih? Trus kita harus gimana buat balas
dendam ke dia?” Aldo yang memang pemilik masalah dengan Fian merasa kurang
trima dengan jawaban Davi.
“Entar deh gue pikirin caranya,” kata Davi, padahal ia hanya mengulur
waktu dan sama sekali tak berniat memikirkan cara untuk melukai abang sepupunya
itu. Walau bagaimana pun kelakuan Fian sekarang padanya, tetep aja dulu mereka
pernah punya cerita bersama. Walau
bagaimana pun Fian sekarang, dia tetap sepupunya dan tali persaudaraan itu tidak akan
mungkin bisa dirubah kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar