Asa meletakkan Al-Qur’an yang baru
saja dibacanya. Hati
lelaki itu bergetar, lalu diusapnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Asa menatap keluar
jendela, bibir tipis lelaki hitam manis itu mengucap syukur. Pemandangan diluar
jendela kamarnya pagi ini begitu indah.
Ujung mata lelaki yang duduk
disemester empat itu menatap kearah jam dinding berwarna hijau yang menempel
gagah didinding kamarnya. Back to campus. Bismillah.Asa
berguman didalam hati, lalu melangkahkan kakinya menuju WC.
“Semoga semua mimpi dan cita-citaku
hari ini dapat terwujud dan semoga hari ini jauh lebih baik dari hari
sebelumnya.” Kata
Asa dengan keyakinan dan tekad yang kuat didalam dirinya. Masa depan adalah milik mereka yang mau berusaha, bukan
mereka yang hanya bermalasan.
*@@@*
Vino
melangkah gontai di koridor sekolahnya. Baju seragam putih abu-abu cowok itu
sengaja ia keluarkan, sehingga menambah ketampanan yang terlukis sempurna.
Cewek-cewek disekitar koridor yang ia lewati, menatap kagum pada sosok Vino. Berbisik-bisik lirih, lalu kemudian
mereka akan tersenyum genit.
“Pagi
Vin. Makin ganteng aja. I love you sayang!”
Ucap salah seorang diantara mereka disertai kedipan mata. Vino berjalan cuek,
sama sekali tak merespon cewek-cewek yang hampir setiap hari mencoba menarik
perhatiannya.
Vino masih dengan gaya
stay cool-nya. Sesekali cowok yang duduk dikelas tiga SMA itu menyelipkan rokok
kemulutnya. Entah kenapa hal tersebut
membuat para cewek-cewek semakin menggilainya.
“Vino!”Sebuah teriakan
khas datang dari arah belakang Vino. Seorang
cewek cantik bertubuh mungil dengan rambut coklat kepirangan berlari
menghampiri Vino.
Saat posisi mereka
sudah dekat, cewek itu langsung menggelayut mesra dilengan Vino sehingga
cewek-cewek lain menatap cewek berambut pirang itu dengan sinis.
“Iih, dari tadi
dipanggilin juga.”Cewek itu merenggut manja yang tentu saja membuat Vino geli melihatnya.“Alrin
apaan sih!” Vino mencoba melepaskan
tangan Alrin dari lengannya.
“Apa kalian liat-liat? Hobby ya ngeliat orang pacaran? Udah,
bubar sana!” Alrin menggerutu pada cewek-cewek yang menatap dirinya dan Vino
secara bergantian.
Cewek-cewek itu ikut-ikutan menggerutu, lalu kemudian bubar dari
tempatnya. Kalau sudah Alrin yang
nyuruh, nggak ada satu pun yang berani melawan.
Vino menggelengkan kepala, lalu kemudian kembali berlalu.“Hey
tunggu!”Alrin mencoba mensejajarkan langkahnya, lalu kemudian menghalangi jalan
Vino.
Cowok berhidung mancung
dengan bibir tipis itu menatap dengan sinis. “Apa lagi sih? Lo tau kan kalau gue itu paling nggak
suka di ganggu!” Bentak Vino. Cowok itu kemudian berlalu. Sama sekali sedikitpun tak merasa
bersalah.
Alrin termangu, lalu
kemudian menatap cowok yang sejak hari pertama OSPEK telah mencuri hatinya.
Berbagai cara sudah dilakukan Alrin untuk menarik perhatian seorang Vino
Sebastian Dinata, tapi sampai saat ini hasilnya nihil.
Ada sepenggal rasa
sakit yang menyelimuti hati gadis berusia enam belas tahun itu. Rasa sakit yang membuat lukanya semakin
menganga lebar.
Jika
cinta bisa memilih, sama sekali gue nggak ingin melabuhkan rasa ini ke lo Vin.
Sama sekali bukan lo yang gue tuju. Tapi sayang, cinta ini nggak bisa memilih,
ia ngalir begitu saja. Tak peduli kepada siapa dia akan jatuh.
Alrin menatap punggung
Vino yang semakin menjauh. Setelah semua yang gue lakuin hampir
tiga tahun ini, haruskah gue nyerah begitu saja?Alrin tersenyum sinis dengan raut wajah menahan
tangis.
“Gue Alrina Quesena
nggak akan nyerah gitu aja! Gue selalu dapatin apa yang gue mau gimana pun
caranya termasuk ngedapetin lo!” Tutur Alrin. Lo liat aja Vin!
Sedangkan diujung
koridor sana, Vino mengacak-ngacak rambutnya. Wajah cowok itu menunjukkan
kekesalan. Alrin dan semua
cewek-cewek yang menggilainya hampir saja membuatnya benar-benar gila.
Vino memang tampan. Semua orang mengakui itu, tapi dia bukan
playboy.
Dia adalah type cowok yang terkesan cuek dengan cewek dan susah banget jatuh
cinta, tapi sekalinya jatuh cinta, sayangnya kebangetan.
Dia tidak seperti
cowok-cowok kebanyakan yang menjual ketampanannya untuk mendapatkan banyak
cewek. Bagi Vino, hanya ada satu cinta dalam hidupnya. Cinta untuk seorang
gadis sederhana sahabatnya dimasa SMP. Gadis yang wajahnya kini sudah hampir
samar-samar dibenaknya.
Yang ia ingat dari gadis itu hanyalah rambut keritingnya.
Kemana
lagi gue harus nyari lo wahai gadis berambut keriting? Vino
menyandar pada sebuah tembok. Menghembuskan asap rokoknya, lalu kembali
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Gue harus nyari cara agar
cewek-cewek itu
nggak gangguin gue!”
*@@@*
Nila merapikan jilbab
putihnya yang selalu mereng sana-mereng sini. Gadis berkulit kusam itu menghembuskan nafas dan
kembali melanjutkan novel yang ada digenggaman tangannya. Waktu istirahat masih lama dan ia sama sekali tak
memiliki opsi lain kecuali membaca. Nila memang tidak memiliki teman,
satu-satunya orang yang ia harapkan
untuk berbagi cerita hanya Shela, kakak sepupunya.
Taman sekolah semakin
ramai. Canda tawa terdengar dimana-mana. Nila menutup buku yang tengah dibacanya,
lalu tatapan matanya mengarah pada anak-anak sebayanya yang tengah asik
bercanda dengan teman-temannya. Nila
menatap iri. Sebersit rasa sedih itu
lagi-lagi muncul.
Ah,
andai aku bisa kaya mereka. Punya sahabat yang bisa jadi tempat berbagi. Nila
menarik nafas pelan. Rasa sepi ini mencekam
dirinya.
“Lo
itu nggak akan punya teman! Lo nothing! Lo sampah!”
“Iiih
awas virus woi.Virus!”Lagi-lagi Andy berteriak, seketika semua teman-temannya
berlalu menjauhi Nila. Tak
ada satu pun dari teman-temannya yang ingin dekat dengan gadis itu. Nila tertunduk.Rasa sakit menyelimuti
hatinya. Baju
putih biru gadis itu tampak lecet setelah didorong oleh salah seorang teman ceweknya.
Nila
berjalan menuju bangkunya dan seketika itu juga temannya menghindar. Mereka menatap Nila seakan Nila adalah
gadis yang paling menjijikkan didunia ini.
Nila menghapus seberkas
kenangan itu. Ujung mata gadis itu
berair. Kenangan masa SMP itu entah kenapa
selalu bisa membuatnya terluka. Nila
menunduk menatap tanah. Hatinya
kembali bergejolak.
Aku
manusia. Aku
bukan sampah yang harus kalian perlakukan seperti itu. Aku punya hati dan dengan suksesnya
kalian telah merobek-robek hatiku terlalu dalam. Kalian
tau gimana sakitnya hati ini? Kalian
tau gimana hancurnya? Terutama kamu, Andy!
Salah aku apa? Jika hidup punya tombol delete, aku pengen ngedelete masa-masa
SMP! Aku pengen ngedelete kalian. Aku pengen ngedelete kamu, Andy!
“Tapi sayangnya hidup
itu terus ngalir. Nggak pernah ada tombol
deletenya!” Nila berkata lirih pada dirinya sendiri. Gadis itu menerawang pelan. Bel tanda istirahat telah usai berbunyi nyaring, menyentakkan
Nila yang tengah terbang dalam angannya.
Nila berlari menuju kelasnya.
BRUK! “Awh!” Nila meringis saat
lututnya mendarat dengan mulus di ubin koridor kelas. Seorang cowok dengan wajah ganteng
menatapnya sinis.“Ada yang lecet?” Tanya
cowok tersebut dengan nada tak kalah sinis.
Nila tertegun menatap
wajah sempurna dihadapannya dan seakan terhipnotis dengan pertanyaan cowok
tersebut. “Ada yang lecet nggak?” Cowok itu kembali bertanya sambil menyilangkan kedua
tangannya didepan dada. Nila menggeleng buru-buru.
“Eng. Enggak kok.
Enggak ada.” Jawabnya berbohong, padahal ia merasakan nyeri dilututnya. Cowok itu menatapnya aneh. Salah satu alis tebalnya naik beberapa senti.
“Maksud gue, PSP gue
ada yang lecet nggak, bukan lo nya! PSP
gue jauh lebih berharga dari lo.” Cowok
itu meraih PSP-nya yang tergeletak tepat disamping Nila. Nila tertegun bingung. Wajah gadis itu bersemu merah menahan
malu.
“Lain kali jalan tuh
pakai mata!” Sungut cowok itu sambil
berlalu. Teman-temannya yang
menyaksikan kejadian itu tersenyum geli. Dia yang nabrak aku,
kenapa aku yang malah diomelin? Sampah!
“Makanya jangan
kegeeran. Huuu!” Celetuk beberapa orang temannya. Nila
berusaha kuat menahan tangisnya. Gadis
itu mencoba berdiri. Sedikitpun tak
dihiraukannya rasa perih yang menjalari
kakinya.
Sampai
kapan aku bisa bertahan? Gini nih nasib gadis yang tak berharga. Diperlakukan
macam sampah. Dihina,
diremehkan, dicaci maki. Nila menghembuskan nafas. Tangan kanan
gadis itu meraih novelnya dan berjalan
menuju kelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar