Asa menatap pemandangan dikota Soul lewat balkon
kamarnya. Bibir lelaki itu mengucap syukur saat matanya menatap keindahan kota.
Lelaki itu menghela nafas pelan, lalu melirik jam dipergelangan tangannya.
“Trimakasih untuk kesempatan yang indah ini Ya Allah.
Trimakasih untuk semua rencana yang telah Engkau tulis dihidupku.” Ucap Asa
lirih.
Fabiayyia’la irabbi kuma tukazziban? Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang bisa kamu dustakan? Trimakasih untuk
kesempatan indah ini Allah. Asa berucap lirih.
Besok pagi
Asa akan kembali ke Indonesia. Pertukaran mahasiswa yang diikutinya hampir enam
bulan ini mengajarkannya banyak pengalaman luar biasa. Asa memang seorang
lelaki yang optimis dalam karya. Bermodalkan mimpi, ia bisa menggapai hampir
semua mimpi-mimpinya.
Lelaki
berusia dua puluh tahun itu memang bisa dijadikan insfirasi. Tak hanya pintar,
tapi juga sholeh, dan yang pasti di Indonesia lelaki itu sudah memiliki bisnis
yang bisa dibilang berkembang pesat. Asa bukan type lelaki yang sombong, ia
sering mengadakan seminar dan membagi ilmunya kepada orang lain.
“Hidup
itu tentang belajar. Saat gagal pun kita belajar. Banyak hal didunia ini yang
harus kita pelajari. Good bye Korea, suatu hari nanti gue bakal kesini lagi.
Trimakasih sudah mengajarkan banyak hal selama enam bulan ini.” Ucap Asa mantap
dengan keyakinan penuh.
Ya suatu hari nanti gue bakal kesini dengan
seorang yang gue cintai. Asa mengembangkan senyumnya.
*@@@*
Monday! I hate Monday! Kenapa sih hidup itu
selalu berpusat dihari Senin? Nila menggerutu didalam hati, lalu kembali
menatap pantulan dirinya didepan cermin. Gadis itu menggerutu pelan. Hay cermin yang nggak pernah bohong, bisa
nggak sih ngerubah aku jadi cantik seketika?
Nila
memakai jilbabnya dengan cepat, lalu berlalu dari hadapan sang cermin sebelum
hatinya kembali merasa tak enak. “La, nanti papa-mama kamu pulang kan? Untuk
beberapa hari ini aku bakal nginap dirumah teman buat ngadain
penelitian. Nggak papakan?” Shela menjelaskan tanpa diminta.
Nila hanya mengangguk sama sekali tak tertarik juga
dengan pembahasan pulangnya kedua orang tuanya. Bagi Nila, kedua orang tuanya
terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga lupa dengan dirinya.
Shela memandangi Nila. Menatap wajah gadis yang sudah
dianggapnya lebih dari adik sepupu itu. Shela menghembuskan nafas. “La,
pagi-pagi itu harus semangat! Masa anak muda lemes gitu sih?”
“Nggak ada yang menarik dari hidup aku, makanya aku
lemes. Aku bosan gini trus. Capek! Aku pengen nyerah, ngelambain tangan
kekamera. Tapi sayang, aku nggak nemuin letak kameranya dimana.” Ujar Nila asal
sembari berlalu dari kamarnya.
Shela menggeleng sembari tersenyum tipis melihat tingkah
sang adik. Gadis berambut keriting itu lagi-lagi entah untuk yang keberapa
kalinya menghembuskan nafas pelan.
Banyak hal yang tidak kamu ngerti didunia
ini, La. Kalau kamu pengen punya hidup yang enak, kamu harus usaha! Kamu harus
survive. Bagaimana semuanya bisa dirubah kalau kamu hanya bisa ngeluh tanpa
tindakan? Seharusnya kamu bersyukur! Lihat mereka diluar sana yang mungkin
cacat secara fisik tapi tetap pandai bersyukur.
Lihat
mereka diluar sana yang tidak sesempurna kamu, tapi mampu untuk sukses. Kapan
kamu mau berdamai dengan keadaan sih?
*@@@*
Vino berdecak geram sembari mengacak-acak rambutnya.
Ditatapnya loker miliknya yang berisi berbagai macam bunga dan coklat. Cowok
itu menatap dengan kesal.
Itu
cewek-cewek emang nggak bisa dibilangin! Vino menggerutu, lalu dengan kedua tangannya lelaki itu meraih semua bunga
plus coklat dan memasukkan ke tong sampah yang kebetulan letaknya tak jauh dari
lokernya.
“Kenapa dibuang?” Sebuah suara yang sedikit bergetar
menyapa Vino, membuat lelaki itu tersadar bahwa ada yang memerhatikan
tingkahnya. Vino berbalik dan memberi cewek itu tatapan yang sinis dan dingin.
Cewek dihadapannya itu mundur beberapa langkah, wajahnya sedikit pucat.
“Kenapa? Nggak suka? Eh lo cewek yang nabrak gue kemaren
kan? Ngapain disini? Nguntitin gue? Nggak ada kerjaan lain?” Vino membrondong
cewek berjibab itu dengan berbagai macam pertanyaan.
Dari sorot matanya, Vino menangkap ketakutan dari mata
cewek itu. Vino meringis pelan. Baru
dibentak aja udah ciut! “Kenapa diam? Bisu?” Lagi-lagi Vino menambahkan
kata-katanya.
Gadis itu menghembuskan nafas, lalu dengan keberanian
yang ia punya menatap tepat dimanik mata Vino. “Aku nggak nguntitin kamu kok.”
“Trus kenapa bisa disini? Apa namanya kalau bukan
nguntit?” Vino melipat tangannya didepan dada. Entah kenapa baru pertama kali
ini ia berbicara panjang lebar dengan seorang cewek dan dengan durasi yang
lumayan lama.
“Ini kan ruangan loker sekolah! Loker aku disebelah sana,
tadi nggak sengaja aja ngelihat apa yang kamu lakuin.” Cewek itu menunjuk
barisan lokernya sehingga membuat Vino tersadar. Iya ya, ini kan loker umum. Bisik Vino didalam hati, tapi rasa
keegoan lelaki itu membuatnya tak ingin meminta maaf.
“Alah, alasan! Cewek kaya lo pasti Cuma mau cari
perhatian gue kan? Lo itu sama aja kaya cewek-cewek lainnya. Kalian itu
sampah!” Vino memasukkan kedua tangannya disaku celananya. Kata-kata itu keluar
begitu saja dari mulutnya membuat gadis dihadapannya termangu.
Vino menatap gadis dihadapannya itu dari atas sampai
bawah. Jujur saja, tak ada yang menarik bagi Vino tentang gadis itu, bahkan sangat
jauh bila dibanding dengan Alrin atau cewek-cewek lain yang menyukainya. Gadis
itu jengah dengan pandangan Vino. “Siapa nama lo?” tanya Vino.
“Nila. Anila Syafira.” Saking gugupnya, Nila mengucapkan
nama panjangnya, membuat Vino tersenyum sinis. “Oh. Oke Nila, mulai hari ini lo
gue rekrut jadi pacar gue!” Vino tersenyum, lalu kemudian berlalu.
Nila menganga dan menatap punggung Vino yang semakin
menjauh. “Ha? Maksudnya apa?” tanya Nila. Tentu saja pertanyaan itu tak
didengar oleh Vino, lebih tepatnya pura-pura tak mendengar. Nila berdiri
mematung ditempatnya. Otaknya mencoba mencerna kejadian barusan.
Maksudnya?
Aku jadi pacar dia?
“Kenapa lo malah bengong disini? Ayo ikut gue!” Vino yang
jaraknya beberapa meter dari Nila berteriak. Gadis berjilbab itu tersadar, lalu
menatap Vino tak mengerti. Vino menepuk jidatnya, lalu kembali mendekati Nila.
“Ayo ikut gue. Lo kan pacar gue! Gue antar kekelas lo.”
Nila kembali terpaku, benar-benar belum bisa memahami dengan semua yang baru
saja terjadi padanya. “Perlu berapa lama untuk bengong kaya gitu trus? Udah mau
bel ini, aduh!” ucap Vino.
Nila mencoba mencerna semuanya, lalu kemudian senyum
manis tersungging dibibir cewek itu. Nila mengangguk. Dua sejoli itu berjalan
bersisian dikoridor sekolah, membuat seisi sekolah mulai gempar, terutama
dikalangan cewek-cewek.
Vino tersenyum manis kearah Nila, membuat gadis itu
benar-benar berbunga. Mimpi apa aku Ya
Tuhan? Akhirnya ada juga cowok yang bisa nerima aku apa adanya. Bisik hati
Nila.
“Say, kelas lo dimana?” tanya Vino dengan suara yang agak
keras. Perkataan Vino barusan tentu saja lagi-lagi menguncang Alamanda High
School. Sebagian cewek-cewek yang ada dikoridor geram dan iri terhadap Nila.
Mereka berbisik-bisik dan menatap Nila dengan sinis.
Alrin yang tak jauh dari Vino dan Nila hanya mampu
menatap kedua sejoli itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa sesak
dihatinya, apalagi saat melihat kenyataan bahwa cewek yang dicintai Vino tak
jauh lebih baik dari dirinya.
Alrin menatap Nila dari atas sampai bawah. Meneliti
alasan apa yang membuat Vino lebih memilih gadis urakan itu ketimbang dirinya.
Walau gadis itu urakan, tetap saja dia lebih menang ketimbang Alrin.
“Shit!” Alrin merutuk pelan. Setitik tetesan bening
mengalir dipipi putih Alrin. Kenapa dari
dulu susah banget dapetin cinta? Apa yang salah dari diri gue? Gue nggak boleh
nyerah! Kalau emang gue nggak bisa ngedapetin Vino, maka cewek lain juga nggak
boleh dapetin Vino!
*@@@*
Nila melonjak-lonjak diatas tempat tidurnya. Gadis itu
bernyanyi riang. Hari ini merupakan hari yang paling bersejarah baginya.
Akhirnya ia pacaran juga setelah sekian lama ngejomblo, nggak
tanggung-tanggung, cowok yang jadi pacarnya adalah cowok paling populer
disekolah.
“Mimpi apa aku? Ya Tuhan! Aaak!” Nila menari-nari riang,
tanpa sadar ada seseorang yang tengah menatapnya diambang pintu. “Inikah
namanya cinta. Oh inikah cinta. Cinta pada pandangan pertama.” Nila bernyanyi
dengan suara falsnya dan sesekali bergaya seakan-akan ia tengah berada diatas
panggung.
“Ehem!” Sebuah deheman menghentikan kekonyolan gadis
tersebut. Nila menatap sumber suara, lalu kemudian tersipu malu. “Eh mama.
Kapan balik Ma?” Nila turun dari kasurnya dan menyalami Yati, mamanya.
Yati menatap putri semata wayangnya, lalu kemudian tersenyum.
“Kamu ini kenapa? Hayoo, lagi jatuh cinta ya? Cerita dong sama mama.” Jawab
Yati lembut. Lagi-lagi Nila tersipu. Gadis berusia enam belas tahun itu
mengalihkan pandangan dari mamanya. Kesibukan sang mama membuat gadis itu sama
sekali tak dekat dengan Yati.
“Ayo dong cerita!” Yati mendesak dengan nada lembutnya.
“Iih mama apa deh. Pulang-pulang malah ngeledekin. Nggak kok, mana ada.” Nila
berbohong sembari lagi-lagi mengalihkan pandangan.
Yati menelisik wajah Nila, mencoba mencari kebenaran
diwajah itu. Yati tau kalau Nila tak pernah bisa menyembunyikan kebohongannya
dengan rapi. Nila mengalihkan pandangannya dari Yati, membuat kebohongannya
makin terlihat jelas. Yati tersenyum, lalu mencolek pinggang Nila.
“Kalau ada juga nggak papa. Siapa sih orangnya?” Yati
kembali menggoda Nila. Pipi gadis remaja itu bersemu merah. “Diih mama apaan
sih. Siapa juga lagi. Udah ah, aku mau makan. Oya ma, kak Shela nggak bisa
pulang. Ada tugas katanya.”
“Shela si—”
“Dah mama, aku makan duluan!” Nila memotong perkataan Yati.
Gadis itu mencium pipi sang mama dan berlalu keruang makan. Yati tertegun,
merasakan ada yang aneh dengan putri semata wayangnya.
*@@@*
Alrin menatap bintang dilangit malam. Hal yang selalu
dilakukan gadis itu bila dilanda kegalaun. Bayangan kejadian tadi pagi menyedot
perhatiannya. Lagi-lagi tentang cinta mampu membuat gadis itu bersedih.
Sampai
kapan? Kenapa gue gagal mulu soal cinta? Apa emang gue nggak pantas ngerasain
yang namanya cinta? Kenapa harus selalu gue yang kalah? Lihat aja, gue nggak
bakal nyerah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar