Sabtu, 14 April 2018

survive#1



            Pernah ngerasain disaat kamu dihina? Diremehkan? Bahkan dipandang sebelah mata? Pernah ngerasain saat kemampuan kamu tak pernah diakui oleh sekitarmu?Pernah ngerasain saat semua orang menatapmu sinis?Atau pernah negrasaian saat sekitarmu menganggapmu sampah?Saat tak seorangpun yang mau dekat denganmu seakan-akan kamu adalah makhluk yang menjijikkan?
            Pernah ngalamin saat kamu menyukai cowok, tapi cowok itu malah menyukai sahabatmu? Atau bahkan cowok yang kamu sukai sama sekali tak pernah menganggapmu ada didalam hidupnya? Pernah ngalamin semua yang aku sebutkan? Sakit? Pasti. Sakit saat tak seorangpun menganggapmu ‘ada’. Sakit saat semua orang seakan berlomba untuk menghancurkan kehidupanmu. Sakit saat alam tak pernah berpihak padamu.
            Aku pernah ngalamin semua itu. Aku pernah ngerasain yang namanya dihina, diremehan, dipandang sebelah mata, bahkan tak dianggap ada. Naas memang saat Tuhan membuat hidupmu tak sesempurna orang lain. Kadang aku iri ngelihat seseorang yang punya kehidupan bagai princess. Saat semua yang mereka inginkan dapat terwujud dengan begitu mudah, sedangkan aku harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.
            Nila menghela nafas pelan sembari menatap pantulan dirinya didepan cermin. Baju putih abu-abu yang membalut tubuh kurusnya terlihat begitu aneh.Wajah kusam dengan kaca mata tebal membingkai pahatan wajah yang tak sempurna itu. Nila menghembuskan nafas. Merasa risih dengan pantulan cermin itu dan merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur.
            Kehidupan kadang memang tak adil ya? Setidaknya begitu bagiku. Aku selalu berusaha untuk bersyukur, tapi itu susah. Susah banget!  Susah memang saat kamu menemukan tak ada yang bisa disyukuri dari hidupmu.
“Hey La, kenapa?” Sebuah suara khas nan lembut menyapa Nila sembari menaroh tas kuliahnya diatas meja belajar Nila. Nila bangkit dari tidurnya sambil menatap gadis yang menyapanya itu.
“Kenapa?” Gadis berusia Sembilan belas tahun itu kembali bertanya. Nila menatap sosok gadis itu. “Nggak papa kak.” Jawab Nila berbohong. Shela menelisik wajah Nila, mencoba mencari kejujuran diwajah itu.
            “Oke-oke.” Jawab Nila menyerah sambil memalingkan muka. Memang sejak kecil Nila tak pernah bisa menyimpan apa-apa dari kakak sepupunya itu. Bagi Nila, Shela adalah orang yang paling mengerti dirinya.  Shela adalah orang yang tau banyak tentang kehidupan Nila. Shela tersenyum puas, merasa menang.
            “Aku bosan dengan hidupku kak! Kenapa sih aku  susah banget ngedapetin apa yang aku inginkan. Aku capek. Aku lelah! Kapan aku bisa punya kehidupan indah bak princess? Kadang aku pengen nyerah dengan semua ini. Capek kak.” Nila menggerutu. Gerutuan yang tentu saja hampir sama disetiap harinya.
            “Kamu curhat tentang itu entah udah kesekian kalinya lho. Kamu harus kuat La! Kamu harus bisa survive untuk ngewujutin apa yang kamu mau. Kakak yakin kamu pasti bisa. Berjuang La, kalau ngeluh gini terus nggak akan dapat apa-apa.” Shela memandangi adik sepupunya itu. Berharap Nila mengerti.
            Nila menghembuskan nafas berat sambil kembali merebahkan tubuhnya ketempat tidur. Tatapan gadis itu menerawang dilangit-langit kamar. “Survive itu emang nggak mudah, tapi kamu harus bisa ngelewati setiap prosesnya. Kalau kamu ngeluh terus nggak akan dapat apa-apa. Mulai action! Buktikan kemereka-mereka yang udah ngina kamu kalau kamu itu bukan nothing!”
            “Kamu nggak ngerti kak. Hidup kamu sempurna. Kamu nggak tau apa yang aku rasa.” Nila memunggungi Shela sembari memeluk erat bantal gulingnya. Shela menatap sang adik dengan mata nanar, lalu kemudian menghembuskan nafas pelan.
            “Kalau kamu nggak berusaha buat survive dari sekarang, mau sampai kapan kaya gini terus? Kebanyakan orang sukses hidupnya dulu tak sempurna, tapi mereka mampu untuk survive sehingga bisa sukses. Ini Cuma masalah waktu.” Tutur Shela sembari meraih handuknya dan berjalan menuju kamar mandi.
            Nila diam. Gadis bertubuh kurus itu mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkan Shela. Survive? Benarkah aku harus lebih survive? Bukankah selama ini aku merasa sudah melakukan semua yang terbaik? Kurangkah? Ah, entahlah!
*@@@*
            Vino memetik senar gitarnya dengan asal sehingga membuat bunyi yang ditimbulkan gitar itu menjadi abstrak. Cowok berusia tujuh belas tahun itu menghela nafas pelan. Bayangan seorang gadis masa lalu masih membekas dimemori otaknya. Seorang gadis yang entah kenapa mampu menyedot perhatiannya.
            Lelaki jangkung dengan kulit putih itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Langit malam tak membuatnya beranjak jua dari bangku taman sekolahnya. Kemana lagi gue harus nyari lo? Vino membatin, lalu kemudian menengadahkan kepalanya ke langit.
            “Sayang!” Sebuah teriakan manja menghampiri Vino, membuat lelaki itu menatap malas.  Tanpa seizin Vino, gadis yang menghampirinya itu bergelayut manja dilengannya.Vino menutup mata sekilas, merasa kepalanya mulai berdenyut pusing oleh kehadiran gadis disampingnya.
            “Rin, gue mau balik nih!” Vino beralasan sembari menepis tangan gadis imut disampingnya. Alrin memonyongkan bibirnya beberapa senti, membuat gadis itu terlihat semakin imut dengan mata besar hitam bak boneka berbie.
            “Gue nyariin lo dari tadi, sekarang udah nemu malah lo nya mau pulang.”Alrin menggerutu manja, membuat Vino menatap dengan enek dan semakin merasakan pusing. Ia bosan dengan cewek-cewek manja model Alrin.  Bukan cuma Alrin, tapi banyak gadis-gadis lainnya yang selalu berusaha menarik perhatian lelaki itu.
            Tentu saja dianggap acuh oleh Vino dan itu malah menambah ke-coolan Vino dimata cewek-cewek  Alamanda High School. Vino berdiri, lalu kemudian meraih jaket levis hitamnya.
            “Antarin gue pulang!” Lagi-lagi suara manja Alrin terdengar. Vino menghembuskan nafas, lalu kemudian mengangguk. Lebih baik ia menuruti permintaan gadis itu dari pada harus mendengarkan omelannya yang tak putus-putus. Begitu pikir Vino.
*@@@*
            Nila menatap buku cetak tebal fisikanya. Berkali-kali dipelototinya materi dibuku itu, tapi sedikitpun tak ada yang dimengertinya. Gadis itu menggerutu pelan. Sekuat apa pun gadis itu berusaha untuk belajar, tapi tetap saja hasilnya dibawah rata-rata. Selalu!
            Lihatkan aku nggak bisa apa-apa. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Anila Syafira. Aku udah berusaha semampuku, tapi lihat apa yang aku dapat? Capek! Nila menghembuskan nafas entah untuk yang keberapa kalinya. Sebuah tayangan masa lalu tiba-tiba menghampiri gadis itu, membuat hatinya semakin merasa tak berdaya.

            “Nila! Lagi-lagi nilai kamu dibawah rata-rata. Mau jadi apa kamu ini? Lihat teman-teman kamu, nilai mereka selalu tinggi!”Suara Tika menggelegar diseantaro kelas. Guru biologi itu mengacung-acungkan kertas ulangan Nila yang hasilnya begitu menyedihkan.
            “Kamu itu udah jelek, bodoh lagi.” Wanita bertubuh tambun itu menambahkan ucapannya barusan. DEG! Kata-kata itu sontak membuat hati gadis itu semakin menciut. Nila menundukkan kepala, berusaha tak menampilkan tangisannya dihadapan teman-temannya.
            Tika kembali menatap muridnya itu tanpa rasa kasihan.“Harusnya kamu masuk IPS, bukan malah sok-sokan gini masuk IPA. Kalau nggak sanggup bilang dari awal.” Seakan merasa tak bersalah, guru biologi itu kembali menambahkan ucapan-ucapan pedasnya.
           
            Nila menghembuskan nafas sembari menghapus sepenggal kenangan itu. Gadis itu merasakan hatinya begitu sesak. Apa nggak ada didunia ini yang benar-benar bisa menghargai aku? Kenapa aku diciptakan jika untuk selalu disakiti?Aku udah berusaha untuk jadi yang terbaik, tapi kenapa harus kaya gini? Lagi-lagi entah untuk yang keberapa kalinya, gadis itu menghembuskan nafas.
            Nila mengarahkan dirinya pada cermin. Menatap pantulan dirinya dicermin tersebut. Rasa tak puas lagi-lagi menyelimuti gadis itu. Tubuh kurus dengan kulit coklat kekusaman. Jerawat yang tumbuh subur diwajahnya membuat gadis itu semakin merasa frustasi. Belum lagi kaca mata tebal yang membingkai matanya.“Aduh kok gini amat?”
            “Hmm. Lagi-lagi!” Shela yang baru memasuki kamar menatap adik sepupunya itu dengan gelengan kepala.“Aku kok gini-gini amat ya kak Shel?”
            “Kenapa gak pernah belajar untuk bersyukur sih?” Shela melipat kedua tangannya didepan dada. “Apa yang harus aku syukuri?” Nila sedikit histeris sembari menghempaskan tubuhnya kekasur.
            Shela lagi-lagi menggeleng melihat tingkah laku Nila. “Jika kamu bersyukur, akan ada banyak kelebihan yang bisa kamu lihat dari diri kamu. Jangan lihat keatas, lihat orang-orang dibawah kamu yang mungkin keadaan fisiknya tak sesempurna kamu.”
            Nila tak merespon. Gadis berkulit kecoklatan itu memejamkan matanya, seolah berpura-pura tak mendengar semua perkataan Shela. Kamu nggak ngerti Kak Shel. Capek jika selalu dipandang sebelah mata. Capek jika selalu diremehkan.
            “Aku ngerti apa yang kamu rasa. Aku yakin kamu bisa sukses, jika kamu mau survive. Memang nggak mudah ngejalani dan ngerubah semuanya dari awal, tapi bukan berarti nggak bisakan?” Ujar Shela.
 Nggak ada yang nggak mungkin didunia ini kecuali menghidupkan orang mati. Allah nggak akan ngerubah suatu kaum, kecuali kaum itu merubah dirinya sendiri. Shela membatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar